Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasar satwa liar terbesar di Sulawesi, Pasar Beriman Wilken, yang sempat ditutup karena pandemi corona, kembali menjual daging satwa liar secara terbuka.
Daging satwa liar yang diperdagangkan ada yang masuk daftar jenis satwa yang dilindungi, seperti monyet yaki, kalong Talaud, dan anoa.
Pemerintah Kota Tomohon menyatakan sulit menghentikan praktik jual-beli daging satwa liar karena berhubungan dengan kebiasaan konsumsi masyarakat Minahasa.
IMELDA Lasut, 48 tahun, melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 06.45. Warga Kelurahan Kolongan, Tomohon Tengah, Kota Tomohon, Sulawesi Utara, itu mesti memacu sepeda motornya agar segera sampai di Pasar Beriman Wilken, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya. “Torang (Kami) jam 7 pagi biasa so (sudah) di pasar. Kalau datang agak siang, daging segar pasti so abis (sudah habis),” kata Imelda di depan rumahnya pada Sabtu, 18 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Imelda khawatir tidak kebagian daging segar di pasar yang terkenal sebagai pasar ekstrem karena menyediakan aneka daging hewan liar, seperti tikus, kelelawar, ular, dan babi hutan, itu. “Apalagi habis corona bagini (begini), banyak orang yang rindu mo (mau) makan daging tikus, ular deng (dengan) kelelawar,” ujar Imelda, yang berencana membeli daging satwa liar untuk dihidangkan dalam acara makan siang liburan akhir pekan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebulan sekali pada hari Sabtu, Imelda dan keluarga besarnya dari Kota Manado, Bitung, dan Minahasa selalu berkumpul di kediamannya. Kegiatan itu rutin dilakukan sejak 1997. Saban berkumpul, ia menghidangkan aneka olahan daging satwa liar. Biasanya, Imelda membutuhkan empat-lima kilogram daging satwa liar, yang dipercaya memiliki kandungan protein tinggi. “Sampai sekarang torang makan daging kelelawar, ular deng tikus. Masih sehat-sehat saja,” ucapnya, lalu tersenyum tipis.
Perdagangan daging satwa liar di Kota Tomohon sudah berlangsung puluhan tahun. Pasar Beriman Wilken—untuk menghormati penginjil asal Jerman, Nicolaas Philip Wilken—yang terletak bersebelahan dengan terminal angkutan kota merupakan pasar daging satwa liar terbesar di Sulawesi Utara dan Indonesia. Memiliki luas 1,5 hektare, Pasar Beriman selalu dikunjungi ratusan orang dari berbagai daerah. Sebanyak 83 pedagang menjajakan daging satwa liar di pasar ini.
Pasar Beriman Wilken ramai pengunjung pada Selasa, Kamis, dan Sabtu. Puncak perdagangannya pada Sabtu lantaran barang dagangan yang dijual lebih lengkap dan banyak pembeli yang berbelanja kebutuhan untuk akhir pekan. Begitu memasuki pasar, pengunjung akan mencium aroma bulu hangus dan bau amis yang menyengat. Tampak pedagang merontokkan bulu celeng, tikus, dan anjing dengan membakarnya menggunakan semburan gas.
Dari pantauan Tempo, ada tujuh jenis satwa liar yang diperdagangkan secara bebas untuk kepentingan konsumsi di Pasar Beriman. Tujuh satwa liar itu adalah babi vuva (Sus celebensis), tikus ekor putih atau soma pangaladen (Paruromys dominator), kelelawar buah (Pteropus sp.), ular patola (Python reticulatus), monyet yaki (Macaca nigra), dan biawak air. Ada juga anoa yang dijual melalui pemesanan serta kucing, anjing, dan babi hasil peternakan.
Sejumlah satwa liar tersebut bahkan termasuk spesies yang dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P106 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, yaitu anoa dataran rendah (Babulus depressicornis), kalong Talaud (Pteropus pumilus), dan monyet yaki. Dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature, status konservasi anoa adalah terancam punah dan babi vuva hampir terancam punah.
Sejumlah pedagang mengaku pasokan satwa liar ini didapat dari pemasok luar Kota Tomohon, seperti Minahasa, Bolaang Mongondow, Kotamobagu , Gorontalo, Poso, Makassar, dan Halmahera. “Kalau kelelawar dan ular kami dapat pasokannya dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Sesekali juga dari Halmahera, Maluku Utara,” kata Arnold Parengkuan, salah seorang pedagang Pasar Beriman, Selasa, 28 Juli lalu.
Arnold mengatakan satwa liar yang diperjualbelikan di pasar itu oleh masyarakat Minahasa dianggap sebagai hama pengganggu di lahan perkebunan. Menurut dia, satwa-satwa itu sudah lama dikonsumsi masyarakat Minahasa baik untuk santapan sehari-hari maupun hidangan dalam acara adat. “Masyarakat tahu cara memasaknya. Direbus dulu hingga tiga kali sebelum dibumbui dengan rempah-rempah,” ujar Arnold.
Sebelum pandemi corona, setiap pedagang mampu menjual daging satwa liar hingga 80-100 kilogram per hari. Namun, ketika pagebluk dan diberlakukan pembatasan sosial berskala besar, volume penjualan daging satwa liar turun hingga 30 persen. “Rata-rata 50-60 kilogram per hari. Tapi permintaan justru naik dua kali lipat dari kondisi normal,” kata Arnold. “Karena pasokan belum lancar, volume penjualan tak bisa banyak.”
Pasokan yang terbatas membuat harga daging satwa liar mengalami kenaikan signifikan. Harga daging babi vuva, misalnya, yang sebelum Covid-19 muncul dihargai Rp 40 ribu per kilogram, kini naik menjadi Rp 60 ribu. Harga tikus ekor putih dari Rp 25 ribu menjadi Rp 35 ribu per ekor. Harga kelelawar, yang sebelumnya dijual 20 ribu per kilogram, menjadi Rp 35 ribu per ekor. Sedangkan harga ular patola dari Rp 35 ribu per kilogram melonjak menjadi Rp 55 ribu.
Kelelawar yang dijual di Pasar Beriman, Tomohon, Sulawesi Utara. 28 Juli 2020./Tempo/Budhy Nurgianto
Sempat ditutup selama pandemi, kini banyak pedagang Pasar Beriman yang mulai menjual daging satwa liar secara terbuka. Pemerintah Kota Tomohon bahkan telah mengizinkan pedagang berjualan, tapi dengan menaati protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah. Noldy Montolalu, Kepala Perusahaan Daerah Pasar Beriman, mengatakan perdagangan satwa liar sulit dihentikan lantaran berhubungan dengan kebiasaan masyarakat.
Untuk mengurangi volume perdagangan, Pemerintah Kota Tomohon hanya bisa memperketat jalur masuk dan memeriksa setiap truk pengangkut satwa liar yang masuk Pasar Beriman. “Langkah lain adalah dengan memberikan edukasi kepada pedagang dan masyarakat soal konsumsi daging satwa liar. Tapi saya berharap ada dukungan dan partisipasi aktif masyarakat,” tutur Noldy.
Pegiat konservasi John Tasirin meminta pemerintah tegas terhadap perdagangan satwa liar. “Harus ada penegakan hukum terhadap perdagangan satwa yang dilindungi. Jika tidak, akan makin sulit diatasi,” ucap pengajar Program Studi Kehutanan Universitas Sam Ratulangi, Manado, ini. Ia menambahkan, pemerintah juga harus konsisten mengedukasi masyarakat. “Hilangkan anggapan daging satwa liar bisa menyembuhkan aneka penyakit dan persepsi mengonsumsi satwa liar sebuah kebanggaan.”
Perdagangan satwa liar itu, kata John, memiliki dampak negatif terhadap keseimbangan ekosistem lingkungan. Beberapa satwa liar yang dijual bebas di pasar merupakan satwa endemis Sulawesi. “Jika salah satu spesies diburu atau jumlahnya makin berkurang, sudah tentu akan mengganggu keseimbangan rantai makanan di alam. Dan itu sangat merugikan kita,” ujarnya.
John memberi contoh kelelawar pemakan buah yang memiliki peran penting dalam membantu penyerbukan berbagai jenis tumbuhan dan kelelawar pemakan serangga yang berperan mengontrol populasi serangga, karena mampu memakan hingga 50 persen dari bobot tubuhnya. “Tapi saat ini populasi kelelawar buah di Sulawesi Utara sudah makin berkurang. Meski belum sepenuhnya punah, kelelawar ini makin hari makin sulit ditemukan,” tuturnya.
Survei yang dilakukan Tiltje Andretha, peneliti kelelawar dari Universitas Sam Ratulangi, menemukan setiap pedagang di tiga pasar di Sulawesi Utara rata-rata menjual 100-200 ekor kelelawar per hari. “Sangat penting mengendalikan perdagangan kelelawar. Apalagi beberapa jenis sudah sulit ditemukan atau jumlahnya berkurang di Sulawesi Utara,” katanya. “Makanya tak mengherankan jika kelelawar yang dijual di pasar-pasar di Sulawesi Utara itu kebanyakan dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo,” ujar Tiltje.
BUDHY NURGIANTO (TOMOHON)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo