Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Sengkon & Karta, Selanjutnya Apa ?

Sengkon dan Karta sudah dikeluarkan dari penjara, masa hukumannya diberhentikan untuk sementara. masalah upaya hukum yang akan ditempuh untuk membebaskan kedua terdakwa tersebut yang ternyata tidak bersalah.(hk)

15 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

URUSAN hukumnya memang belum jernih. Tapi bagi Sengkon dan Karta, hal itu tak penting benar. Keluar dari bui saja, sore 4 November lalu, sudah merupakan sesuatu yang patut disyukuri mereka Adakah yang lebih penting dari kebebasan, setelah meringkuk selarna 6 tahun dalam tahanan dan penjara -- tanpa dapat membantah sesuatu tuduhan yang tak pernah mereka perbuat? Sengkon, 50 tahun, setelah keluar dari penjara Cipinang, tergeletak di rumah sakit di Bekasi. Batuk TBC-nya menyiksa tubuhnya yang kurus kering. Ia, katanya, tak tahu siapa yang mengusahakan pembebasan baginya. "Saya lagi dipijat teman-teman di penjara, ketika petugas datang memberitahu saya boleh bebas hari itu juga," katanya. Ia keluar dari penjara diusung dengan tandu. Padahal, waktu itu, katanya "saya tidak berharap lagi akan melihat dunia ini" Gunel sebelumnya telah mengaku kepadanya telah merampok dan membunuh suami istri Sulaiman. "Kepada siapa saya harus mengadu --dari dulu sudah saya katakan, saya tidak bersalah, tapi tak ada yang mau percaya?" Setelah salat Jumat, minggu lalu, Karta, 45 tahun, pulang ke rumah tumpangannya di Cakung, Jakarta. Ia memandang sebidang tanah, sekitar 5.000 meter, yang terletak di sebelahnya. Tanah itu dulu miliknya, yang digadaikan kemudian dijual oleh istrinya, "untuk makan keluarga dan mengurus perkara saya," kata Karta. Dan "sekarang saya bingung, tidak punya apa-apa lagi." Yang berat lagi, katanya, "anak-anak saya jadi putus sekolah." Yang akan dilakukannya adalah berusaha memperoleh tempat berteduh. "Tak mungkin harus menumpang terus," katanya. Ia tak merasa dendam kepada orang-orang--juga yang memberikan kesaksian palsu --yang menjebloskannya ke bui. "Saya hanya berterimakasih kepada Pak Albert yang mengurusi saya. " Albert Hasibuan yang mengurus dan kemudian melepas mereka dari penjara (LPK) Cipinang (Jakarta). Pengacara dan Anggota Komisi III/DPR ini yang membeberkan kasus Sengkon dan Karta. Kedua orang desa di wilayah Bekasi itu sebelumnya dituduh menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (1974). Betapa pun mereka membantah, polisi tetap memaksa dengan kekerasan, sehingga akhirnya perigadilan mempidana 12 tahun penjara tellhadap Sengkon dan 7 tahun bagi Karta. Adalah Gunel, 35 tahun, narapidana LPK Cipinang, yang tiba-tiba mengaku sendiri melakukan kejahatan terhadap keluarga Sulaiman. Pengakuan itu digarap sebaik-baiknya oleh seorang keluarga Karta yang kebctulan ahli hukum. Pengadilan di Bekasi menghukum Gunel 12 tahun penjara atas pengakuan terdakwa sendiri menggarong dan membunuh suami istri Sulaiman (TEMPO, 1 November). Bebaskah Karta dan Sengkon karenanya? Tak begitu mudah. Albert Hasibuan ke sana ke mari mencari upaya hukum. Tapi terbentur padaurusan resmi: tak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh untuk memperoleh peninjauan kembali sesuatu keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan pasti seperti dalam kasus Sengkon dan Karta tersebut. Tapi jalan pintas akhirnya ditemukan. Mahkamah Agung, setelah berkonsultasi dengan departemen Kehakiman dan Kejaksaan Agung, 4 November lalu menyetujui "penghentian sementara" hukuman bagi Karta dan Sengkon . Hal itu ditempuh, menurut MA, "sambil menunggu upaya hukum formal yang akan ditempuh" kemudian. Upaya hukum apa? Ketua MA Prof. Oemar Seno Adji belum memilih. Hanya, kemungkinan yang tepat, "permohonan grasi dari pihak Scngkon dan Karta," katanya.. (Karta enggan minta grasi "Saya tidak bersalah . . . mengapa minta ampun?") Permohonan grasi atau pengampunan dari Prcsiden, menurut Ketua MA, tidah berarti pengakuan bersalah dari si pemohon. Sebab, katanya, di samping mengurangi masa hukuman, dalam grasinya Presiden bisa juga menghapuskan atau membatalkan hukuman sama sekali. "Kalau memang interpretasi grasi demikian," sambut A. Rachman Saleh dari LBH Jakarta, "boleh saja Sengkon dan Karta minta grasi". Tapi, menurut Hakim J.Z. Loudoe dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan "sebaiknya diajukan oleh pengadilan yang telah melakukan kekeliruan dalam memutus perkara." Namun yang terbaik, kata Loudoe, bila pengadilan melakukan peninjauan kembali perkara Sengkon dan Karta. Yaitu melalui lembaga herzeining. Lalu, katanya pula, memberi kesempatan kepada kedua orang itu untuk menuntut ganti rugi untuk penderitaannya selama dalam tahanan dan penjara. Bahwa lembaga herzeining dan ganti rugi belum diatur--belum ada peraturan pelaksanaan kendati undang-undangnya sendiri telah lama ada--menurut Loudoe tak boleh jadi hambatan. Begitu juga pendapat al1li lain. Albert Hasibuan mungkin bisa mencobanya untuk menmbantu Karta dan Sengkon sekali lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus