Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Soemarno Dengan 60 Pembela

Pengadilan terhadap mr. Soemarno P. Wirjanto, selaku ketua ahli waris sontohartono dituduh melakukan kejahatan penggelapan tanah, 60 orang koleganya tampil sebagai pembela.(hk)

15 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGADILAN terhadap Mr. Soemarno P. Wirjanto, advokat, tampaknya semakin menarik. Sebab Ketua LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Surakarta tersebut biasanya memang dikenal "malang-melintang" di berbagai pengadilan sebagai pembela yang gigih. Tapi, didampingi lebih 60 orang pembela untuk menghadapi tuntutan di Pengadilan Negeri Surakarta belakangan ini, ia kelihatan seperti hendak berbuat hal-hal yang tak biasa. Sebelumnya Soemarno telah mengajukan lima orang pembela. Lalu pada sidang pertama, 4 Oktober lalu, ia mengajukan puluhan pembela lain, sehingga jumlahnya genap 40 orang! Sidang berikutnya, 1 November lalu, Soemarno makin menjadi jadi: ia mengajukan duapuluhan pembela lain yang disebutnya tim pembela Peradin (organisasi advokat) dari Bandung dan Semarang. Sehingga sampai hari itu Soemarno, telah mengajukan 60 orang pembela. Baik dari Peradin maupun bukan yang semuanya -- tentu saja -- dilengkapi surat-kuasa secukupnya. Tidak itu saja. Soemarno, seperti katanya kepada majelis pimpinan Zaid Sungkar, masih menerima janji dari beberapa pembela lain, termasuk Adnan Buyung Nasution, yang akan datang membelanya. "Karena solidaritas sesama advokat . . . dan saya tentu dengan senang hati menerima dan memberi kuasa," kata Soemarno. Bila semua pembela angkat suara-mulai dari menyanggah tuduhan jaksa atau membacakan eksepsi, bertanya kepada terdakwa dan saksi, sampai mengajukan pembelaan atau pleidoi Sidang pengadilan tentu tidak berjalan sederhana lagi. Tanah Padahal perkaranya sendiri sederhana saja. Jaksa Soebyakto menuduh Soemarno, 59 tahun, melakukan kejahatan penggelapan. Yaitu, September 1968, telah menjual tanah dan rumah di Jalan K.H.A. Dahlan 2 3 - 31, Surakarta, kepada Pengurus Muhammadiyah dengan harga Rp 1 juta. Padahal sebelumnya, September 1967, Soemarno telah menjualnya lebih dulu kepada Bandi Soetono seharga Rp 800 ribu melalui Muchtarom sebagai perantara. Tanah dan bangunan tersebut dikenal umum dengan nama Sontohartanan - karena pemiliknya dulu Almarhumah Nyonya Sontohartono. Tertuduh membantah. Menurut sejarahnya, katanya, tanah dan rumah Sontohartanan telah dihibahkan kepada Muhammadiyah sebelum Nyonya Sontohartono wafat (1963). Suatu hari, 1967, ia, selaku Ketua Ahli Waris Sontohartono, mendapat tawaran menarik: Muchtarom .. akan "membeli" tanah dan bangunan di Jalan Dahlan tersebut untuk kemudian "disumbangkan kembali" kepada Muhammadiyah. Mewakili sekitar 60 ahli waris, Soemarno menyetujui tawaran itu dengan niat uang "penjualannya" untuk biaya pemugaran. Oleh Soemarno uang dari Muchtarom tersebut, Rp 800 ribu, diserahkan kepada Muhammadiyah. Tapi selanjutnya "jual-beli" tersebut rupanya berekor tak begitu sedap. Karena tiba-tiba Muchtarom menuntut agar sertifikat baliknama atas nama Bandi Soetono. Lalu tentang "disumbangkan kembali" kepada Muhammadiyah itu? Soemarno meragukan. Karena, katanya, Bandi menyerahkan uang Rp 3 juta kepada Muchtarom, justru dengan maksud membeli Sontohartanan untuk dipergunakan sendiri atau dijual kepada orang lain. Untuk mengamankan Sontohartanan, Soemarno membuat akta perjanjian jualbeli dengan Muhammadiyah, September 1968. Juga diusahakannya agar ahli waris Sontohartono dan Muhammadiyah mengembalikan saja uang yang pernah mereka terima dari Muchtarom. Tapi sengketa tidak dapat dielakkan. Bandi menggugat ahli waris Sontohartono ke pengadilan (1969 dan 1970). Perkara, hingga kini, belum putus. Lalu muncul perkara pidana: Soemarno, sebagai advokat yang mewakili ahli waris Sontohartono, diadukan sebagai tertuduh yang melakukan penggelapan --berbuat curang, melawan hukum, menjual tanah dan bangunan yang telah jadi hak milik orang lain untuk keuntungan sendiri. Tuduhan begitu, menurut Soemarno, tak layak: telah menembus kekebalannya sebagai advokat. Musuh Bebuyutan Apalagi, begitu eksepsinya, perkara pidananya itu muncul secara tidak wajar Bandi tidak mengadukannya kepada polisi atau jaksa, seperti lazimnya, tapi kepada Ketua Pengadilan Negeri Surakarta Soetadi Ramli. Pejabat itulah yang kemudian melanjutkan pengaduan ke Kejaksaan Negeri Surakarta. Cara begitu, menurut Soemarno, merupakan "penemuan baru di Indonesia". Mengapa bisa begitu, menurut Soemarno, tak lain karena antara dia dengan Soetadi memang sejak lama"musuh bebuyutan " Soemarno memang sering "menyerang" Soetadi -- baik di pengadilan (semenjak Soetadi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sragen sampai sekarang) maupun melalui media massa. "Karena saya setia pada prinsip," kata Soemarno, yang pernah menjadi hakim (1942 s/d 1945), "maka saya dianggapnya sebagai musuh . . . " Soetadi tak menolak anggapan Soemarno begitu. "Ah, itu lagu lama," katanya, "saya sudah sering dicaci-maki Mr. Marno, juga lewat pers, tak usah saya tanggapi . . ." Soetadi memang minta agar kejaksaan memeriksa Soemarno dalam kasus Sontohartanan. "Itu karena perintah atasan, yang langsung memeriksa sendiri Bandi Soetono, bukan kemauan saya atau dendam pribadi," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus