Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tujuh Lapis Rantai Ayam Potong

Lonjakan harga ayam potong di bulan puasa sulit dikontrol. Jalur distribusi dimonopoli segelintir "pemain".

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BULAN puasa menjadi ajang tahunan bagi Djumadi mengais keuntungan tambahan. Pedagang ayam potong di Pasar Mampang, Jakarta Selatan, ini mengaku, setiap Ramadan, harga salah satu bahan kebutuhan pokok itu selalu naik.

Djumadi mengaku melego satu ekor ayam potong seharga Rp 33 ribu, naik dari harga normal Rp 23-25 ribu. Menurut dia, harga itu sudah turun dibanding awal-awal Ramadan. "Waktu itu harganya sempat Rp 35 ribu seekor," kata lelaki 56 tahun ini kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.

Di Kendari, Sulawesi Tenggara, harga ayam potong menjadi Rp 60 ribu per ekor dari sebelumnya Rp 50 ribu. La Dio, pedagang ayam di Pasar Panjang Wua-wua, mengatakan harga baru itu sudah mencapai dua kali lipat dari sebelum Ramadan. Kenaikan harga terjadi dari pengepul yang memasok ayam ke pedagang. "Biasanya paling mahal Rp 40 ribu," ujarnya.

Membubungnya harga ayam potong, menurut Badan Pusat Statistik, menjadi salah satu penyebab utama inflasi Mei-Juni. Pada Mei, harga daging ayam ras naik 5,7 persen sehingga memberi andil 0,07 persen terhadap inflasi, yang saat itu tercatat 0,16 persen. Sedangkan pada Juni, saat inflasi tercatat 0,43 persen, andil ayam ras mencapai 0,06 persen.

Lonjakan harga "rutin" ini menarik perhatian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Komisi ini mengundang empat perusahaan besar di industri perunggasan Indonesia pada Senin pekan keempat bulan lalu. Mereka yang diundang adalah PT Charoen Pokphan Indonesia, PT Japfa Comfeed Indonesia, PT Malindo Feedmill, dan PT Sierad Produce.

Komisioner KPPU Sukarmi menyebutkan empat perusahaan itu menguasai hampir 90 persen pasar bibit ayam. "Kami mau tahu kalau setiap Ramadan harga ayam membubung itu siapa yang untung," katanya.

Dalam rapat itu, manajemen empat perusahaan tersebut menyangkal menikmati keuntungan dari kenaikan harga daging ayam. Sebab, saat rata-rata daging ayam mencapai Rp 31 ribu per kilogram, misalnya, para pengusaha ini melepas bibit ayam seharga Rp 5.000 ke peternak. Begitu pun para peternak melepas ayam seharga Rp 12 ribu per ekor ke broker.

Di hadapan KPPU, para produsen ayam dan pakan ayam itu justru menuding para broker yang memainkan harga ayam di tiap mata rantai distribusi yang mereka pegang. Untuk sampai di tangan konsumen, daging ayam dari para peternak itu harus melalui rantai distribusi yang panjangnya mencapai tujuh lapis.

Urutannya dari peternak ke broker besar, lalu ke rumah potong ayam, kemudian broker kecil, ke pengepul, lalu ke tangan pedagang pasar. Rantai terakhir, ayam potong masih dioper lagi ke penjual sayuran, baru sampai ke konsumen. Menurut Sukarmi, panjangnya rantai distribusi itu menyulitkan pengawasan. "Ini sulit dilacak karena kebanyakan pedagang ini individual, bukan badan usaha," ucapnya.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas Krissantoro menyangkal kabar bahwa pangsa pasar empat pemain besar mencapai 90 persen. Menurut dia, market share yang mereka kuasai tidak lebih dari 50 persen. "Sulit kalau mau membentuk kartel atau monopoli," katanya.

Krissantoro menyebutkan keempat perusahaan yang dipanggil KPPU itu disorot semata karena mereka perusahaan terbuka. Padahal ada perusahaan besar lain, seperti CV Super Unggas Jaya, yang juga besar tapi jauh dari sorotan karena kurang dikenal publik.

Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia Anton Supit menyatakan naiknya harga daging ayam menjelang Ramadan dan Lebaran adalah hal yang wajar. Sebab, pada saat-saat tersebut permintaan ayam di pasar memang sedang tinggi. Di Jakarta, jika pada hari biasa ada 1,5 juta ekor ayam dipotong, saat menjelang Ramadan dan Lebaran jumlahnya bisa mencapai 2,8 juta ekor per hari. "Harga itu di tangan pedagang. Kami, produsen, tidak atur-atur harga," ujarnya.

Bantahan memainkan harga juga disampaikan oleh Sekretaris Perusahaan Malindo Feedmill Rudy Hartono. "Kami enggak tahu apa-apa soal kenaikan harga daging ayam ini," katanya. Adapun Direktur Sierad Produce Eko Sanjoyo mengatakan kenaikan harga ayam bukan di tangan produsen. "Naik-turunnya harga diatur oleh pasar."

Panjangnya rantai distribusi itu juga dikeluhkan oleh Ketua Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional Tri Hardianto. Menurut dia, pemerintah harus turun tangan untuk memotong rantai distribusi yang panjang itu. Caranya dengan membangun fasilitas rumah potong unggas yang memadai di dekat pasar.

Selain itu, Tri mengusulkan pemerintah melengkapi rumah potong unggas tersebut dengan fasilitas pendingin yang memadai. Tujuannya agar ayam-ayam yang sudah dipotong dapat lebih dulu disimpan jika tak langsung laku. "Dengan begitu, fluktuasi harganya tidak terlalu tinggi," ujarnya.

Konsep ini sebetulnya telah dilakukan oleh peretail modern. Misalnya PT Carrefour Indonesia, yang berhasil memotong rantai distribusi dengan meneken kontrak langsung dengan rumah potong hewan. Head of Corporate Affairs Trans Retail Indonesia Satria Hamid Ahmadi mengatakan, di DKI Jakarta, Carrefour bermitra dengan empat rumah potong unggas, yang masing-masing memasok sekitar 5 ton ayam ke gerai di dekatnya.

Adanya fasilitas pendingin yang memadai untuk mengawetkan produk-produk segar membuat Carrefour lebih leluasa menyimpan ayam-ayamnya lebih lama. Stok di gudang itulah yang membuat perusahaan bisa menahan harga di level aman kala pasar bergejolak.

Saat harga daging ayam di pasar mencapai Rp 35 ribu per kilogram di Carrefour, harga tetap ada di level Rp 30 ribu, meski diakui bahwa penahanan harga itu hanya bisa dilakukan di tingkat tertentu. "Kalau tren harga memang naik, ya, mau tidak mau kami akan mengikuti produsen," kata Satria.

Namun Sukarmi memastikan KPPU tidak akan menelan begitu saja bantahan kalangan pengusaha perunggasan itu. Lembaganya akan tetap menelisik potensi persaingan usaha tidak sehat dalam kegiatan produksi dan distribusi ayam potong. "Kami akan memelototi terus karena potensi persaingan tidak sehat, termasuk kartel, selalu ada," ujarnya.

Pingit Aria (Jakarta), Rosniawanty Fikry (Kendari)

Populasi, Produksi, dan Konsumsi Ayam Ras Pedaging

TahunPopulasi (ekor)Produksi (ton)Konsumsi (kilogram per kapita)
20091.026.378.5801.101.7653,076
2010986.871.7121.214.3993,546
20111.177.990.8691.337.9113,650
20121.244.402.0161.400.4703,494
20131.355.288.4191.479.811-
SUMBER: DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN KEMENTERIAN PERTANIAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus