TIDAK hanya Jos Soetomo yang boleh bersyukur karena bebas dari tuduhan memanipulasikan pajak. Sebelum Jos, Si Raja Kayu, Hendra Rahardja alias Tan Tjie Hien - Direktur Grup Harapan yang dijuluki Raja Hotel di Singapura dan Raja Motor di Indonesia - malah lebih dulu mendapat keputusan serupa walau tak sama. Pengusutan terhadap pemilik perakitan motor Yamaha dan pertokoan Gajah Mada Plaza itu, akhir bulan lalu dihentikan oleh Jaksa Agung Ismail Saleh. Pengusaha itu hanya diwajibkan membayar pajak sebanyak Rp 17 milyar. Sampai pekan lalu, Jaksa Agung Ismail Saleh belum bersedia menjelaskan secara terperinci kebijaksanaannya terhadap kasus manipulasi kelas "kakap" itu. Kepada TEMPO, Ismail Saleh secara samar-samar mengatakan, "Semua telah diselesaikan baik-baik, dan pemerintah sesungguhnya tidak ingin jatuh banyak korban." Hampir semua pejabat teras Kejaksaan Agung juga memilih tutup mulut. "Munkin Jaksa Agung mempunyai taktik lain khusus untuk kasus itu," ujar seorang pejabat tinggi di Kejaksaan Agung. Taktik itu, menurut pejabat yang tidak bersedia disebut namanya, tidak berarti terjadi perubahan sikap kejaksaan. "Kejaksaan tetap akan mengajukan manipulator-manipulator pajak ke pengadilan, walau misalnya tersangka sanggup membayar," ujar sumber itu lagi. Artinya, kasus Hendra hanyalah pengecualian dalam operasi antikorupsi yang lagi galak-galaknya dilaksanakan kejaksaan, termasuk "korupsi pajak". Manipulasi pajak perusahaan perakitan Harapan Motor yang dipimpin Hendra itu terungkap akibat ulah salah seorang bekas karyawan. J.C. Soedarmanto - bekas ketua serikat buruh dan sekretaris direksi di perusahaan perakitan motor itu - berhasil mencuri dokumen-dokumen perusahaan, sebelum ia keluar dari pekerjaannya. "Sejak masuk kerja, saya sudah tahu ada permainan pajak di perusahaan itu," ujar Soedarmanto. Misalnya, katanya, fasilitas pembebasan pajak (tax holiday) untuk perakitan mobil disalahgunakan guna memasukkan mobil-mobil mewah atau mesin penggergaji kayu "Sekurang-kurangnya ada 1 mobil mewah, termasuk Jaguar masuk dengan fasilitas bebas bea," ujar Soedarmanto lagi. Namun, dokumen manipulasi pajak yang diadukan Soedarmanto ke kejaksaan bukan soal mobil mewah itu, melainkan soal pajak perusahaan "Sekurang-kurangnya, dalan periode 1978-1983, manipulasi pajak perusahaan itu mencapai Rp 40 milyar," ujar Soedarmanto. Terus terang bekas karyawan Hendra itu mengaku, sebelum melapor ke kejaksaan, ia berusaha memeras perusahaan bekas tempatnya bekerja. "Saya ditawari Rp 15 juta, ngapain. Kalau Rp 1 milyar gue mau, tapi alau cuma seratus sampai dua ratus juta, nggak usah saja," ujar Soedarmanto. Gagal memeras, Soedarmanto melaporkan kasus itu ke kejaksaan. Ia diperiksa oleh tim operasi pajak kejaksaan. "Bukti laporan saya lengkap. Lihat saja, misalnya, laporan MPO perusahaan, dan bandingkan dengan data jumlah sepeda motor Yamaha di kepolisian - pasti berbeda banyak," katanya. Berdasarkan laporan itu, menurut seorang anggota tim pemeriksa, kejaksaan melancarkan operasi penggerebekan. Tim berhasil menemukan pembukuan asli perusahaan itu yang ternyata berbeda dengan pembukuan yang dilaporkan ke instansi pajak. "Jadi, semua bukti dalam perkara Hendra itu cukup. Hanya saja, ada pertimbangan lain yang menyebabkan perkara itu tidak jadi ke pengadilan," ujar anggota tim pemeriksa itu. Apa pun pertimbangan Jaksa Agung, "kebijaksanaan" terhadap Hendra Rahardja seakan-akan antiklimaks dari sikap menggebu-gebu kejaksaan menggebrak korupsi di segala sektor, termasuk swasta selama dua tahun ini. Dilengkapi pula dengan gagalnya kejaksaan menuntut Jos Soetomo di Pengadilan Negeri Samarinda. Awal 1982, Jaksa Agung Ismail Saleh mengeluarkan ancaman, akan menyeret manipulator pajak ke pengadilan dengan tuduhan berat: menuntut mereka berdasarkan undang-undang antikorupsi yang memuat ancaman hukuman seumur hidup. Ancaman itu tidak main-main. Dua perusahaan PMA, yaitu PT Tobusco (Tobu Indonesia Steel) dan PT Kalisco (Kali mantan Steel Co.), pada Maret 1982 diumumkan telah memanipulasikan pajak pajak perusahaan. Kedua perusahaan Jepang-Indonesia yang memproduksikan besi baja itu dituduh menggunakan buku ganda untuk mengelabui pajak. Sekitar Juli 1982, Direktur Keuangan PT Tobusco, Yoyiro Kitajama, dan Presiden serta Wakil Presiden Direktur PT Kalisco Thomas Wibowo dan Hirosutgu Murai, dihadapkan ke meja hijau. Kitajama dituduh mengkorupsikan pajak sekitar Rp 811 juta, sementara Wibowo serta Murai merugikan negara sekitar Rp 887 juta. "Inilah kasus pajak pertama yang disidangkan di Indonesia," ujar jaksa penuntut umum dalam perkara Kitajama, Bob R.E. Nasution, ketika itu. Langkah pertama itu sukses diselesaikan kejaksaan. Ketiga pengusaha itu divoni Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 2-3 tahun penjara Selain itu, mereka diwajibkan melunasi utang kepada negara berikut denda masing-masing Rp 3,5 milyar. Meskipun demikian, sukses kejaksaan itu tidak lepas pula dari kritik. Penggunaan undang-undang korupsi untuk menjaring penyeleweng pajak dianggap berlebihan oleh ahli-ahli hukum. "Tidak ada maksud pembuat undang-undang untuk menggiring perbuatan pidana lain ke dalam delik korupsi," ujar bekas Ketua Mahkamah Agung, Prof. Oemar Senoadji, yang ikut melahirkan undang-undang antikorupsi itu. Dalam seminar yang diselenggarakan Persahi (Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia), tahun lalu, guru besar FHUI itu menilai bahwa penggunaan undang-undang antikorupsi untuk kasus pajak itu, sebagai gejala perluasan pelaksanaan undang-undang antikorupsi, melebihi maksud pembuat undang-undang. Kejaksaan tidak menanggapi kritik itu. Jos Soetomo, misalnya, tetap saja diusut dan diadili dengan tuduhan korupsi. Pengadilan Tinggi Jakarta juga mendukungnya. Peradilan banding itu sependapat dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara korupsi Direktur Akunting PT Tobusco, Kitajama, meski membebaskan Presiden dan Wakil Presiden Kalisco, Wibowo dan Murai. Alasan Pengadilan Tinggi, Agustus 1983, tanggung jawab terhadap manipulasi pajak dengan buku ganda itu terletak pada direktur akunting, bukan pada presiden atau wakil presiden direktur. Bahkan, Mahkamah Agung, November 1983, memperkuat putusan peradilan banding atas Kitajama. Dengan putusan peradilan tertinggi itu berarti terbentuk yurisprudensi bahwa kasus pajak bisa diadili berdasarkan undang-undang antikorupsi. Keputusan itu mendorong Jaksa Agung Ismail Saleh melanjutkan operasi mengganyang penyeleweng pajak. "Tidak akan ada ampun lagi bagi perkara-perkara semacam itu," ujar Ismail Saleh waktu itu. Tapi, yurisprudensi itu, akhir tahun lalu ditumpulkan oleh undang-undang baru tentang perpajakan (Undang-Undang No. 6 tahun 1983). Undang-undang itu menentukan sanksi pidana bagi pelaku manipulasi pajak dengan ancaman hukuman tertinggi 3 tahun penjara atau denda sebanyak-banyaknya empat kali lipat dari jumlah pajak yang terutang. Sebab itu pula pembela Tobusco dan Kalisco, Albert Hasibuan, menganggap tidak tepat tindakan kejaksaan memakai undang-undang antikorupsi untuk kejahatan pajak. "Kejaksaan harus menggunakan undang-undang perpajakan," ujar Albert, Ketua Komisi III DPR. Rupanya, kejaksaan tidak berpaling dari undang-undang antikorupsi. Berbagai perkara lain masih juga diusut dan akan diadili dengan tuduhan korupsi. Di Jakarta, misalnya, selain perkara manipulasi pajak perusahaan asing yang membuat lemari besi Chubb Lips, kejaksaan juga tengah menggarap sebuah perusahaan supermarket terkenal di Jakarta. Perkara Chubb Lips - yang menurut rencana bulan ini juga akan diajukan ke pengadilan - tidak banyak berbeda dengan kasus Tobusco, Kalisco, dan Grup Harapan. Tiga orang direksi perusahaan asing itu, termasuk direktur utamanya seorang warga negara Inggris, menurut sebuah sumber, dituduh menggunakan pembukuan ganda untuk memanipulasikan pajak perusahaannya. Akibat perbuatan mereka itu, menurut sumber itu lagi, negara dirugikan tidak kurang dari Rp 985 juta. "Ketiga direksi perusahaan asing itu tetap akan dituduh korupsi," ujar jaksa, yang ikut tim pemeriksa, dengan mantap. Kendati begitu, kemantapan sikap saja tentu tidak menjamin tersangka-tersangka kasus pajak harus dihukum. Dalam kasus Jos Soetomo, misalnya, Majelis Hakim ternyata tidak terbawa "arus". Apalagi kejaksaan sendiri, seperti dalam kasus Hendra Rahardja, ternyata tidak konsisten dalam menangani kasus pajak. Tak kurang dari Albert Hasibuan yang menyesalkan sikap kejaksaan berpilih-pilih bulu dalam menangani kasus pajak itu. "Jika kejaksaan konsisten - masalah pajak adalah korupsi - kasus Hendra harus disidangkan," ujar Albert. Alasan yang dikemukakan Jaksa Agung Ismail Saleh bahwa kejaksaan tidak ingin jatuh banyak korban, menurut Albert, tidak yuridis. "Itu sikap politis," katanya. Seharusnya, kata anggota DPR itu lagi, "Jika kejaksaan menemukan pelanggaran hukum, perkaranya harus disidangkan." Pendeponiran bisa dilakukan kejaksaan tambah Albert, hanyalah demi kepentingan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini