Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Makelar, cengkeraman dan jasanya

Dengan adanya pembesituaan kapal berusia 30 th keatas para pemilik kapal berharap ongkos tambang akan naik para pialang (broker) mempermainkan ongkos tambang. (eb)

14 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sesuatu yang ditunggu kalangan pelayaran dengan pembesituaan kapal berusia 30 tahun ke atas: membaiknya ongkos tambang (freight). Hari-hari ini, di tengah berlebihnya suplai ruangan kapal, para pialang (broker) masih bisa seenaknya mempermainkan ongkos tambang itu. Situasi itu tampaknya akan berubah jika, mulai 1 Mei nanti, 62 kapal pelayaran nusantara dan 26 kapal pelayaran lokal dengan bobot mati total 63.000 ton - secara berangsur jadi dikeluarkan dari jajaran armada nasional. Para pemilik kapal berharap, berkurangnya suplai ruangan sebesar itu bakal memperkuat posisi tawar-menawar ongkos tambang. "Kalau pemilik kapal kompak, pialang pasti tidak bisa apa-apa," ujar Ibnu Saad, Direktur Utama PT Maskapai Pelayaran Nusantara (MPN). Saat ini, katanya, pemilik kapal yang bersaing memperebutkan muatan, tak bisa berkutik menghadapi pialang yang sanggup mengumpulkan muatan tak terbatas dengan cepat. Kalau sebuah perusahaan pelayaran menolak, ujar Sjamsudin Martowidjojo, Direktur Utama PT Bahari, "mereka akan menawarkan muatannya kepada perusahaan lain." Menurut Sjamsudin, kuatnya posisi para pialang itu banyak disebabkan pula oleh keengganan pemilik barang berurusan dengan pemilik kapal. Anggapan itu dibenarkan oleh seorang pialang yang berpangkalan di pelabuhan Sunda Kelapa. Kata pialang itu, jika pemili barang mengirim sendiri-sendiri, ongkos muat barang mereka lebih mahal. "Tapi, kalau barangnya dikirim ramai-ramai 'kan jatuhnya bisa murah," katanya. "Nah, orang seperti kami inilah yang kerjanya ngumpulin barang, yang dapat menekan ongkos muatan mereka." Anggapan itu tidak seluruhnya benar. Praginanto dari TEMPO, yang mencoba menghubungi salah satu pialang di kawasan Jembatan Lima, Jakarta Barat, misalnya, ternyata disodori sebuah daftar tarif yang bukan main. Misalnya, untuk mengangkut piano dari Tanjung Priok ke Belawan, Medan, dia diminta membayar Rp 200 per kg atau Rp 200.000 per ton termasuk ongkos kirim sampai ke alamat. "Kalau alamatnya di luar kota, yang jaraknya sekitar 40 km, ongkosnya tambah seperlimanya," ujar pialang berlogat Mandarin. Tapi tidak semua barang bisa dihitung dengan cara kiloan. Sebuah muatan bisa saja kemudian dihitung per meter kubik, jika oleh pialang itu dianggap lebih mudah dalam perhitungannya. Tarif untuk muatan semacam ini, seperti kemasan kapuk, buat alamat tujuan di Medan sekitar Rp 35.000 per meter kubik. Dalam praktek, pemilik kapal sering hanya menerima ongkos muat dari pialang itu sekitar Rp 13.000 atau sekitar separuh dari tarif resmi yang ditetapkan pemerintah. Dengan kata lain, menurut Sjamsudin, para pialang memang tega menyunat freight tadi 40% sampai 60%. Dan, pada umumnya, "pemilik kapal tidak bisa berbuat apa-apa," tambahnya. Apa boleh buat, Gafar Usman, Manajer PT Gapsu Lines, Surabaya, harus menerima keadaan sial itu. Jika tarif normal untuk angkutan, seperti besi beton dari Surabaya ke Bitung, adalah Rp 26.000 per ton, karena ulah pialang, dia harus cukup puas mengantungi Rp 15.000 saja. "Kalau nggak mengalah begitu, di saat kini tonase kapal berlebihan, mana bisa kami dapat barang?" katanya. Menurut kalangan pemilik kapal, di Surabaya kini sedikitnya ada tiga pialang yang aktif mengontrol suplai barang. Sedangkan di Jakarta diperkirakan dua orang. Mereka pada umumnya hanya memiliki kantor sederhana - meja kursi seadanya dan pesawat telepon - seperti halnya pialang di kawasan Jembatan Lima itu. Menurut Sjamsudin, untuk bertindak sebagai pengirim barang, mereka biasanya menyewa bendera atau nama perusahaan sebuah Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). Kata dia, mereka pada umumnya menguasai muatan barang umum trayek gemuk Indonesia Barat: Jakarta-Medan. Kendati kantor mereka sederhana, hubungan mereka dengan pemilik barang ternyata sudah dijalin sejak lama. "Cara kerja mereka benar-benar seperti Mafia," ujar Sjamsudin setengah geregetan. Betapa pun jengkel pemilik kapal menghadapi pialang, mereka tetap tak bisa menghindari cengkeraman pemberi jasa itu. Dari para pialang inilah, 60% muatan barang untuk Maskapai Pelayaran Nusantara berasal. Bahkan keadaan lebih parah terjadi pada PT Pelni: sekitar 95% dari pendapatan perusahaan yang Rp 4 milyar dari Tanjung Priok, pada 1983 lalu, ternyata berasal dari para pialang - dengan kata lain hanya Rp 200 juta yang langsung dihasilkan Pelni. "Sulit memang mengatasi dominasi para pialang ini," ujar Sudharno Mustafa bernada pesimistis. Anggapan itu tampaknya benar, kata seorang pialang, mengingat hubungan mereka dengan pemilik barang sudah dilakukan secara "turun-temurun" - sudah sejak lama hubungan dengan pemilik kapal dibina. Bahkan, boleh tidak percaya, "banyak pemilik kapal, karena tidak punya kantor atau gudang di Jakarta, minta kami berperanan jadi kantor muatan untuk mereka," ujar pialang tadi. Tapi bukan tidak mungkin pula, para pialang ini bekerja sama dengan karyawan pemilik kapal, yang lebih suka menerima muatan dari mereka - karena dari situ mereka bisa memperoleh komisi. Nah, kalau sudah begini, dari mana harus mulai mengatasinya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus