DI mana kaki polisi? Satu di rumah sakit atau kuburan, satu lagi di penjara. Yang pertama mengundang pujian, yang kedua mendatangkan kritik. Untuk mengurangi kritik itulah Letkol Muharsipin, Kapoltabes Medan, belum lama ini membatasi penggunaan pistol oleh bintara polisi ke bawah. Pasalnya, sebagian polisi yang harus masuk penjara, menurut Muharsipin, karena mereka salah tembak. Contoh terbaru, dua pekan lalu, Bharatu Iwat dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dan dipecat sebagai polisi oleh Mahkamah Militer Medan. Ceritanya, suatu hari ia menerima telepon bahwa di Jalan Sutrisno, Gang Aman, Medan, ada perjudian. Bersama rekannya Kopda M.H. Perangin-angin dan Kopda Irwansyah, ia meluncur ke sasaran. Benar, info itu tak salah. Lalu Iwat melepas tembakan. Pelurunya mengenai paha dan telapak kaki Suherman, 22, sampai cacat. Peluru berikutnya, mengenai perut Muchtar sampai tewas. Muchtar konon residivis, tapi Suherman bukan. Saat ada penggerebekan, secara kebetulan lelaki itu berada di sana. Kopda Irwansyah cukup bisa menahan diri. Dalam penggerebekan judi tahun lalu itu, ia tidak mencabut senjatanya. Cuma, entah mengapa, begitu sampai kembali di kantornya, Polsek Medan Teladan, ia menenggak minuman keras sampai teler . Mungkin karena merasa masih berurusan dengan penjudi, ia mencabut pistol dan menembak beruntun. Satu butir peluru mengenai Hindun Harahap, 17, pelajar SMP. Gadis itu tepat terkena di rahangnya, dan peluru bersarang di langit-langit mulutnya. Kini, setelah beberapa bulan gadis itu dirawat di rumah sakit, suaranya menjadi sengau. Dia malu kalau harus berbicara. Dan kalau makan, ia mesti menengadah supaya makanan tidak menyangkut di lubang langit-langit. Sementara itu, Irwansyah hari-hari ini dihadapkan ke Mahkamah Militer. Itu di Medan. Di Sukabumi, Jawa Barat, pekan lalu senjata organik yang dipegang para tamtama, bintara, dan perwira yang bertugas di Secapa (Sekolah Calon Perwira) ditarik kembali. Senjata api itu, baik senjata genggam maupun laras panjang, menurut Sekretaris Secapa Letkol R. Abdulsalam kepada harian Suara Kaya Jakarta, akan dikembalikan kepada anggota yang benar-benar "siap". Tak dijelaskan oleh Abdulsalam sebab tindakan tiba-tiba itu. Juga tak ada catatan, berapa kali kasus polisi salah tembak di kota itu akhir-akhir ini. Cuma, sepekan sebelum penarikan senjata, memang ada peristiwa tertembaknya Nyi Imas, 20, oleh seorang petugas Provos Secapa. Ketika itu, petugas provos yang iseng itu datang ke penginapan Wisma Indah untuk kencan dengan Imas, seorang wanita penghibur. Melihat pistol di pinggang tamunya hampir jatuh, konon, wanita itu lalu memperingatkan si empunya senjata. Entah bagaimana, pistol tiba-tiba meletus dan mengenai leher korban. Imas terluka, dan kemudian tewas. Memang, menurut Kolonel Goemelar, Kepala Secapa, kepada TEMPO, antara Nyi Imas dan penarikan senjata tak ada hubungannya. Sudah lama direncanakan senjata akan diinventarisasikan, katanya. Alasannya, di lingkungan Secapa, polisi bersenjata tak diperlukan benar. Lain lagi di Jawa Timur. Pistol memang tak ditarik, cuma ada imbauan agar anggota Polda Jawa Timur tak kelewat gemar mengobral peluru. Setiap petugas di Polsek di provinsi tersebut kini diwajibkan secara berkala mengikuti latihan menembak di Polres. Selain itu, polisi Jawa Timur pun dilatih lebih intensif menggunakan pentungan atau tongpol (tongkat polisi). Tujuannya, melatih mereka tangkas meringkus penjahat dengan tanpa "dor". Tampaknya pihak Polda Jawa Timur tak ingin kasus mengamuknya seorang polisi di pasar Wonokromo, Surabaya, Februari lalu, terulang. Ketika itu, tanpa sebab yang jelas, Serda Wardjoko menembak dada seorang penjual sate dan mengetuk kepala 13 orang dengan gagang pistol. Di bulan Februari itu pula, peluru pistol Kopda Ersad nyasar mengenal seorang bocah berusia tiga tahun. Anak itu mati. Sebenarnya, untuk cabut senjata sudah ada aturan mainnya. Petugas hanya dibolehkan menembak bila keadaan betul-betul memaksa, misalnya karena jiwanya terancam. Itu pun, terlebih dulu, ia harus memberi tembakan peringatan. Tapi lain di kertas lain pula di lapangan. Akibat tak tidur sampai berhari-hari karena menguber tersangka, misalnya, emosi seorang petugas bisa tak terkendali. Begitu tersangka terpegang, bisa jadi dor dulu, tanpa ingat aturan main. Lain daripada itu, ringan pelurunya polisi didasari pula sebab yang lain. Hukuman yang ringan terhadap penjahat kambuhan, menurut sumber di Poltabes Medan, ikut membuat petugas yang telah menangkap naik pitam. "Istilahnya, biarlah petugas memberikan hukuman ekstra, mewakili korban kejahatan," katanya. Tak diperoleh data, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten, berapa sering salah tembak terjadi. Hanya dari Jawa Tengah diperoleh angka, dalam setahun terakhir ini di wilayah Polda ini terjadi 20-an kasus salah tembak. Itu berarti, setidaknya tiap bulan terjadi dua kali salah tembak. Mungkin ini yang menyebabkan pihak polisi sendiri, menurut Mayor Made Pastika dari Seksi Kriminalitas Umum Polda Metro Jaya, prihatin. Soalnya, dalam hal ini polisi memang menghadapi alternatif yang sulit. Bila banyak polisi tak bersenjata, tentunya penjahat bisa makin nekat. Sementara itu, untuk menjamin agar semua polisi jadi jago tembak, ongkosnya tak terpikul oleh anggaran yang ada. Kini ada sekitar 130.000 anggota polisi di seluruh Indonesia. Dan bila harus ada latihan menembak sekali tiga bulan saja, berapa peluru dibuang, dan itu berarti berapa rupiah. Walhasil, kebijaksanaan di beberapa daerah sekarang ini, tampaknya, memang jalan pintas yang bijaksana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini