Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Awas, penjahat berkerah putih

Komplotan istoro berhasil menggaet uang hampir rp 0,5 milyar dari bank agung asia. caranya menarik dengan giro bilyet palsu lewat bni '46 dan bun. semua tersangka, kecuali istoro, ditangkap.(krim)

31 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENJAHAT canggih tanpa menumpahkan darah muncul lagi. Kali ini korbannya Bank Agung Asia (BAA) di Jakarta Barat. Dengan cara yang sangat licin, kawanan penjahat menyedot dana hampir Rp 0,5 milyar dari bank itu. Dana Rp 325 juta ditarik dengan giro bilyet lewat BNI 1946 Cabang Menteng, dan Rp 150 juta yang lain via Bank Umum Nasional (BUN) Cabang Pasar Baru. Tak tanggung-tanggung cara komplotan ini mengamankan uang itu. Yang ditarik lewat BUN langsung ditransfer ke Overseas Express Bank (OEB) di Singapura dalam bentuk dolar Amerika. Pekerjaan yang dikoordinasikan oleh Istoro dan Sumardi ini - menurut keterangan polisi - berjalan mulus karena mendapat dukungan empat karyawan BAA. Sumardi beserta empat karyawan bank tersebut yang membelot, serta dua tersangka lain, akhirnya bisa ditangkap. Dari mereka, Kasatserse Polres Jakarta Selatan Mayor Ashikin, dibantu Lettu Budi Setiawan, bisa mengumpulkan barang bukti berupa uang tunai Rp 100 juta, lemari es, pesawat televisi, dan sejumlah emas. "Istoro dan tersangka yang lain masih kami kejar," tutur Ashikin pekan lalu. Istoro, bekas pegawai bank - entah bank mana - diduga berperan sebagai koordinator komplotan ini. Dan dialah yang mendapat bagian terbanyak. Komplotan ini merencanakan aksinya sejak Maret lalu. Yakni, saat seseorang yang menamakan dirinya Haji Ramli bin Nasir membuka rekening dengan setoran Rp 250 ribu di BNI 1946 Cabang Menteng. Pada saat yang sama, ada pula orang membuka rekening di BUN Pasar Baru atas nama Edward. Kedua rekening ini, menurut Mayor Ashikin, dibuka semata untuk menampung hasil jarahan. Dan untuk menghilangkan kecurigaan, tak lama setelah rekening dibuka, kawanan itu menarik sebagian uangnya. Mendadak, pada 21 April, rekening Haji Ramli di BNI 1946 mendapat kiriman dari BAA. Kiriman itu berupa dua buah giro bilyet bernilai lebih dari Rp 80 juta dan Rp 82 juta. Esok harinya, datang lagi kiriman dengan nilai lebih dari Rp 79 juta dan Rp 83 juta. Semua giro segera saja dicairkan. Pada saat yang sama, Edward di BUN Pasar Baru pun menerima giro bilyet lebih dari Rp 67 juta dan Rp 82 juta. Berbeda dengan giro yang diterima Haji Ramli, giro tidak langsung dicairkan, melainkan ditransfer ke OEB di Singapura. Perhitungannya, mungkin: bila mereka tertangkap dan uang yang sudah dicairkan di Indonesia disita, mereka masih mempunyai simpanan di luar negeri. Sudah tentu giro-giro yang dikirimkan kepada dua nasabah itu bernomor palsu. Tepatnya, nomor giro hasil sontekan dari nomor asli giro milik orang lain di BAA. Sudah tentu pula giro bernama milik giro lain itu dikliringkan pula ke Bank Indonesia - yang kemudian mengembalikannya ke BAA. Di BAA Yanoi, karyawan yang sudah tujuh tahun bekerja, dan konco-konconya berperan. Giro-giro palsu itu diambil dan ditukar dengan giro bilyet lain, dengan nilai keseluruhan yang sama. Tujuannya, agar permainan tak segera bisa diketahui. Struk giro tadi kemudian dicocokkan dengan rekening si nasabah yang nomornya dicatut. Dan karena dana yang ada lebih besar dari yang akan diambil - ini memang sudah diatur - pejabat bank membubuhkan persetujuannya. BNI 1946 dan BUN dikontak, dan giro bilyet yang dikirimkan dari BAA dinyatakan bisa dibayarkan kepada Haji Ramli maupun Edward. Akan halnya rekening nasabah BAA yang nomor giro bilyetnya dicatut, tetap tak berubah. Sebab, ketika giro-giro hendak di bukukan, Yanoi dan kawan-kawan, yang memang bekerja di baglan ini, mengambil giro-giro tadi, menyobeknya, dan kemudian membakarnya. Kurang jelas bagaimana perhitungan Yanoi dan komplotannya. Dengan penyobekan itu berarti jumlah giro masuk dengan giro yang dibukukan, tentu, akan menimbulkan selisih jumlah. Benar saja, keributan segera terjadi ketika pejabat bank meneliti jumlah giro yang masuk hari itu dengan catatan, ternyata berselisih. Ini gawat. Polisi dihubungi, dan setelah dilakukan pengusutan diketahui ada karyawan bermain-main dengan giro. Selain Yanoi, 36, orang Medan, bapak dua anak, ada tiga orang lagi ditahan: Sudarman dari bagian pengecekan giro, Bahrun dari BAA Cabang Pasar Baru, dan Asikin (bukan Ashikin yang mayor polisi). Ditambah Sunardl dan dua orang yang bukan pegawai bank yang bertugas memalsukan giro, menjadi penghubung, dan yang mengirimkan uang ke Singapura. Mengajak orang dalam bekerja sama, menurut sumber TEMPO, memang sudah menjadi ciri penjahat bank terutama setelah tahun 1977. Di saat komputer mulai digunakan, dan sistem pengamanan dalam bank kian baik. Karyawan yang direkrut ke dalam komplotan itu, umumnya, mereka yang menduduki posisi cukup menentukan, tapi karena suatu hal, merasa tidak puas. Yanoi itu misalnya, cuma bergaji Rp 200.000, padahal dia bermasa kerja 7 tahun. Lalu Asikin, 29, bapak tiga anak, hanya mendapat nafkah Rp 170.000 per bulan. Bila mereka tiap hari menghitung milyaran rupiah, siapa tak tergoda? Tapi komplotan Istoro ini, kelasnya, jelas masih di bawah Ahwie, Sabri, maupun Humala yang sekali sabet mengeruk lebih dari Rp 1 milyar. Tahun 1983 lalu, Ahwie alias Yu Ken Wie alias Soekanto Suwiryo divonis 5 tahun 9 bulan penjara. Ia terbukti bersalah mengotaki pembobolan uang senilai Rp 2 milyar dari Citibank, Jakarta. Adalah Humala, yang, lewat serangkaian aksinya antara 1981 dan 1984, menggaet RP 1,6 milyar dari beberapa bank di Medan. Dan di bawahnya lagi adalah Sabri, yang pada 1983 membobol Bangkok Bank di Jakarta sebesar Rp 1 milyar. Para penjahat "kerah putih" ini memang mengkhawatirkan. Terutama bila dilihat dari jumlah dana yang bisa disodok. Sumber TEMPO menyatakan, pada 1982-1986 awal telah terjadi 33 kasus dengan nilai kerugian yang cukup fantastis: Rp 15,4 milyar lebih. Yanoi mengaku mau diperalat oleh Istoro, karena dijanjikan mendapat bagian. Uang sebesar Rp 22 juta memang sempat dikantungi olehnya. Konon, ia menyimpan uangnya dalam kantung plastik yang dipendam dekat sumur di rumahnya. Sedangkan rekannya rata-rata kebagian Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Istoro, yang diduga otak komplotan ini, katanya, juga menjamin mereka bakal aman, sebab, "Polisi 'kan bisa disogok." Nyatanya, tak semua polisi bisa dibeli. Surasono, Laporan Bunga Surawijaya (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus