GEDUNG bioskop di persimpangan Jalan Harjono dan Jalan
Sutomo, di pusat kota Medan, kelihatan lusuh tak terurus. Padahal
Andalas terbilang bioskop kelas satu. Di samping letaknya tak
jauh dari Pasar Sentral, gedung itu juga dilengkapi AC.
"Mau memperbaiki pun sulit," kata A Cin alias Vincent
Wijaya, 29 tahun yang mengaku sebagai pemilik Andalas d/h Cathay
Theatre. "Habis perkara terus, sih," tambahnya lagi. Andalas
yang lusuh itu, yang dipersengketakan pemilikannya sejak lebih
20 tahun lalu, seperti hendak melambangkan betapa tak mudahnya
hukum ditegakkan.
Dalam hubungan itu Mahkamah Agung RI, sebagai lembaga
pengadilan tertinggi negara, kembali menjadi sorotan. Kali ini
melalui sikap salah seorang hakim agung, Z. Asikin Kusumah
AtmadJa, seperti ditulis Harian Sinar Harapan akhir bulan lalu.
Sengketa memperebutkan Andalas, antara sesama ahli waris
Khong Guan Guan, sebenarnya telah lama memperoleh putusan
pengadilan--sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Yaitu
sejak keputusan kasasi MA turun sckitar 8 tahun lalu yang
memerintahkan masing-masing pihak rnembagi dua saja harta
peninggalan almarhum Khong.
Tapi, demikian SH, eksekusi terkatung-katung. Wakil Ketua
MA, R. Santoso Poedjosoebroto, sebenarnya telah memerintahkan
Ketua Pengadilan Negeri Medan, waktu itu M. I . Damanik, untuk
melaksanakan putusan pengadilan. Tapi Damanik ternyata lebih
mengindahkan Hakim Agung Z. Asikin Kusumah Atmadja yang
memerintahkannya agar menunda eksekusi. Pun perintah Wakil Ketua
MA yang kedua tetap tak diindahkan.
Ketika Damanik digantikan Koeswandi perkara Andalas tetap
belum juga memperoleh penyelesaian. Sebab Koeswandi, menurut SH,
juga lebih mentaati perintah Asikin daripada Santoso .
Tak hanya mengenai kasus Andalas. "Campur tangan" Hakim
Agung Asikin juga terlihat pada perkara Huffco Inc. Perusahaan
yang bergerak di bidang penambangan minyak dan gas dari AS ini
kalah berperkara. Pengadilan memerintahkan Huffco agar membayar
US$ 25 juta kepada perusahaan swasta nasional yang dirugikan
karena pembatalan kontrak secara sepihak. Tapi Asikin menunda
keputusan pengadilan tersebut.
Wakil Ketua MA geleng kepala. "Tidak ada keputusan-keputusan
hakim agung yang kontradiksi," katanya. Juga, "tidak ada
persoalan apa-apa antara saya dengan Pak Asikin." Terhadap perkara
yang terakhir MA tidak memberi penjelasan. Tapi mengenai perkara
Andalas, Santoso dan Asikin dalam keterangan tertulis kepada TEMPO,
membantah tuduhan SH. Keputusan pengadilan, katanya, "telah selesai
dilaksanakan." Bahwa pelaksanaannya dulu seret, katanya, itu benar
adanya. Itu karena salah satu pihak selalu tidak hadir atau
menghindari eksekusi.
Kapan eksekusi itu? MA menyebutkan tanggal 25 Juli 1973.
Yaitu berdasarkan pembagian harta warisan yang dilakukan di
hadapan Notaris Marah Sutan Nasution di Medan atas perintah MA.
Benarkah begitu?
Hakim Koeswandi, yang sekarang menjadi salah seorang hakim
tinggi di Jawa Timur, memang membantah tuduhan lebih mentaati
perintah salah seorang hakim agung dari pada Wakil Ketua MA.
"Itu samasekali tidak benar," katanya. Bahwa eksekusi macet,
katanya, benar adanya. Tapi itu soal teknis semata-mata: "Status
barang-barang yang harus dibagi tidak jelas lagi," kata
Koeswandi. Misalnya, ada yang sudah berpindah hak ke tangan
orang ketiga. "Kami tidak gegabah.......bisa repot sendiri."
Begitu pula Pejabat Ketua Pengadilan Negeri Medan yang
sekarang, nyonya Nababan E.D. Nababan, mengakui ada kemacetan
aksekusi perkara Andalas. Dan lebih repot lagi, katanya, berkas
perkara Andalas tak dapat ditemukan lagi. "Hilang entah kemana,"
kata Nyonya Nababan.
Panitera yang mengurus perkara itu dulu, Yunus, telah
pensiun. Ketika Ia diperiksa, tutur Nyonya Nababan, menyatakan
semua berkas dulu berada di tangan Koeswandi. Tapi sudahlah, kata
Nyonya Nababan, "pokoknya saya sedang memproses.... dalam waktu
dekat keputusan pengadilan akan dijalankan." Jadi eksekusi sudah
terlaksana atau belum?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini