Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi saling lepas tangan segera mencuat begitu rapat Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly berakhir Selasa pekan lalu. Setelah dalam rapat bersepakat merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, pimpinan Badan Legislasi DPR dan Menteri Yasonna saling lempar soal siapa yang mengusulkan revisi undang-undang itu.
Merujuk pada buku Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, Menteri Yasonna menuding DPR sebagai pengusung usul revisi itu. Menurut dia, dalam daftar panjang Prolegnas 2015-2019, DPR memasukkan 53 rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif mereka. Salah satunya revisi Undang-Undang KPK. "Silakan cek di long list buku Prolegnas," ujar Yasonna seusai rapat di Kompleks Parlemen, Senayan.
Sebaliknya, masih di tempat yang sama, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Firman Soebagyo membantah pernyataan Yasonna. Dalam rapat kerja, menurut Firman, justru pemerintah yang mengajukan agar revisi Undang-Undang KPK masuk prioritas Prolegnas 2015.
Penjelasan lebih gamblang soal asal-usul gagasan merevisi Undang-Undang KPK datang dari Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Desmond J. Mahesa. Menurut dia, ide merevisi undang-undang tersebut bermula dari laporan sejumlah tersangka kasus korupsi ke Komisi Hukum DPR. "Mereka mengindikasikan kejanggalan dalam penanganan kasus di KPK," kata Desmond, Jumat pekan lalu.
Awal April lalu, menurut Desmond, Komisi Hukum DPR membahas laporan tersangka kasus korupsi itu dalam rapat kerja dengan Menteri Yasonna. Dalam rapat itulah Komisi Hukum DPR dan Kementerian Hukum sepakat memasukkan revisi Undang-Undang KPK ke Prolegnas 2015-dengan DPR sebagai inisiatornya. "Jadi bukan hanya usul DPR. Itu juga disepakati pemerintah," ujar Desmond.
Sebulan kemudian, Desmond menambahkan, Komisi Hukum DPR mengundang Kepolisian RI, Kejaksaan Agung, dan KPK untuk membahas rencana revisi. Hanya, kala itu tak ada satu pun perwakilan KPK yang hadir.
UPAYA merevisi Undang-Undang KPK bukan mencuat kali ini saja. Setiap kali berembus, gagasan merevisi undang-undang itu pun selalu memicu reaksi keras dari kalangan pegiat antikorupsi. Mereka khawatir revisi Undang-Undang KPK justru bakal mengebiri wewenang komisi antirasuah.
Pada 2007, misalnya, ide merevisi Undang-Undang KPK datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Waktu itu Presiden Yudhoyono mengaitkan usul revisi dengan ide pembentukan KPK di daerah. Namun usul itu menguap karena segera dicurigai sebagai upaya melemahkan gerakan antikorupsi.?
Usul merevisi Undang-Undang KPK muncul lagi dari Senayan pada 2011. Kala itu KPK sedang gencar memburu legislator penerima cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S. Goeltom. Pada Februari 2012, draf revisi Undang-Undang KPK versi DPR pun sempat beredar.
Draf yang disusun Biro Hukum dan Legislasi DPR itu memangkas sejumlah wewenang KPK, antara lain wewenang penyadapan dan penuntutan. Menurut draf itu, komisi antikorupsi hanya boleh melakukan penyadapan atas izin pengadilan. Adapun wewenang penuntutan akan dikembalikan ke kejaksaan.
Komisi Hukum DPR juga menyelipkan pasal yang memungkinkan KPK menghentikan penyidikan perkara. Padahal, sebelumnya, KPK tidak mengenal "gigi mundur". Sekali menetapkan tersangka, KPK tak pernah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Pembatasan lainnya, DPR pun mengusulkan KPK hanya diperbolehkan menyidik kasus korupsi di atas Rp 10 miliar.
Rencana revisi itu kandas pada Oktober 2012. Setelah hujan kritik mengguyur Senayan, semua fraksi mencabut dukungan atas draf yang sudah masuk ke Badan Legislasi DPR itu.
Dalam pembahasan di DPR pekan lalu, Menteri Yasonna memaparkan bahwa revisi Undang-Undang KPK akan mencakup lima poin, yakni wewenang penyadapan, penuntutan, pembentukan dewan pengawas, penunjukan pelaksana tugas pimpinan, dan penguatan prinsip kolektif kolegial di KPK.
Wewenang penyadapan, misalnya, akan dibatasi hanya sejak proses pro justicia. Artinya, penyadapan hanya diperbolehkan setelah penyidikan berlangsung atau sejak KPK menetapkan tersangka. "Agar tak menimbulkan pelanggaran hak asasi," ucap Yasonna.
Menurut Yasonna, wewenang KPK dalam melakukan penuntutan juga akan ditinjau lagi. Sementara selama ini KPK bisa melakukan penuntutan secara mandiri, kelak kewenangan penuntutan mungkin akan dikembalikan ke kejaksaan. Adapun pembentukan dewan pengawas KPK, kata Yasonna, untuk menjaga agar komisi antirasuah tetap netral dari tekanan politik. Anggota dewan pengawas itu akan dipilih DPR.
Seorang anggota Komisi Hukum DPR mengatakan, berbeda dengan situasi sebelumnya, kolega dia di Senayan kali ini optimistis rencana revisi Undang-Undang KPK tak bakal kandas lagi. Alasannya, posisi KPK kini tak sekuat sebelumnya. "Lihat saja kekalahan di praperadilan dan perpecahan di lingkup internal pimpinan KPK," ujarnya. Dalam sebuah rapat internal beberapa waktu lalu, menurut si politikus, salah seorang Wakil Ketua Komisi Hukum DPR mengatakan bahwa KPK kini tengah berada di titik terlemah.
Masuknya Taufiequrachman Ruki sebagai pelaksana tugas Ketua KPK juga membuat posisi politikus Senayan di atas angin. Dalam rapat dengan Komisi Hukum DPR pekan lalu, Ruki mendukung rencana revisi Undang-Undang KPK. Dia bahkan mendukung dibukanya pintu penghentian penyidikan perkara di KPK. Adapun dua pemimpin lain, Johan Budi Sapto Prabowo dan Indriyanto Seno Aji, menolak rencana revisi.
Sandungan terakhir atas rencana DPR merevisi Undang-Undang KPK datang dari lingkaran Istana Kepresidenan. Menurut Staf Komunikasi Presiden Teten Masduki, Presiden Joko Widodo menolak revisi undang-undang yang bakal melemahkan KPK. Dalam rapat terbatas Jumat pekan lalu, Presiden pun memperingatkan para menterinya. "Jangan sampai ada lagi persepsi di masyarakat bahwa pemerintah ingin memperlemah KPK, apalagi berniat merevisi Undang-Undang KPK," kata Teten menirukan arahan Presiden.
Febriyan, Tika Primandari, Indri Maulidar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo