Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Hari Depan: Masyarakat Membaca

Dep P & K akan mewajibkan semua sekolah memiliki perpustakaan. Perpustakaan sekolah selama ini masih diabaikan.

8 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGUDANG buku belum tentu sebuah perpustakaan. Sejumlah koleksi buku di sekolah, kiriman gratis Dep. P & K yang kemudian disimpan saja, juga tak bisa disebut perpusukaan. Karena itulah Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah (PDM), untuk meningkatkan penyelenggaraan perpustakaan sekolah, sejak September lalu mengadakan pencatatan. Yang telah selesai pendaftaran perpustakaan SLTA se-DKI Jakarta. Dan Rabu pekan lalu, dihadiri Menteri P & K Daoed Joesoef, di Aula Kanwil P & K DKI diserahkan nomor pendaftaran perpustakaan kepada sekolah yang memang dianggap sudah berperpustakaan. Kriterianya sederhana saja: sekolah itu punya ruang perpustakaan sendiri, punya sejumlah koleksi buku yang dipinjamkan kepada murid. Dari 402 SLTA (negeri dan swasta) di Jakarta, ternyata yang mengembalikan daftar pertanyaan Ditjen PDM hanya 147. Kesimpulan sementara memang baru sejumlah itulah SLTA DKI yang berperpustakaan. "Dulu semua sekolah dikirimi buku. Dan pemerintah tak tahu, apakah buku itu masuk perpustakaan atau hanya disimpan pak kepala sekolah," tutur Prof. Darji Darmodiharjo, Dirjen PDM. Sekarang tentunya pengiriman buku akan didasarkan kriteria di atas. Sebetulnya, Dep. P & K sudah memiliki Pusat Pembinaan Perpustakaan (PPP), yang salah satu bagiannya adalah Bidang Perpustakaan Sekolah. Dan sudah sejak 1972, menurut Suratman, Kepala Bidang Perpustakaan Sekolah, instansi ini "sibuk dengan berbagai acara" guna meningkatkan penyelenggaraan perpustakaan sekolah Antara lain: penataran guru yang mengelola perpustakaan, penerbitan buku pedoman penyelenggaraan perpustakaan. Dan sejak 1973 majalah Berita Perpustakaan Sekolah diterbitkan. Majalah tiga bulanan itu isinya menyangkut berbagai aspek perpustakaan sekolah--mulai dari dasar pemikiran, teknik penyelenggaraan, usaha merangsang minat baca sampai petunjuk katalogisasi buku. Satu lagi terbitan berkala PPP: Daftar Blfku dengan Anotasi, dua kali setahun --ringkasan bermacam buku, fiksi maupun non-fiksi, yang direkomendasikan untuk perpustakaan sekolah, lengkap dengan nomor klasifikasi buku dan petunjuk sebaiknya dipakai di sekolah mana. Semua terbitan PPP itu dikirimkan gratis ke sekolah-sekolah yang tercatat mempunyai perpustakaan dan ke Kanwil P & K seluruh Indonesia. Tapi sebagaimana yang diceritakan Drs. Pardidi, Kepala Sekolah SMAN IV Jakarta, penyelenggaraan perpustakaan sekolah tergantung banyak hal. Antara lain minat baca anak-anak. Ada tidaknya dana yang tersedia. Juga soal tenaga pengelolanya. Bagi Soemarno sendiri "ada sebab yang lebih mendasar." Yakni "pada diri kepala sekolah." "Kalau pak kepala sekolahnya memang melihat pentingnya perpustakaan, tentu perpustakaan mudah diadakan," katanya. Pancingan Itu Bidang Perpustakaan Sekolah PPP memang pernah mengirimkan daftar pertanyaan ke 444 SMA Negeri seluruh Indonesia, Maret-Mei tahun lalu-dan yang kembali hanya 173. Karena itulah, meski jelas terdapat tumpang tindih, niat Dep. P & K yang akan mewajibkan tiap sekolah mengadakan perpustakaan, bisa dipaham. "Idealnya perpustakaan sekolah itu terintegrasikan dengan kurikulum pendidikannya, hingga benar-benar menunjang sekolah," menurut Soemarno pula. "Tujuan akhirnya: membina murid agar nantinya tetap bisa belajar lewat membaca." Tapi Soemarno sendiri, yang sering meninjau berbagai perpustakaan sekolah, memang prihatin. Sulit ditemukan perpustakaan sekolah yang ideal. Di SMA III Jakarta misalnya, yang dikenal cukup baik perpustakaannya. Menurut Ny. Wahyunarah, guru Bahasa Indonesia yang diserahi mengelola perpustakaan, dari sekitar 6 ribu buku koleksinya, 4 ribu terdiri dari karya fiksi yang sebagian besar novel pop masa kini. Memang ibu guru itu punya alasan. "Kami masih dalam taraf menggalakkan minat baca," katanya kepada TEMPo. "Dan pancingan itu memang berhasil. Lihat saja: tiap hari ratusan siswa menyempatkan pinjam buku ke perpustakaan." Memang benar. Di SMA dan SMEA Tarakanita Pulo Raya (kedua sekolah dan perpustakaannya memang jadi satu), agaknya minat baca murid telah terbina. Menurut Ny. Aska, pengasuh perpustakaannya, koleksi buku terbanyak adalah buku non-fiksi, buku pengetahuan. "Tapi dua tahun yang lalu masih buku cerita yang banyak," katanya. Tak berarti buku fiksi tak bermanfaat, tentu, hanya kesukaan membaca buku non-fiksi menunjukkan semangat yang lebih tinggi. Toh, yang mungkin benar-benar memanfaatkan perpustakaan guna menunjang pelajaran adalah SMA Pangudi Luhur, Jakarta. Meskipun perpustakaan SMA agak mengabaikan hal-hal teknis --misalnya perawatan buku. "Yang penting anak-anak bisa membacanya," kata Bruder Michael, kepala sekolahnya Terlebih penting: di SMA Katolik ini setiap siswa. diwajibkan membuat sinopsis 4 buku dalam setahun--dua buku bahasa Inggris, dua bahasa Indonesia. Ada yang mengambang, memang, dalam koordinasi pembinaan perpustakaan Dep. P & K ini. Meskipun mungkin cara penggalakan terakhir ini akan lebih efektif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus