Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pagi itu, di akhir April lalu, Kaharudin Dompu sudah berada di kantor Kelurahan Meruya Selatan. Kantor itu masih sepi. Namun Lurah Samsul Huda dan beberapa pegawai kelurahan sudah berada di sana. Kaharudin, Ketua Dewan Kelurahan Meruya Selatan, tertarik pada seberkas surat yang tergeletak di meja Lurah. Ia sempat membacanya dan seketika itu juga terperanjat.
Surat itu adalah rencana penyitaan oleh pengadilan atas 44 hektare tanah di Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kembangan, Jakarta Barat. Permohonan sita itu diajukan PT Portanigra dan eksekusinya akan dilakukan pada 21 Mei oleh juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Barat. ”Kok, bisa begini? Kenapa Anda tidak memberi tahu kami?” tanya Kaharudin kepada Lurah Samsul Huda. ”Saya bingung mau memberi tahu warga,” jawab Samsul. Kaharudin makin kaget ketika sang Lurah mengaku sudah mengikuti rapat persiapan eksekusi di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 26 April.
Dari Kaharudin inilah berita tersebar. Keresahan pun tak bisa dibendung. Warga Meruya yang merasa tak punya masalah dengan Portanigra kini terancam kehilangan tanahnya. Daerah yang diminta disita oleh Portanigra sekarang dihuni oleh tak kurang dari 21 ribu warga, yang tersebar di beberapa perumahan. ”Saya ini beli tanah dari pemda dan besertifikat. Apa salah saya?” ujar Kaharudin, yang tinggal di kaveling DKI.
Kaharudin, dan ribuan warga Meruya Selatan yang lain, tak menduga terseret jadi korban sengketa tanah antara tiga mandor atau makelar tanah di kawasan Meruya dan Portanigra. Pada 1972, Haji Djuhri bin Haji Geni, Yahya bin Haji Geni, dan Muhammad Yatim Tugono membeli tanah-tanah girik dari warga Meruya Udik, yang kini menjadi Kelurahan Meruya Selatan. Seluruh tanah ini mencapai luas 78 hektare dan kemudian dijual dengan harga Rp 300 per meter persegi ke perusahaan properti milik Beny Rachmat itu.
Masalah muncul ketika Portanigra menuduh tiga mandor itu belakangan membuat girik palsu dan menjual lagi tanah tersebut ke beberapa pihak. Kasus pemalsuan girik ini ditemukan oleh Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Pusat pimpinan Laksamana Sudomo pada 1978.
Dalam proses pemeriksaan, tiga mandor tadi mengaku menjual lagi girik tersebut kepada beberapa perusahaan. Di antaranya ke pemerintah DKI Jakarta pada 1974 seluas 15 hektare, kepada PT Intercone (2 hektare) dan PT Copylas (2,5 hektare) pada 1975, serta kepada BRI seluas 3,5 hektare pada 1977. Pada 1986, Djuhri divonis hukuman setahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Di tingkat banding, Yahya terkena vonis setahun penjara. Adapun Tugono, kasasinya ditolak Mahkamah Agung sehingga ia harus masuk penjara pada 1989.
Berbekal putusan pidana itu, Portanigra kemudian menggugat perdata ketiga mandor tersebut pada 1996. Ketika itu, Pengadilan Negeri Jakarta Barat sudah meletakkan sita jaminan terhadap tanah seluas 44 hektare yang diklaim milik Porta. Gugatan ini sempat ditolak di tingkat pertama dan banding. Namun, pada 2001, nasib berbalik memihak Porta ketika perkara sampai di Mahkamah Agung. Mahkamah memenangkan Porta. ”Putusan perkara pidana dan bukti jual-beli memang jadi pegangan putusan kasasi,” kata Nurhadi, Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung.
Nah, perkara perdata inilah yang menurut warga dipelintir sehingga menjadi masalah mereka. Menurut warga, 164 girik yang diakui Portanigra sebagai miliknya itu tidak sah. ”Girik-girik itu tak tercatat di buku tanah kelurahan,” kata Fransisca Romana, kuasa hukum warga. Ini diperkuat dengan pengakuan beberapa warga asli bahwa mereka tak pernah menjual tanah kepada siapa pun. ”Kenapa sekarang ikut disita?” kata Fransisca. Sebagian surat tanah yang dipegang Portanigra ternyata bukan girik. ”Yang mereka pegang adalah kuitansi iuran pembangunan daerah,” ujarnya. Pada masa lalu, ipeda atau disebut juga iuran retribusi daerah (ireda) itu sama seperti pajak bumi dan bangunan.
Meskipun bukan pihak yang bersengketa, warga kini berusaha melawan putusan Mahkamah Agung dengan mengajukan gugatan perlawanan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. ”Sebagai pihak ketiga, kami akan masuk menggugat penetapan yang salah itu,” kata Fransisca. Warga juga berusaha menghalangi eksekusi dengan mengadukan Portanigra ke polisi karena adanya sejumlah kejanggalan di berkas perkara. ”Sejumlah keterangan fiktif, jadi Portanigra memberikan keterangan palsu di bawah sumpah,” kata Kaharudin. Kejanggalan itu di antaranya menyangkut domisili perusahaan tersebut di Duta Merlin yang ternyata kosong dan nomor wajib pajak ganda atas nama Portanigra.
Dari tiga terpidana, kini cuma Haji Djuhri yang sudah berusia 80 tahun dan pikun itu yang ikut melawan. Sebab, Yahya sudah meninggal dan Tugono pindah entah ke mana. Menurut Djunaedi, kuasa hukum Djuhri, kerugian yang dialami Portanigra sudah dipulihkan dengan eksekusi pidana kliennya. ”Haji Djuhri sudah dihukum dan membayar kerugian. Jadi apa alasan menuntut ganti rugi?” ujar Djunaedi.
Sebagai pihak tergugat, Djuhri akan mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan menyertakan tiga bukti baru atau novum. Tiga novum itu adalah daftar 51 poin kesalahan salinan keputusan Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Barat, surat penghentian penyidikan perkara (SP3) dari Kepolisian Daerah Metro Jaya tanggal 31 Desember 1991, serta surat pernyataan utang-piutang antara Djuhri dan Portanigra. ”Jadi ada kesilapan hukum oleh hakim kasasi saat mengambil keputusan,” kata Djunaedi.
Dalam SP3 Polda Metro Jaya dinyatakan bahwa kasus pidana yang dipersangkakan Portanigra atas Djuhri tidak cukup bukti dan penyidikan dihentikan demi hukum. Sedangkan dalam surat utang-piutang diterangkan bahwa utang Djuhri sebesar Rp 37.372.500 kepada Portanigra akan dibayarnya dengan tanah di Kampung Pondok Kacang, Kelurahan Pondok Aren, Ciledug, Tangerang, dan di Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Surat tersebut ditandatangani oleh Djuhri, Ir Purwanto Rachmat dari Portanigra, serta tiga orang saksi, yang dua di antaranya bernama Beni dan Mat Alih.
Namun Yan Djuanda Saputra, kuasa hukum Portanigra, menepis upaya peninjauan kembali tersebut. ”Keputusan pidana dan perdata sudah in kracht (berkekuatan tetap). Kenapa mereka baru ribut sekarang?” katanya. Portanigra sendiri kini menunggu upaya Dewan Perwakilan Rakyat mencari solusi untuk tak merugikan pihak ketiga atau warga dalam sengketa tanah tersebut. ”Kami akan taat apa pun keputusan DPR nanti,” kata Yan Djuanda.
Masalahnya, ujar Djuanda, sejak 1978, ketika kasus ini disidik Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, lahan di Meruya sudah diberi status tanah perkara. Status itu makin kuat saat Djuhri dan kawan-kawan dipidana serta Portanigra meminta penetapan sita jaminan pada 1997. Tapi ada pihak yang tak menggubris status ini. Akibatnya, terbit ribuan sertifikat di atas tanah perkara. ”Siapa yang mengangkat status ini? Kenapa mereka tidak bertanya?” tanya Yan. Memang, Badan Pertanahan Jakarta disebut-sebut ikut punya andil membuat masalah ini jadi kisruh.
Arif A. Kuswardono, Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo