KETIKA bisnisnya di Singapura merosot, Khong Guan Guan
bersama istri muda (Cathay) dan 9 orang anaknya terpaksa kembali
ke Medan. Di sana memang banyak hartanya: ada dua buah bioskop,
losmen, tanah dan beberapa rumah di kota turis Brastagi.
Kekayaannya tersebut dikelola oleh istri tuanya, Bie Sie,
bersama anak tunggalnya, Khong Tong Hian.
Tapi baik Bie Sie maupun Tong llian, yang meneruskan dan
mengembangkan usaha, tak mau mengembalikan sebagian apa lagi
seluruh harta Khong tua. Tidak juga Bioskop Cathay (Andalas)
yang dibangun Khong Guan Guan pada 1946. Hidup Guan Guan dengan
istri mudanya, Nyonya Cathay, dan anak-anaknya jadi merana.
"Padahal," kata anak tertua Khong Guan Guan dari istri
mudanya Cathay, Vincent Wijaya, "yang kami minta hanya sebuah
gedung bioskop saja . Lainnya kami ikhlaskan." Dan karena istri
tua dan anak tunggalnya tak mau mengalah barang sedikit, Guan
Guan membawa urusan ke pengadilan. Sejak itulah, lebih 20 tahun
lalu, keluarga Khong naik-turun gedung pengadilan.
Belum lagi perkara putus Khong Guan Guan, perantau Cina
yang masuk ke Medan pada 1917, meninggal dunia. Tapi 9 anak dari
Nyonya Cathay tetap meneruskan gugatan melawan ibu dan abang
tirinya. Dari pengadilan ke pengadilan akhirnya keputusan yang
pasti diperoleh dari Mahkamah Agung: Bioskop Andalas yang ketika
itu bernama Cathay harus dibagi dua.
Perkara tak berarti selesai. Tong Hian menuntut pembagian
bagi ibunya, Bie Sie, yang meninggal dunia selagi perkara
berjalan. Nama Bie Sie memang tak ada disebut-sebut pengadilan
sebagai penerima pembagian Bioskop Cathay. Tapi berikutnya, ke
adik tirinya juga memperkarakannya,menuntut agar harta milik
ayah mereka yang lain--selain Bioskop Cathay --juga dibagi-bagi.
Pengadilan, sampai pada keputusan MA (1973), memenangkan
Tong Hian. Tapi adik-adik tirinya tak mau menerima. Mereka
mengajukan keberatan ke MA. Perkara diurus oleh suami adik
tirinya yang terbungsu, Harry Sumampow, bekas Kadapol ll/Sum-Ut.
Tak jelas adakah MA menanggapi keberatan yang diajukan
Sumampow atau tidak. Tapi ada perintah-perintah eksekusi dari
Wakil Ketua MA. Namun hingga kini pelaksanaan putusan pengadilan
toh macet. "Saya tak tahu apa ada yang membantu kami," kata
Vincent, "kalau pun ada tak lain karena kasihan kepada kami saja
orang miskin yang melawan Tong Hian."
Khong Tong Hian memang salah seorang kuat di Medan. Ia tak
mau bercerita apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini