URUSAN hukumnya memang belum jernih. Tapi bagi Sengkon dan
Karta, hal itu tak penting benar. Keluar dari bui saja, sore 4
November lalu, sudah merupakan sesuatu yang patut disyukuri
mereka Adakah yang lebih penting dari kebebasan, setelah
meringkuk selarna 6 tahun dalam tahanan dan penjara -- tanpa
dapat membantah sesuatu tuduhan yang tak pernah mereka perbuat?
Sengkon, 50 tahun, setelah keluar dari penjara Cipinang,
tergeletak di rumah sakit di Bekasi. Batuk TBC-nya menyiksa
tubuhnya yang kurus kering. Ia, katanya, tak tahu siapa yang
mengusahakan pembebasan baginya. "Saya lagi dipijat teman-teman
di penjara, ketika petugas datang memberitahu saya boleh bebas
hari itu juga," katanya. Ia keluar dari penjara diusung dengan
tandu.
Padahal, waktu itu, katanya "saya tidak berharap lagi akan
melihat dunia ini" Gunel sebelumnya telah mengaku kepadanya
telah merampok dan membunuh suami istri Sulaiman. "Kepada siapa
saya harus mengadu --dari dulu sudah saya katakan, saya tidak
bersalah, tapi tak ada yang mau percaya?"
Setelah salat Jumat, minggu lalu, Karta, 45 tahun, pulang ke
rumah tumpangannya di Cakung, Jakarta. Ia memandang sebidang
tanah, sekitar 5.000 meter, yang terletak di sebelahnya. Tanah
itu dulu miliknya, yang digadaikan kemudian dijual oleh
istrinya, "untuk makan keluarga dan mengurus perkara saya," kata
Karta. Dan "sekarang saya bingung, tidak punya apa-apa lagi."
Yang berat lagi, katanya, "anak-anak saya jadi putus sekolah."
Yang akan dilakukannya adalah berusaha memperoleh tempat
berteduh. "Tak mungkin harus menumpang terus," katanya. Ia tak
merasa dendam kepada orang-orang--juga yang memberikan kesaksian
palsu --yang menjebloskannya ke bui. "Saya hanya berterimakasih
kepada Pak Albert yang mengurusi saya. "
Albert Hasibuan yang mengurus dan kemudian melepas mereka
dari penjara (LPK) Cipinang (Jakarta). Pengacara dan Anggota
Komisi III/DPR ini yang membeberkan kasus Sengkon dan Karta.
Kedua orang desa di wilayah Bekasi itu sebelumnya dituduh
menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (1974). Betapa pun
mereka membantah, polisi tetap memaksa dengan kekerasan,
sehingga akhirnya perigadilan mempidana 12 tahun penjara
tellhadap Sengkon dan 7 tahun bagi Karta.
Adalah Gunel, 35 tahun, narapidana LPK Cipinang, yang
tiba-tiba mengaku sendiri melakukan kejahatan terhadap keluarga
Sulaiman. Pengakuan itu digarap sebaik-baiknya oleh seorang
keluarga Karta yang kebctulan ahli hukum. Pengadilan di Bekasi
menghukum Gunel 12 tahun penjara atas pengakuan terdakwa sendiri
menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (TEMPO, 1
November).
Bebaskah Karta dan Sengkon karenanya? Tak begitu mudah.
Albert Hasibuan ke sana ke mari mencari upaya hukum. Tapi
terbentur padaurusan resmi: tak ada upaya hukum lain yang dapat
ditempuh untuk memperoleh peninjauan kembali sesuatu keputusan
pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan pasti seperti dalam
kasus Sengkon dan Karta tersebut.
Tapi jalan pintas akhirnya ditemukan. Mahkamah Agung,
setelah berkonsultasi dengan departemen Kehakiman dan Kejaksaan
Agung, 4 November lalu menyetujui "penghentian sementara"
hukuman bagi Karta dan Sengkon . Hal itu ditempuh, menurut MA,
"sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh"
kemudian.
Upaya hukum apa? Ketua MA Prof. Oemar Seno Adji belum memilih.
Hanya, kemungkinan yang tepat, "permohonan grasi dari pihak
Scngkon dan Karta," katanya.. (Karta enggan minta grasi "Saya
tidak bersalah . . . mengapa minta ampun?")
Permohonan grasi atau pengampunan dari Prcsiden, menurut
Ketua MA, tidah berarti pengakuan bersalah dari si pemohon.
Sebab, katanya, di samping mengurangi masa hukuman, dalam
grasinya Presiden bisa juga menghapuskan atau membatalkan
hukuman sama sekali.
"Kalau memang interpretasi grasi demikian," sambut A.
Rachman Saleh dari LBH Jakarta, "boleh saja Sengkon dan Karta
minta grasi". Tapi, menurut Hakim J.Z. Loudoe dari Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, permohonan "sebaiknya diajukan oleh
pengadilan yang telah melakukan kekeliruan dalam memutus
perkara." Namun yang terbaik, kata Loudoe, bila pengadilan
melakukan peninjauan kembali perkara Sengkon dan Karta. Yaitu
melalui lembaga herzeining. Lalu, katanya pula, memberi
kesempatan kepada kedua orang itu untuk menuntut ganti rugi
untuk penderitaannya selama dalam tahanan dan penjara.
Bahwa lembaga herzeining dan ganti rugi belum diatur--belum
ada peraturan pelaksanaan kendati undang-undangnya sendiri telah
lama ada--menurut Loudoe tak boleh jadi hambatan. Begitu juga
pendapat al1li lain. Albert Hasibuan mungkin bisa mencobanya
untuk menmbantu Karta dan Sengkon sekali lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini