Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di Gerbang Perang Dingin

Hubungan antara Amerika Serikat dan Cina memanas menjelang pemilihan Presiden Amerika. Negara-negara Asia khawatir terhadap dampak buruknya.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bus yang membawa perlengkapan Kedutaan Amerika Serikat bersiap meninggalkan Kedutaan Amerika Serikat di Chengdu, Sichuan, Cina, 26 Juli 2020. Reuters/Thomas Peter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hubungan antara Amerika Serikat dan Cina memanas.

  • Meruncing setelah Washington memaksa konsulat Cina di Houston tutup.

  • Negara-negara Asia khawatir terhadap dampak buruknya di kawasan.

HUBUNGAN antara Amerika Serikat dan Cina makin panas. Ketegangan ini mulai memicu kekhawatiran para kepala negara. Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong secara terang-terangan menyatakan hubungan Washington dengan Beijing telah jatuh ke tingkat yang “sangat berbahaya” dan tanpa tanda-tanda akan mereda hingga pemilihan Presiden Amerika pada November nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pidatonya di forum online The Atlantic Council pada Selasa, 28 Juli lalu, Lee menyatakan Singapura dan negara lain di Asia khawatir terhadap dampak dari sikap Amerika yang memperlakukan Cina sebagai musuh. Dia menilai ketegangan itu berpotensi memicu bentrokan militer kedua negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi negara seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, yang menjadi pusat kegiatan keuangan global dan pangkalan militer Amerika Serikat di Asia, perubahan kebijakan Amerika akan berdampak besar. “Kami ingin bergantung kepadamu (Amerika),” kata Lee. Tapi, menurut Lee, pada saat yang sama negaranya juga perlu menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan Cina.

Investor jutawan Ray Dalio juga memperingatkan bahwa ketegangan hubungan kedua negara akan mengarah ke “perang modal” dengan kerugian besar bagi dolar. “Kita sedang berkonflik dengan Cina. Anda dapat menyebutnya perang,” ujar pendiri perusahaan manajemen investasi Bridgewater Associates itu kepada Fox News. “Ada perang dagang, ada perang teknologi, ada perang geopolitik, dan mungkin akan ada perang modal.” Jika kedua negara tak bekerja sama, dia menambahkan, ekonomi Amerika akan jatuh.

Ekonomi Amerika memang memburuk belakangan ini. Senin, 27 Juli lalu, indeks dolar Amerika—nilai relatif terhadap mata uang negara lain—jatuh 0,5 persen ke level terendahnya sejak 2018. Data yang dirilis Departemen Perdagangan Amerika pada Kamis, 30 Juli lalu, juga menunjukkan produk domestik bruto negeri itu anjlok 32,9 persen pada kuartal kedua tahun ini, penurunan terburuk yang hampir menyamai kondisi pada pertengahan 1921. Pelemahan ini diduga juga disebabkan oleh dampak pandemi Covid-19.

Ketegangan Cina-Amerika meruncing setelah Washington memaksa konsulat Cina di Houston menghentikan operasinya pada Kamis, 23 Juli lalu. “Kami mengumumkan penutupan konsulat Cina di Houston karena kantor itu menjadi pusat mata-mata dan pencurian hak kekayaan intelektual,” ucap Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo.

Pengadilan federal Amerika baru saja mendakwa dua warga negara Cina karena mereka meretas komputer ratusan perusahaan Amerika yang berhubungan dengan militer dan riset kesehatan. Peretasan itu diduga melibatkan Kementerian Keamanan Negara (MSS), badan intelijen Cina. Tapi dakwaan itu tak menyebutkan hubungannya dengan konsulat di Houston.

Sejumlah orang yang terlibat dalam investigasi yang berkaitan dengan Cina di Houston menyatakan penutupan konsulat ini lebih bersifat politik ketimbang masalah mata-mata. “Saya kira ini lebih banyak asap daripada apinya,” tutur Gordon Quan, jaksa imigrasi yang menjembatani dialog antara komunitas lokal Asia-Amerika dan pejabat Biro Penyelidik Federal (FBI) di Houston yang mengawasi spionase ekonomi domestik. Pemerintah sudah biasa melempar tuduhan semacam ini, tapi sering kali tak punya bukti. “Banyak yang ragu apakah konsulat ini benar-benar tempat persemaian kegiatan mata-mata,” ucapnya kepada The Intercept.

New York Times memperoleh dokumen yang konon menguraikan beberapa temuan FBI mengenai konsulat itu. Salah satu yang disoroti, tertulis dalam koran tersebut, adalah “rencana rekrutmen talenta untuk membujuk lebih dari 50 peneliti, profesor, dan akademikus di daerah itu agar menyerahkan penelitian atau informasi kepada lembaga-lembaga Cina”.

Hal itu mungkin merujuk pada Rencana Seribu Talenta, skema rekrutmen Cina untuk menarik para peneliti terkemuka, khususnya dari etnis Cina, untuk bekerja di Negeri Tirai Bambu. Namun pemerintah Amerika sering mengaitkan program ini dengan beberapa kasus transfer teknologi atau pencurian kekayaan intelektual yang sebagian besar merupakan pelanggaran perjanjian hibah atau kerja sama penelitian yang tidak dilaporkan. Semua itu sebenarnya bukan ancaman bagi keamanan nasional hingga Amerika perlu menutup konsulat itu.

Dalam pernyataan di situs webnya, Kementerian Luar Negeri Cina membantah semua tuduhan itu dan menganggapnya cuma sebagai usaha Washington untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari masalah pandemi dan strategi politik Presiden Amerika Donald Trump. “Menutup Konsulat Jenderal Cina sebelum pemilihan umum adalah langkah Trump untuk 'bermain keras terhadap Cina' demi menahan laju penurunan dukungan baginya dengan mengubah Cina menjadi sasaran empuk untuk memfitnah dan mendongkrak dukungan,” kata Kementerian.

Kementerian kemudian membalas langkah Washington dengan mencabut izin konsulat Amerika di Chengdu sehingga kantor itu harus menghentikan semua bisnis dan kegiatannya. Juru bicara Kementerian, Wang Wenbin, menyatakan staf konsulat di sana telah mencampuri urusan internal Cina dan mengganggu kepentingan keamanan nasional.

Perselisihan Amerika-Cina bermula ketika Trump masuk ke Gedung Putih pada 2016. Perang kata di antara kedua pemerintahan kemudian berkembang menjadi perang dagang. Amerika dan Cina sama-sama menaikkan tarif dan menerbitkan kebijakan ekonomi lain yang menghambat perdagangan kedua negara. Washington menaikkan tarif 1.300 jenis barang impor Cina dan Beijing membalas dengan meningkatkan tarif impor 128 produk dari Amerika. Jenis barang yang terkena kenaikan tarif impor kemudian terus bertambah. Akibatnya, perekonomian kedua negara justru memburuk dan para ekonom memperingatkan akan ancaman krisis ekonomi dunia.

Keadaan agak mereda ketika tahun lalu Trump mengumumkan bahwa dia dan Presiden Cina Xi Jinping bersepakat untuk melakukan “gencatan senjata”. Fase pertama dimulai awal tahun ini dengan kedua pihak mulai menghapus beberapa tarif impor. Pada Juni lalu Cina akhirnya kembali menjadi salah satu mitra dagang utama Amerika, tapi kedua negara belum mencapai target perjanjian dagang baru itu.

Di ranah politik, sengketa malah memanas. Pada Juni lalu, Trump meneken Undang-Undang Kebijakan Hak Asasi Manusia Uighur yang dapat menjatuhkan sanksi kepada siapa saja yang melanggar hak asasi di wilayah otonomi Uighur di Xinjiang. Ketika Beijing menerapkan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong, yang dianggap melanggar konstitusi kota itu, Trump meresponsnya dengan menandatangani Undang-Undang Otonomi Hong Kong, yang mencabut keistimewaan status ekonomi Hong Kong dan menjatuhkan sanksi kepada siapa saja yang telah melanggar konstitusi kota tersebut. Hal ini diikuti dengan sanksi Amerika kepada empat pejabat Cina, termasuk Chen Quanguo, pemimpin Partai Komunis Cina di Xinjiang. Beijing membalasnya dengan menjatuhkan sanksi kepada anggota Kongres Amerika, termasuk Ted Cruz dan Sam Brownback.

Sejumlah pengamat politik internasional menilai kedua negara telah memasuki masa “perang dingin baru”. “Ada alasan makin banyak analis yang menggunakan istilah 'perang dingin' untuk menggambarkan hubungan kedua negara—fakta bahwa kritik yang didorong secara ideologis itu jelas memiliki peran lebih besar daripada sebelumnya,” tutur Sahashi Ryo, guru besar madya bidang politik internasional di University of Tokyo, Jepang, dalam perbincangan dengan Nippon.com, Jumat, 30 Juli lalu. Yang mengkhawatirkan Ryo, kini Washington melancarkan serangan ideologis frontal kepada Partai Komunis Cina sehingga "tak ada lagi ruang kompromi sejauh yang menjadi kepedulian Beijing".

IWAN KURNIAWAN (THE INTERCEPT, REUTERS, NIPPON.COM, CNN, CNBC, NEW YORK TIMES)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus