JALAN Akbar Tandjung untuk luput dari jerat hukum agaknya makin lebar. Sudah perkaranya di pengadilan dalam kasus dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 40 miliar hanya melibatkan Yayasan Raudatul Jannah, tidak terkait dengan Golkar, ia pun menikmati penangguhan penahanan. Bahkan nanti tak mustahil Ketua DPR dan Ketua Golkar itu bisa memetik ke-untungan gara-gara Kejaksaan Agung menggabungkan perkaranya dengan perkara terdakwa Dadang Sukandar serta Winfried Simatupang.
Dengan penyatuan perkara, bisa jadi terdakwa Akbar, Dadang, dan Winfried menggelorakan orkestra seirama. Mereka tak mungkin saling merugikan. Apalagi posisi mereka sebagai terdakwa tak membuat kebohongan, pengakuan serba tidak tahu, ataupun kebungkaman menjadi persoalan yang bersanksi hukum. Artinya, skenario tentang dana itu untuk kepentingan pengentasan masyarakat miskin yang disalurkan melalui Yayasan Raudatul Jannah bisa mereka jaga secara utuh.
Tentu keadaannya berbeda bila perkara mereka dipisah sebagaimana praktek yang selama ini diterapkan oleh kejaksaan untuk berbagai kasus besar dengan terdakwa lebih dari seorang. Bila perkara dipisah, terdakwa yang satu bisa diajukan sebagai saksi pada persidangan terdakwa lainnya. Dengan posisinya selaku saksi, berdasarkan ketentuan undang-undang, ia tak boleh berbohong kecuali ia sanggup menanggung sanksi hukum akibat keterangan palsu.
Fenomena itu juga terbukti ketika terdakwa mantan Kepala Bulog Rahardi Ramelan menjadi saksi di persidangan Akbar Tandjung di Hall B Arena Pekan Raya Jakarta, Senin pekan lalu. Demikian pula sebaliknya, sewaktu Akbar Tandjung memberikan kesaksian di persidangan Rahardi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.
Kendati keduanya seperti tetap terikat dengan skenario bahwa dana disalurkan melalui Raudatul Jannah, bukan ke Golkar, Rahardi menyatakan ia menelepon Akbar setelah Deputi Keuangan Bulog Achmad Ruskandar menyerahkan dua lembar cek masing-masing senilai Rp 20 miliar kepada Akbar. Soalnya, penyerahan dana itu tanpa dilengkapi tanda terima.
Tapi Akbar membantah keterangan Rahardi. Menurut Akbar, ia tak pernah ditelepon Rahardi untuk persoalan dimaksud. Yang terjadi, kata Akbar, Rahardi sempat menanyakan masalah itu pada sebuah pertemuan di Istana Negara. Akbar lantas menjawab bahwa dana itu benar telah diterimanya dan langsung diteruskan ke Raudatul Jannah (lihat Akbar Tandjung: "Dana Saya Terima, tapi Langsung Disalurkan").
Entah keduanya berbohong atau salah seorang dari mereka yang bohong, yang pasti Jaksa Fachmi pada perkara Akbar, Dadang, dan Winfried menyatakan bahwa penggabungan perkara itu untuk praktisnya saja. Lagi pula, katanya, hal itu bukan merupakan suatu pelanggaran hukum. "Ketiga terdakwa juga punya peran berbeda-beda. Jawaban terdakwa Akbar tak bisa dimanfaatkan oleh terdakwa Dadang ataupun Winfried," ujar Fachmi.
Namun, sebuah sumber di kejaksaan berpendapat, penggabungan perkara itu merupakan teknik yang akan menguntungkan jaksa untuk menjerat para terdakwa. "Dengan adanya tuduhan turut serta, bila Akbar selaku aktor utama dianggap bersalah dan dihukum, pasti terdakwa lainnya juga dihukum," kata sumber itu.
Justru bila perkara itu dipisah, tutur sumber itu, para terdakwa bisa saling menguntungkan. Bahkan, bila perkara yang dipisah itu ditangani majelis hakim yang berbeda, bisa terjadi terdakwa Akbar dibebaskan, sebaliknya terdakwa lain dihukum oleh majelis hakim lainnya.
Pendapat itu dibenarkan oleh Jaksa Fachmi. Dalam kasus korupsi itu, Akbar memang dikategorikan sebagai lakon yang menentukan. "Kalau tak ada Akbar, tak mungkin ada duit buat Dadang dan Winfried. Akbar juga sudah mengaku menerima uang itu," kata Fachmi, yang juga membantah tuduhan bahwa penggabungan perkara itu disengaja untuk meluputkan Akbar sekaligus menyelamatkan Golkar.
Tentu saja argumentasi Fachmi belum tentu pas. Ia tak mengkaji kemungkinan kalau perkara digabung, tapi Akbar dibebaskan, sementara Dadang dan Winfried menjadi tumbal dan dihukum.
Selain bisa menikmati keuntungan penggabungan perkara, Akbar juga diduga diuntungkan dengan posisi Dadang sang Ketua Yayasan Raudatul Jannah serta Winfried si pengusaha yang di-sebut-sebut menyalurkan dana tersebut untuk sumbangan sembilan bahan pokok bagi kalangan miskin.
Soalnya, Dadang sepertinya sudah siap "pasang badan" sejak kasus dana nonbujeter itu melanda Akbar dan Golkar. Sementara itu, Winfried dikabarkan masih berhubungan saudara dengan Akbar. Tapi Akbar menepis sinyalemen ini.
Persoalannya kini, meski lagi-lagi tersedot pada skenario bahwa dana tersebut disalurkan melalui Raudatul Jannah, bukan ke Golkar, mampukah Jaksa Fachmi membuktikan kesalahan Akbar?
Mestinya jaksa bisa membidiknya dari sisi tak berwenangnya Akbar—sebagai Menteri Sekretaris Negara waktu kasus itu terjadi—mengurusi penyaluran dana nonbujeter Bulog ke Raudatul Jannah, ataupun dari kontroversi keterangan Akbar dan Rahardi. Bahkan, fakta bahwa Winfried telah mengembalikan dana Rp 40 miliar itu bisa pula diolah jaksa. Soalnya, dana itu dikatakan sudah disalurkan untuk rakyat miskin, tapi kenapa bisa dikembalikan lagi bahkan dalam bentuk tunai oleh Winfried?
Happy S., Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini