SEGUDANG buku belum tentu sebuah perpustakaan. Sejumlah
koleksi buku di sekolah, kiriman gratis Dep. P & K yang kemudian
disimpan saja, juga tak bisa disebut perpusukaan. Karena itulah
Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), untuk meningkatkan
penyelenggaraan perpustakaan sekolah, sejak September lalu
mengadakan pencatatan.
Yang telah selesai pendaftaran perpustakaan SLTA se-DKI
Jakarta. Dan Rabu pekan lalu, dihadiri Menteri P & K Daoed
Joesoef, di Aula Kanwil P & K DKI diserahkan nomor pendaftaran
perpustakaan kepada sekolah yang memang dianggap sudah
berperpustakaan.
Kriterianya sederhana saja: sekolah itu punya ruang
perpustakaan sendiri, punya sejumlah koleksi buku yang
dipinjamkan kepada murid. Dari 402 SLTA (negeri dan swasta) di
Jakarta, ternyata yang mengembalikan daftar pertanyaan Ditjen
PDM hanya 147. Kesimpulan sementara memang baru sejumlah itulah
SLTA DKI yang berperpustakaan.
"Dulu semua sekolah dikirimi buku. Dan pemerintah tak tahu,
apakah buku itu masuk perpustakaan atau hanya disimpan pak
kepala sekolah," tutur Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen PDM.
Sekarang tentunya pengiriman buku akan didasarkan kriteria di
atas.
Sebetulnya, Dep. P & K sudah memiliki Pusat Pembinaan
Perpustakaan (PPP), yang salah satu bagiannya adalah Bidang
Perpustakaan Sekolah. Dan sudah sejak 1972, menurut Suratman,
Kepala Bidang Perpustakaan Sekolah, instansi ini "sibuk dengan
berbagai acara" guna meningkatkan penyelenggaraan perpustakaan
sekolah Antara lain: penataran guru yang mengelola perpustakaan,
penerbitan buku pedoman penyelenggaraan perpustakaan.
Dan sejak 1973 majalah Berita Perpustakaan Sekolah
diterbitkan. Majalah tiga bulanan itu isinya menyangkut berbagai
aspek perpustakaan sekolah--mulai dari dasar pemikiran, teknik
penyelenggaraan, usaha merangsang minat baca sampai petunjuk
katalogisasi buku.
Satu lagi terbitan berkala PPP: Daftar Blfku dengan Anotasi,
dua kali setahun --ringkasan bermacam buku, fiksi maupun
non-fiksi, yang direkomendasikan untuk perpustakaan sekolah,
lengkap dengan nomor klasifikasi buku dan petunjuk sebaiknya
dipakai di sekolah mana. Semua terbitan PPP itu dikirimkan gratis
ke sekolah-sekolah yang tercatat mempunyai perpustakaan dan ke
Kanwil P & K seluruh Indonesia.
Tapi sebagaimana yang diceritakan Drs. Pardidi, Kepala
Sekolah SMAN IV Jakarta, penyelenggaraan perpustakaan sekolah
tergantung banyak hal. Antara lain minat baca anak-anak. Ada
tidaknya dana yang tersedia. Juga soal tenaga pengelolanya.
Bagi Soemarno sendiri "ada sebab yang lebih mendasar." Yakni
"pada diri kepala sekolah." "Kalau pak kepala sekolahnya memang
melihat pentingnya perpustakaan, tentu perpustakaan mudah
diadakan," katanya.
Pancingan Itu
Bidang Perpustakaan Sekolah PPP memang pernah mengirimkan
daftar pertanyaan ke 444 SMA Negeri seluruh Indonesia, Maret-Mei
tahun lalu-dan yang kembali hanya 173. Karena itulah, meski
jelas terdapat tumpang tindih, niat Dep. P & K yang akan
mewajibkan tiap sekolah mengadakan perpustakaan, bisa dipaham.
"Idealnya perpustakaan sekolah itu terintegrasikan dengan
kurikulum pendidikannya, hingga benar-benar menunjang sekolah,"
menurut Soemarno pula. "Tujuan akhirnya: membina murid agar
nantinya tetap bisa belajar lewat membaca." Tapi Soemarno sendiri,
yang sering meninjau berbagai perpustakaan sekolah, memang
prihatin. Sulit ditemukan perpustakaan sekolah yang ideal.
Di SMA III Jakarta misalnya, yang dikenal cukup baik
perpustakaannya. Menurut Ny. Wahyunarah, guru Bahasa Indonesia
yang diserahi mengelola perpustakaan, dari sekitar 6 ribu buku
koleksinya, 4 ribu terdiri dari karya fiksi yang sebagian besar
novel pop masa kini. Memang ibu guru itu punya alasan. "Kami
masih dalam taraf menggalakkan minat baca," katanya kepada
TEMPo. "Dan pancingan itu memang berhasil. Lihat saja: tiap hari
ratusan siswa menyempatkan pinjam buku ke perpustakaan." Memang
benar.
Di SMA dan SMEA Tarakanita Pulo Raya (kedua sekolah dan
perpustakaannya memang jadi satu), agaknya minat baca murid
telah terbina. Menurut Ny. Aska, pengasuh perpustakaannya,
koleksi buku terbanyak adalah buku non-fiksi, buku pengetahuan.
"Tapi dua tahun yang lalu masih buku cerita yang banyak,"
katanya. Tak berarti buku fiksi tak bermanfaat, tentu, hanya
kesukaan membaca buku non-fiksi menunjukkan semangat yang lebih
tinggi.
Toh, yang mungkin benar-benar memanfaatkan perpustakaan guna
menunjang pelajaran adalah SMA Pangudi Luhur, Jakarta. Meskipun
perpustakaan SMA agak mengabaikan hal-hal teknis --misalnya
perawatan buku. "Yang penting anak-anak bisa membacanya," kata
Bruder Michael, kepala sekolahnya Terlebih penting: di SMA
Katolik ini setiap siswa. diwajibkan membuat sinopsis 4 buku
dalam setahun--dua buku bahasa Inggris, dua bahasa Indonesia.
Ada yang mengambang, memang, dalam koordinasi pembinaan
perpustakaan Dep. P & K ini. Meskipun mungkin cara penggalakan
terakhir ini akan lebih efektif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini