BANYAK orang gila buntut SDSB. Tapi agaknya baru Nyonya Sri Rochmani, seorang penduduk Pandansari, Semarang, yang tega mengelabui suaminya. Suatu hari, ia "bersandiwara" seolah-olah rumahnya kerampokan. Akibatnya, uangnya, uang suaminya yang lebih dari Rp 4 juta, berikut perhiasannya ludes. Bukan itu saja, ia juga dianiaya perampok hingga berlumuran darah. Ternyata, semua cerita itu bohong belaka. Semua kekayaannya itu sebenarnya telah dihabiskannya untuk membeli buntut SDSB dan membayar dukun peramal buntut. Gara-gara "sandiwara" itu, Pengadilan Negeri Semarang Senin pekan lalu memvonis Sri Rochmani 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Kamis subuh 3 Maret 1988 lalu, Sugiyono, 37 tahun, seperti biasa berangkat salat subuh di masjid dekat rumahnya. "Ketika saya berangkat, istri dan kelima anak saya masih tidur lelap," kata Sugiyono. Alangkah terkejutnya agen koran dan majalah ini. Sepulang dari masjid, ia mendapati rumahnya porak-poranda. Pintu rumah dan lemari terbuka lebar, isinya berantakan. Dan, "Astagfirullah," seru Sugiyono, melihat istrinya tergeletak di lantai, dengan kaki dan tangan terikat kain. Mulut Rochmani tersumbat kain lap, dari kening dan hidungnya darah mengucur. Di pagi buta itu, rumah Sugiyono langsung ramai didatangi tetangga. Rochmani segera dilarikan ke RSU Dokter Karyadi dan sempat dirawat tiga hari. Kepada Poltabes Semarang, 12 Maret 1988, Rochmani melaporkan bahwa ia habis dirampok dua orang tak dikenal. Uang tunai Rp 4 juta di lemari amblas, setoran koran dan majalah suaminya Rp 500 ribu juga ikut raib, begitu pula kalung dan giwang seharga Rp 1,5 juta. Ludes semua. Selain merampok, demikian laporan Rochmani, kedua lelaki tak dikenal itu sempat menyiksanya sehingga kening dan hidungnya berdarah. Ternyata, Rochmani memang berbakat main sandiwara. Tak ada yang curiga atas kejadian itu. Tak juga suami atau tetangganya. Bahkan polisi pun menerima laporan itu, tanpa mencurigai Rochmani. Toh sepandai-pandai menyimpan barang busuk, akhirnya akan tercium juga. Sandiwara itu terungkap bermula dari laporan seorang tetangga Rochmani, Nyonya Maelani Kurniawan. Pada 24 April 1989, kata Maelani, lebih dari setahun setelah "perampokan" itu, ia didatangi Rochmani dengan maksud akan meminjam uang. Sebagai jaminan, Rochmani membawa sebuah kalung. "Ternyata, kalung yang dijadikan jaminan itu adalah kalung yang pernah dilaporkan dirampok orang," kata Maelani. Sebenarnya, Maelani tak hendak mempersoalkan kalung Rochmani. Cuma, ia menyimpan "luka" lama. Setelah "perampokan" itu, ia sempat dituduh Rochmani sebagai dalang perampok. Akibat fitnah itu, Maelani sempat dipanggil polisi dan diperiksa dari pagi sampai lewat tengah malam. "Maka, sekarang saya tega melaporkan ke polisi, Rochmani sendirilah yng merampok rumahnya," ujar Maelani lagi. Polisi segera melacak kebenaran cerita Maelani. Rochmani tak bisa mungkir. Ia mengaku telah merampok rumahnya sendiri. Uang tunai Rp 4,5 juta dan perhiasan yang dilaporkan hilang, katanya, sebenarnya ludes dipakai untuk memasang buntut SDSB. Tak cuma beli buntut, sebagian, uang tabungan agen koran dan majalah itu juga habis di tangan dukun ramal. "Dia memang sering pergi ke dukun mencari nomor, tanpa saya ketahui," ujar Sugiyono, menyesali istrinya. "Waktu itu saya memang kalap, senang pasang buntut. Sekarang saya kapok, tak mau beli lagi," ujar Rochmani menyesal. Kendati hampir buntung, ia masih untung, cuma dihukum percobaan. Dan suaminya pun telah memaafkan perbuatannya. "Yah . . ., semua ini saya anggap cobaan dari Allah," kata Sugiyono. TH (Jakarta) dan Heddy Lugito (Biro Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini