ENTAH mimpi buruk apa yang "mengunjungi" Hilal Thalib, seorang penduduk Bogor. Empat oknum ABRI dan beberapa orang sipil tiba-tiba mengobrak-abrik dan menyegel rumahnya di Jalan Dewi Sartika 5-B, Bogor. Aliran listriknya diputus. Tak hanya itu. Pegawai kantor cabang Pengacara Palmer Situmorang di Bogor itu dipukuli babak belur dalam keadaan tangan diborgol. Untunglah, kesewenang-wenangan itu tak selesai begitu saja. Tak sampai sepekan setelah kejadian, Komandan Korem 061/Swyakencana Bogor Kolonel (Inf) Maman Herawan bertindak. Keempat oknum itu -- tiga orang dari Jakarta dan seorang anggota Kodim Bogor -- dipanggil atasannya -- untuk diperiksa POM ABRI Bogor. Selasa pekan lalu, di hadapan wartawan, secara resmi Maman menyesalkan tindakan oknum-oknum itu. "Oknum-oknum tersebut tidak mampu mengendalikan diri dan kurang pengetahuan di bidang hukum, sehingga mereka bertindak demikian," ujarnya. Malapetaka yang menimpa dirinya, menurut cerita Hilal, memang bersumber dari rumah yang ditempatinya itu. Tuturnya, rumah tersebut -- terdiri dari dua buah rumah berdampingan dengan Nomor 5 A dan 5 B -- milik Said Balbaid, meninggal pada 1985. Tapi sampai kini harta warisan itu belum dibagi antara Zulaikha --istrinya -- dan empat adik kandung Said. Keempat saudara Almarhum itu, katanya, ingin agar kedua rumah itu dijual untuk membayar utang Said sebanyak US$ 12.000 kepada Achmad Bakulka. Tapi Zulaikha keberatan. Wanita itu, selain memakai sendiri rumah Nomor 5 A, malah mengontrakkan rumah Nomor 5 B kepada orang lain. Selaku kuasa hukum saudara-saudara Mendiang, Hilal menguasai rumah Nomor 5 B tersebut dan mengusir penghuninya. Memang ia mendapat kuasa dari kliennya untuk menjaga, menempati, dan mempertahankan rumah itu -- tapi tidak untuk menjualnya. Sebagian dari rumah itulah yang disewakan Hilal kepada Pengacara Palmer Situmorang -- dan kemudian ia juga menjadi pegawai pengacara tersebut. Lucunya, Hilal juga mendapat kuasa pihak Zulaikha -- walau kemudian dicabut. Ternyata Zulaikha tak hanya mencabut kuasa, tapi juga mengadukan Hilal ke Polsekta Bogor Tengah, 13 Agustus 1988. Ia menuduh Hilal telah menyerobot dan merusak rumah yang ditempatinya. Hilal pun diperiksa polisi. Tapi, belakangan, polisi menghentikan penyidikan dalam kasus itu. Tak ada apa-apa setelah itu. Tiba-tiba Rabu siang, 8 Maret, sekitar 20 orang oknum tentara dan sipil mendatangi rumah Hilal. Seorang kopral, sebut saja Sukendar, berteriak: "Mana Hilal Thalib?" Yang dicari sedang ke Jakarta. Kepada Cecep seorang tetangga Hilal -- Sukendar memberitahukan bahwa rumah sengketa itu akan dikosongkan. Semula Cecep berusaha menenangkan oknum itu. Tapi ia mundur setelah dibentak Sukendar. "Saya bawa kamu ke Kodim," katanya sambil mencabut borgol. Disaksikan istri dan anak Hilal, oknum tersebut lantas mengobrak-abrik rumah itu. Semua kunci di rumah itu diambilnya. Masih belum puas, Sukendar menuju ke kantor Pengacara Palmer di sebelah rumah Hilal. Papan nama kantor itu dipatahkan. Tumpukan berkas perkara di kantor itu diacak-acak, aliran listriknya diputus. Seperti juga rumah Hilal, kantor Palmer itu kemudian disegel. Oknum itu mengeluarkan tiga buah surat penyegelan untuk kedua rumah itu -- ditandatangani Kopral Sukendar. "Lengkap dengan NRP-nya," cerita Cecep. Tapi, rupanya, aksi Sukendar itu tak berkenaan di hati beberapa oknum yang ikut mendampinginya. Sebagian dari mereka meninggalkan tempat itu. Hanya beberapa orang yang tetap menunggu kedatangan Hilal, di rumah sebelah yang ditempati Zulaikha. Baru sorenya Hilal muncul di rumahnya. Tentu saja ia kaget mendapati rumahnya dalam keadaan gelap dan disegel. Ketika ia terbengong-bengong itulah muncul empat oknum, termasuk Sukendar dan Serda (AL) Aminsyah -- juga bukan nama sebenarnya. "Mana Hilal?" tanya Kendar. "Saya," jawabnya tenang. "Ayo, ikut ke Kodim," lanjut Sukendar. Hilal menolak, dan menanyakan bab penyegelan itu. "Sayalah yang menyegel. Kamu mau apa?" bentak Sukendar. Hilal, 41 tahun, tetap bersikukuh menolak diajak ke Kodim -- karena oknum itu tak memperlihatkan surat penahanan dan identitas dirinya. Tapi oknum-oknum kehilangan kesabaran. Mereka segera memborgol tangan Hilal. Dalam keadaan diborgol itulah, dua orang di antara oknum itu -- Sukendar dan Aminsyah -- menggebukinya. Dengan sepeda motor, malam itu juga, Hilal dibawa ke Kodim. Di Kodim Bogor, cerita Hilal, kepada petugas piket, ia dilaporkan sebagai tahanan dan dipukuli kembali. Tindakan oknum itu ternyata menyinggung seorang perwira piket. "Kamu ini tentara atau bukan. Kamu harus tahu aturan. Bawa dia sekarang juga. Ini tidak ada urusannya dengan Kodim," kata petugas itu. Rombongan, yang terdiri dari tiga sepeda motor itu, pun ngeloyor. membawa "tawanannya" ke Polsekta Bogor Timur. Di situ mereka kembali hendak metitipkan Hilal. "Tahanan ini kami titipkan di sini. Tolong buka pintu sel," kata Sukendar. Polisi di Polsekta juga tak mau menerima begitu saja. "Kalau betul ini tahanan Kodim. tolong berikan surat-suratnya" kata petugas itu. Sukendar ternyata tak kehilangan akal. "Sebentar saya ambilkan. Awas, tahanan ini jangan sampai lepas," katanya seperti diceritakan Hilal. Ternyata sepuluh menit kemuaian pihak Polsek menerima telepon dari Kodim yang mengabarkan bahwa "Kodim tak ada urusan dengan tahanan itu." Dua hari kemudian Palmer melayangkan surat protes ke Danrem Bogor, dengan tembusan ke Pangab. "Tindakan macam apa itu? Mbok, ya, mikir. Pakai, dong, saluran hukum," kata Palmer kesal. Ia, katanya, terpaksa mengadu, "Agar oknum itu tidak sewenang-wenang. Secara immaterial, saya rugi besar. Saya tidak bisa terima, kantor saya diacak-acak semacam itu," katanya. Rupanya protes Palmer tak menguap. Tak sampai sepekan, dengan gerak cepat Korem Bogor telah mengusut kasus itu, dan bahkan mengumumkan penyesalannya. Pangab Jenderal Try Soetrisno pun menanggapi kasus itu. "Kasusnya sudah diselesaikan Danrem," kata Try kepada TEMPO. Bagaimana bentuk penyelesaiannya? "Pendeknya, siapa yang melanggar peraturan akan ditindak, termasuk aparat militer," kata Jenderal Try Soetrisno.Widi Yarmanto dan Agung Firmansyah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini