PENGADILAN terhadap Mr. Soemarno P. Wirjanto, advokat,
tampaknya semakin menarik. Sebab Ketua LBH (Lembaga Bantuan
Hukum) Surakarta tersebut biasanya memang dikenal
"malang-melintang" di berbagai pengadilan sebagai pembela yang
gigih. Tapi, didampingi lebih 60 orang pembela untuk menghadapi
tuntutan di Pengadilan Negeri Surakarta belakangan ini, ia
kelihatan seperti hendak berbuat hal-hal yang tak biasa.
Sebelumnya Soemarno telah mengajukan lima orang pembela.
Lalu pada sidang pertama, 4 Oktober lalu, ia mengajukan puluhan
pembela lain, sehingga jumlahnya genap 40 orang!
Sidang berikutnya, 1 November lalu, Soemarno makin menjadi
jadi: ia mengajukan duapuluhan pembela lain yang disebutnya tim
pembela Peradin (organisasi advokat) dari Bandung dan Semarang.
Sehingga sampai hari itu Soemarno, telah mengajukan 60 orang
pembela. Baik dari Peradin maupun bukan yang semuanya -- tentu
saja -- dilengkapi surat-kuasa secukupnya.
Tidak itu saja. Soemarno, seperti katanya kepada majelis
pimpinan Zaid Sungkar, masih menerima janji dari beberapa
pembela lain, termasuk Adnan Buyung Nasution, yang akan datang
membelanya. "Karena solidaritas sesama advokat . . . dan saya
tentu dengan senang hati menerima dan memberi kuasa," kata
Soemarno.
Bila semua pembela angkat suara-mulai dari menyanggah
tuduhan jaksa atau membacakan eksepsi, bertanya kepada terdakwa
dan saksi, sampai mengajukan pembelaan atau pleidoi Sidang
pengadilan tentu tidak berjalan sederhana lagi.
Tanah
Padahal perkaranya sendiri sederhana saja. Jaksa Soebyakto
menuduh Soemarno, 59 tahun, melakukan kejahatan penggelapan.
Yaitu, September 1968, telah menjual tanah dan rumah di Jalan
K.H.A. Dahlan 2 3 - 31, Surakarta, kepada Pengurus Muhammadiyah
dengan harga Rp 1 juta. Padahal sebelumnya, September 1967,
Soemarno telah menjualnya lebih dulu kepada Bandi Soetono
seharga Rp 800 ribu melalui Muchtarom sebagai perantara. Tanah
dan bangunan tersebut dikenal umum dengan nama Sontohartanan -
karena pemiliknya dulu Almarhumah Nyonya Sontohartono.
Tertuduh membantah. Menurut sejarahnya, katanya, tanah dan
rumah Sontohartanan telah dihibahkan kepada Muhammadiyah sebelum
Nyonya Sontohartono wafat (1963). Suatu hari, 1967, ia, selaku
Ketua Ahli Waris Sontohartono, mendapat tawaran menarik:
Muchtarom .. akan "membeli" tanah dan bangunan di Jalan Dahlan
tersebut untuk kemudian "disumbangkan kembali" kepada
Muhammadiyah.
Mewakili sekitar 60 ahli waris, Soemarno menyetujui tawaran
itu dengan niat uang "penjualannya" untuk biaya pemugaran. Oleh
Soemarno uang dari Muchtarom tersebut, Rp 800 ribu, diserahkan
kepada Muhammadiyah.
Tapi selanjutnya "jual-beli" tersebut rupanya berekor tak
begitu sedap. Karena tiba-tiba Muchtarom menuntut agar
sertifikat baliknama atas nama Bandi Soetono. Lalu tentang
"disumbangkan kembali" kepada Muhammadiyah itu? Soemarno
meragukan. Karena, katanya, Bandi menyerahkan uang Rp 3 juta
kepada Muchtarom, justru dengan maksud membeli Sontohartanan
untuk dipergunakan sendiri atau dijual kepada orang lain.
Untuk mengamankan Sontohartanan, Soemarno membuat akta
perjanjian jualbeli dengan Muhammadiyah, September 1968. Juga
diusahakannya agar ahli waris Sontohartono dan Muhammadiyah
mengembalikan saja uang yang pernah mereka terima dari
Muchtarom. Tapi sengketa tidak dapat dielakkan. Bandi menggugat
ahli waris Sontohartono ke pengadilan (1969 dan 1970). Perkara,
hingga kini, belum putus.
Lalu muncul perkara pidana: Soemarno, sebagai advokat yang
mewakili ahli waris Sontohartono, diadukan sebagai tertuduh yang
melakukan penggelapan --berbuat curang, melawan hukum, menjual
tanah dan bangunan yang telah jadi hak milik orang lain untuk
keuntungan sendiri. Tuduhan begitu, menurut Soemarno, tak layak:
telah menembus kekebalannya sebagai advokat.
Musuh Bebuyutan
Apalagi, begitu eksepsinya, perkara pidananya itu muncul
secara tidak wajar Bandi tidak mengadukannya kepada polisi atau
jaksa, seperti lazimnya, tapi kepada Ketua Pengadilan Negeri
Surakarta Soetadi Ramli. Pejabat itulah yang kemudian
melanjutkan pengaduan ke Kejaksaan Negeri Surakarta. Cara
begitu, menurut Soemarno, merupakan "penemuan baru di
Indonesia".
Mengapa bisa begitu, menurut Soemarno, tak lain karena
antara dia dengan Soetadi memang sejak lama"musuh bebuyutan "
Soemarno memang sering "menyerang" Soetadi -- baik di pengadilan
(semenjak Soetadi menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri
Sragen sampai sekarang) maupun melalui media massa.
"Karena saya setia pada prinsip," kata Soemarno, yang pernah
menjadi hakim (1942 s/d 1945), "maka saya dianggapnya sebagai
musuh . . . " Soetadi tak menolak anggapan Soemarno begitu. "Ah,
itu lagu lama," katanya, "saya sudah sering dicaci-maki Mr.
Marno, juga lewat pers, tak usah saya tanggapi . . ."
Soetadi memang minta agar kejaksaan memeriksa Soemarno dalam
kasus Sontohartanan. "Itu karena perintah atasan, yang langsung
memeriksa sendiri Bandi Soetono, bukan kemauan saya atau dendam
pribadi," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini