Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengketa di Ambon, Darah di Jakarta

Sengketa lahan di Ambon yang menjadi pemicu konflik John Kei dan Nus Kei terjadi sejak 2009. Masih saling menggugat di pengadilan.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu bagian lahan sengketa di sisi barat RSUD Haulussy, Ambon, 30 Juli 2020./Belseran Christ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lima pihak bersengketa atas lahan RSUD Dr M. Haulussy.

  • Mahkamah Agung mengakui klaim kepemilikan Johannes Tisera yang menggunakan jasa John Kei dan Nus Kei.

  • Masih ada Rp 36 miliar duit ganti rugi yang belum diserahkan pemerintah Maluku.

BERLUAS 3,1 hektare, lahan itu berlokasi di sisi barat Rumah Sakit Umum Daerah Dr M. Haulussy, Jalan Dr Kayadoe, Nusaniwe, Ambon, Maluku. Sejumlah bangunan, seperti asrama, rumah genset, dan kamar mayat, berdiri di atasnya. “Itu lahan yang disengketakan,” ujar Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Maluku, Alawiyah Alaydrus, Rabu, 1 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari lahan inilah pecah konflik antara John Refra Kei atau John Kei dan Agrapinus Rumatora alis Nus Kei pada 21 Juni lalu akibat persoalan duit. Kelompok John diduga menyerang anak buah Nus yang berujung pada tewasnya Yustus Dorwing Rakbau di rumah Nus di Jalan Raya Kresek, Duri Kosambi, Jakarta Barat. Baik John maupun Nus sebelumnya sama-sama mengurus lahan itu atas permintaan Johannes Tisera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Johannes, putra mantan Raja Negeri Urimesing, Jacobis Tisera, menganggap tanah itu merupakan warisan ayahnya. Pengacara Johannes, Sidik Latuconsina, mengatakan, pada 1948, pemerintah memberikan ganti rugi kepada keluarga Jacobis untuk membebaskan lahan 4,2 hektare buat mendirikan rumah sakit. Namun hanya 1,1 hektare yang dibayarkan. “Sisanya jadi bukti kepemilikan,” kata Sidik.

Menurut Sidik, rapat adat Negeri Urimesing pada 1979 juga memutuskan lahan tersebut dihibahkan kepada ayah Johannes tak lama setelah dia selesai mengemban tugas sebagai raja. Hasil rapat ini dianggap sebagai alas hak atas tanah, yaitu alat bukti untuk menunjukkan hubungan individu dengan hak yang melekat atas suatu tanah. Sidik mengakui lahan itu sempat dipersoalkan masyarakat Saniri Negeri Amahusu—wilayah setingkat desa. Namun dia menilai mereka tak memiliki alas hak atas tanah.

Sengketa lahan bermula pada 2009 saat keluarga Josephus Nikodemus, yang berasal dari Amahusu, menggugat Pemerintah Provinsi Maluku dan Johannes Tisera terkait dengan kesepakatan ganti rugi lahan RSUD seluas 3,1 hektare. Josephus mengklaim sebagai ahli waris lahan itu. Klaim serupa datang dari Saniri Negeri Amahusu dan Jakobus Alfons, mantan Raja Urimesing. Keduanya mengajukan gugatan intervensi.

Pengadilan Negeri Ambon memutus perkara itu pada 2009. Hakim mementahkan klaim kepemilikan semua pihak. Tak satu pun diakui sebagai pemilik lahan. Tapi putusan itu berubah di pengadilan tinggi, yang memenangkan Johannes Tisera. Pihak yang kalah sempat menempuh perlawanan lewat mekanisme kasasi dan peninjauan kembali, tapi tak berhasil mengubah putusan.

Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi Maluku, Alawiyah Alaydrus, mengatakan ganti rugi lahan yang diberikan kepada Johannes Tisera sudah dikonsultasikan dengan Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Pemerintah bersedia mengganti lahan itu secara bertahap. Dari Rp 49,9 miliar nilai ganti rugi, sebanyak Rp 13 miliar di antaranya sudah dibayarkan. “Kami juga menganggarkan lagi tahun ini, tapi ditarik pemerintah pusat untuk penanggulangan Covid-19,” tuturnya.

Ronny Samloy, kuasa hukum Evant Alfons, ahli waris Jakobus Alfons, berkeberatan terhadap sikap pemerintah. Sebab, kliennya masih menempuh upaya hukum lanjutan. Menurut dia, putusan Mahkamah Agung yang memenangkan keluarga Johannes Tisera tak mempertimbangkan pembatalan hibah lahan tersebut oleh Pengadilan Negeri Ambon pada 2015. Ronny meminta pemerintah menunda pembayaran kepada Johannes. Dia menilai putusan pengadilan tak mengharuskan pembayaran ganti rugi.

Sekretaris Negeri Urimesing, Edwin Samalelaway, membenarkan adanya hibah lahan untuk keluarga Tisera. Namun, menurut dia, sebagian lahan juga dihibahkan masyarakat adat kepada Jakobus Alfons, yang bertindak sebagai ahli waris Yosias Alfons. “Semuanya tercatat dalam dokumen desa. Sayangnya, para penggugat itu tidak melibatkan kami sebagai pihak pemberi dati (lahan) tersebut,” katanya.

RIKY FERDIANTO, MUSTAFA SILALAHI (JAKARTA), BELSERAN CHRIST, JAYA BARENDS (AMBON)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus