UNTUK membangkitkan semangat kebangsaan, dipesan sebuah simfoni.
Sekalian sebagai peringatan Hari Pahlawan 10 November, Senin
lalu ciptaan itu diperdanakan oleh Orkes Studio Jakarta (OSJ) di
Studio V RRI Jakarta.
"Sudah saatnya melibatkan seniman musik untuk menciptakan
musik perjuangan," kata Menteri Daoed Joesoef, sang pemesan.
Tidak berarti selama ini tak ada musik jenis itu, tentunya:
berbagai lagu mars ataupun 'langgam' bisa dijadikan contoh.
Hanya dalam pemesanan rupanya terkandung maksud lain: mencoba
"merangsang penciptaan jenis musik yang terdesak".
April lalu gagasan itu -- konon diilhami pergelaran OSJ
ketika memperingati 40 hari meninggalnya Bung Hatta, April lalu
-- disambut J.A. Dungga, pengamat musik dan anggota kelompok
kerja Menteri P&K. Atas saran Dungga, tugas dijatuhkan kepada
komponis dan pianis Trisutji Djuliati Kamal--itu Ketua Ikatan
Komponis Indonesia yang telah menciptakan antara lain 13 kom
posisi orkestra.
Rasa Syukur
Kemenangan adalah simfoni puisi (poem symphony)--bentuk yang
dipilih Trisutji karena memberi keleluasaan dan biasa digunakan
untuk musik bertema. Gubahan yang diselesaikan empat bulan
setelah Trisutji bertemu sang pemesan itu, rampung akhir
Agustus, semula judulnya Kemerdekaan--memang ada rencana
diperdanakan pada Hari Proklamasi Kemerdekaan lalu. Tapi
"kemerdekaan punya arti terbatas," menurut Trisutji. "Jadi saya
ganti dengan kemenangan yang lebih luas cakupannya."
Tapi rencana pertunjukan perdananya tak jadi, karena waktu
itu meski ciptaan sudah rampung Trisutji masih belum puas benar.
Juga rencana diperdanakan dalam pergelaran OSJ 25 September lalu
pun dibatalkan.
OSJ, waktu itu giliran dipimpin Praharyawan Prabowo, tak
sanggup mempergelarkannya hanya dengan latihan sekitar dua
minggu. "Teknis sulit. Terutama pada bagian biolanya," kata sang
konduktor kepada TEMPO. Ini diakui pula oleh Yap Tji Kian, solis
biola OSJ. Trisutji, meski agak ragu, pun mengakui. "Barangkali
karena nadanya lincah, untuk menggambarkan semangat perjuangan,
teknis memang agak susah,"katanya.
Akhirnya OSJ toh berhasil membawakan Kemenangan -- di bawah
pemimpin lain yang sedang dapat giliran, Adidharma.
Mereka pun membuka gubahan itu dengan pukulan gong --
disambut ketuk-ketuk temple block seperti sebuah pembukaan
upacara yang keramat. Dikuatkan dengan gesekan selo yang
menyusul Itulah intro yang menurut penciptanya dimaksud sebagai
ungkapan "rasa syukur". Selanjutnya satu permainan penuh
semangat dari berbagai warna bunyi: biola, seruling, selo,
marimba, disela-selai bunyi gong memberi aksentuasi. Sebuah
gambaran "gairah hidup dan gairah kerja".
Dominasi perkusi--yang sejak awal telah terasa--semakin
jelas. Gaung perkusi terutama yang muncul dari marimba,
membangun suasana agung. "Suasana kemenangan," komentar Trisutji
sendiri.
Maka 17 menit Kemenangan terasa sesaat. Dan ciptaan pianis
ini memang mengandalkan perkusi dalam pembentukan suasana
pokoknya. Sama sekali tak digunakan piano.
Trisutji memang pernah mempelajari perkusi dan musik rakyat.
Bahkan lebih dari ketrampilannya pada piano, ia sebenarnya
sangat menyukai perkusi. Gunung Agung Meletus, musik untuk balet
yang dipergelarkan Farida Feisol tahun lalu, juga didominasi
perkusi. Mungkin karena ia mencoba melahirkan musik yang berbau
Indonesia. "Saya mencoba merangkum kebhineka-tunggal ikaan musik
daerah kita. Sunda, Jawa, Bali, Batak, Maluku . . . " Memang ada
perpaduan nada diatonis dan pentatonis yang baik.
Bagi Adidharma sendiri Kemenangan cukup bermutu. Bahkan
Prabowo menilai karya Trisutji yang pesanan ini lebih baik dari
Api, orkestranya yang diciptakan 12 tahun lalu. Trisutji
sendiri, yang 28 November ini tepat 44 tahun, pun puas
"Keinginan saya bisa tercakup semua," katanya. Pemesannya
sendiri, Menteri P&K, nampaknya juga cukup senang -- ehm. "Tak
ada karya seni atau karya ilmiah yang mutlak memuaskan,"
komentarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini