Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Selidiki Sindikat Jual Beli Bayi di Depok, Polda Bali Periksa 15 Saksi

Polisi masih mengusut kasus sindikat jual beli bayi Jawa-Bali. Polda Bali mulai bergerak dan telah memeriksa 15 saksi.

21 September 2024 | 12.58 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelaku TPPO lintas provinsi saat digelandang ke Polres Metro Depok, Senin, 2 September 2024. TEMPO/Ricky Juliansyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Denpasar - Kepolisian Daerah Bali telah memeriksa 15 orang sehubungan dengan penyelidikan kasus jual beli bayi lintas provinsi yang pertama kali terungkap di Depok. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Bali Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan mengatakan saksi itu terdiri dari 11 perempuan hamil dan empat karyawan Yayasan Anak Bali Luih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi total 15 saksi yang diperiksa terhadap baik ibu hamil, ibu yang sudah melahirkan, dan yang merawat ibu hamil itu," kata Jansen saat ditemui di kantornya, Bali, Jumat sore, 20 September 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus ini semula terungkap saat polisi menggagalkan penjualan dua bayi baru melahirkan di Depok, Jawa Barat, pada akhir Juli 2024. Polisi telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka yang terdiri dua pasangan hingga pemilik Yayasan Anak Bali Luih, I Made Aryadana. Lima bayi jadi korban, tiga di antaranya telah dijual ke Bali, dua lagi digagalkan Kepolisian Resor Depok.

Mereka dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ancaman hukumannya maksimal 15 tahun bui dan denda paling banyak Rp 600 juta. Selain itu, para tersangka dikenai Pasal 76 huruf f juncto Pasal 83 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Jansen menjelaskan Polda Bali telah berkoordinasi dengan Polres Depok pada 2 September 2024. Polisi lantas menggerebek Yayasan Anak Bali Luih. Hasilnya ditemukan ada tujuh perempuan yang tengah hamil tua di dalam yayasan tersebut. Mereka antara lain MW asal Jawa Tengah, WF dan AS asal Jawa Timur,  RY dan TT asal Jawa Barat, MS asal Jakarta Barat, dan IA asal Lampung.

Tak hanya itu, ada juga empat ibu hamil yang sudah melahirkan di yayasan ilegal itu. Keempatnya adalah LN, SS, dan YR asal Jawa Barat, serta H dari Jawa Timur. Empat karyawan yang bertugas merawat para ibu hamil juga tinggal di sana, yakni KK, AS dan CG asal Jawa Barat, lalu KM asal Bali.

Dari hasil pemeriksaan sementara, menurut Jansen, tersangka I Made Aryadana menjanjikan uang puluhan juta untuk 11 ibu hamil itu asalkan bayi mereka bisa diadopsi. Made juga akan memberi bayaran, satu bayi seharga Rp 45 juta. 

Selain itu, Made yang menanggung biaya transportasi mereka berangkat ke Bali hingga saat melahirkan. Mereka pun diming-imingi fasilitas berupa makanan, perawatan kontrol selama hamil, vitamin, dan biaya persalinan. "Jadi mereka diiming-imingi bahwa anak-anak mereka itu bukan dijual tapi diadopsi," tutur Jansen. 

Ia menyatakan adopsi yang ditawarkan yayasan diduga tak sesuai prosedur. Sebab, proses adopsi seharusnya melibatkan instansi resmi dan ketetapan pangadilan. "Tapi ini tidak ada, dia melalui fasilitator langsung ke yang mengadopsi dan itu masih didalami," ujarnya. 

Muhamad Kadafi (Bali)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus