YANG baru ternyata belum tentu mengasyikkan. Wadah tunggal advokat ingar-bingar, Ikadin, yang baru genap tahun usianya, sudah tampak redup. Tak seperti upacara ketika wadah itu dilahirkan, marak, resepsi ulang tahun yang diselengrakan di Hotel Sahid, Jakarta, Senin pekan lalu berlangsung muram. Paling tidak terlihat dari yang hadir: cuma sekitar 200 orang sudah terhitung keluarga pengacara -- dari kitar 800 orang yang tercatat sebagai anggota. Beberapa pentolan yang ikut andil melahirkan organisasi itu, seperti Adnan Buyung Nasution, R.O. Tambunan, dan bahkan Sekjen Ikadin Albert Hasibuan malah tidak tampak sama sekali. Bukan hanya itu yang mengurangi kemewahan. Ketua Mahkamah Agung Ali Said, yang melahirkan wadah tunggal para pengacara, ternyata berhalangan hadir. Begitu juga Jaksa Agung Hari Soeharto. Untunglah, kendati "ibu kandung" tidak hadir, "ibu angkat" datang menghidupkan suasana: Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Sambutan anggota Ikadin sendiri juga dingin, sih. Itu boleh mencerminkan kekuatan organisasi itu sampai kini. "Bagaikan ayam sakit dan tidak berwibawa kepada anggota-anggotanya," komentar Todung Mulya Lubis, Ketua Yayasan LBH Indonesia, yang ikut berperan dalam kelahiran organisasi itu. Kebanyakan pengurus apalagi anggota -- menurut Mulya, bersikap acuh tak acuh. "Program organisasi yang sudah dibuat ketika kongres, jangankan dijalankan, dimasukkan agenda saja tidak. Bagaimana mungkin organisasi itu akan kuat dan diakui orang luar?" kata Mulya lagi. Cacat Ikadin memang bukan hanya itu. Pertentangan antarkelompok yang berfusi dalam wadah tunggal itu, selama setahun ini, mewarnai pembentukan cabang-cabang di daerah. Kecurigaan yang merata bahwa cabang-cabang dikuasai kelompok eks Peradin -- yang memang mayoritas di dalam wadah tunggal -- menyebabkan munculnya wadah tandingan di beberapa daerah (TEMPO, 15 Maret). "Memang, ibarat rumah keluarga besar, di Ikadin itu banyak kepala keluarga yang tinggal. Saya sendiri tidak tahu banyak bagaimana sebenarnya warna keluarga mereka sebelum tinggal di rumah besar itu, kecuali ketuanya yang berasal dari Peradin," kata Ketua Umum Ikadin Harjono Tjitrosoebono, yang juga bekas Ketua Umum Peradin pekan lalu. Rapuhnya kesepakatan advokat untuk berwadah tunggal itu dibuktikan pula oleh penyelesaian kasus yang menyangkut Sutomo Chasanduryat. Pengacara purnawirawan ABRI, yang berasal dari Bina Bantuan Hukum (BBI), itu menjelang Lebaran lalu dituduh DPP Ikadin melakukan praktek melenceng: hendak mengatur tuntutan jaksa dan vonis hakim. Hal itu, dasarnya, sebuah surat Sutomo dan rekannya yang menjanjikan kliennya -- seorang tersangka perkara pidana -- mendapatkan putusan bebas murni melalui upaya di luar sidang pengadilan. Dewan Kehormatan (DK) Ikadin berniat menyidangkan kasus itu. Tapi niat DK Ikadin -- yang mencoba unjuk gigi -- ternyata dipecundangi. Sutomo, yang tak lain salah seorang anggota DK, ternyata keberatan diadili dewan. Sebelum DK Ikadin bersidang, Sutomo sudah lebih dahulu diadili DK BBH, organisasi asalnya. Dengan alasan itu Sutomo menganggap DK Ikadin tidak berhak lagi mengadilinya. Ketika DK Ikadin berkeras hendak mengadili juga, Sutomo berkelit, dengan cara menyatakan mundur dari keanggotaan Ikadin. DK Ikadin, yang diketuai seorang pentolan yang selama ini berwibawa di kalangan advokat, S. Tasrif, terpaksa menggugurkan perkara itu (TEMPO, 11 Oktober). Belakangan DK Ikadin memang mengeluarkan surat keputusan yang menegaskan bahwa hanya merekalah yang berhak mngadili pelanggaran etik anggota-anggotanya -- memang begitu seharusnya. Sampai kini toh wibawa DK belum tampak memancar. Masih banyak kasus pertentangan antaranggota yang belum tuntas terselesaikan. Misalnya kisruh antara Kaligis dan Harjono, Tambunan lawan Kaligis, atau Rusdi Nurima vs Henry Yosodiningrat. Bahkan mengenai hal yang sangat penting: tuduhan contempt of court yang dilakukan Advokat Buyung Nasution. Padahal, seperti kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh, "Tindakan tegas dari Dewan Kehormatan terhadap anggota yang melanggar etik itu sangat penting untuk menegakkan wibawa organisasi." Seandainya DK bisa menyelesaikan semua kasus pun Ikadin belum tentu dipandang sebelah mata para anggotanya. Sebab, putusan terakhir untuk menjatuhkan hukuman terhadap seorang pengacara masih saja di tangan Menteri Kehakiman. Putusan DK Ikadin bernilai tak lebih hanya sebuah "usulan". Padahal, sistem di banyak negara, organisasi profesi semacam Ikadin mempunyai wewenang penuh mengadili dan menghukum anggota, sehingga cukup penting kedudukannya dan besar pula wibawanya. Oleh sebab itu, dari sebuah dewan kehormatan, yang anggotanya dipilih dari pengacara berintegritas tinggi, bisa lahir putusan-putusan yang disegani dan mempunyai akibat hukum terhadap anggotanya (lihat Politik Berprofesi). Soal berwibawa atau tidaknya organisasi itu, memang sangat tergantung soal pengakuan pemerintah: apakah Ikadin boleh menyebut satu-satunya wadah advokat. Dan pengakuan itulah yang sampai kini belum ada. Sehingga, organisasi-organisasi HPHI, Peradin, Pusbadhi, dan BBH masih saja berdiri di luar wadah yang konon tunggal itu. Tak bisa juga disebut bahwa pemerintah tidak ada perhatian. Menteri Kehakiman tak kurang-kurang berseru agar organisasi di luar Ikadin segera membubarkan diri. Seruan itu masih diulanginya ketika menyambut HUT pertama Ikadin kemarin. "Saya ingin tahu apakah dalam HUT kedua nanti Ikadin masih perlu dimantapkan sebagai wadah tunggal," ujarnya. Untuk mengakui Ikadin sebagai satu-satunya organisasi advokat, agaknya, lebih dulu diperlukan kerapian organisasi itu sendiri. "Pengukuhan itu akan turun dengan sendirinya bila Ikadin mampu membenahi diri," seperti kata salah satu ketua DPP Ikadin, R.O. Tambunan. Tapi, itulah yang sulit. Sebab, selain anggota masih cakar-cakaran, pengurus banyak yang acuh tak acuh terhadap jalannya organisasi. Ya, dalam hal ini, pengacara seperti pedagang kaki lima: tak mudah digiring dari los-los -- yang kadang becek -- ke kios-kios mentereng sekalipun. Tapi tentu riwayat Ikadin selama setahun ini tidak hanya penuh cerita compang-camping. Bertepatan dengan hari kelahirannya 10 November lalu, misalnya, Ikadin menginstruksikan anggota-anggotanya di seluruh Indonesia agar memberikan konsultasi hukum cuma-cuma bagi masyarakat tidak mampu selama seminggu. Hasilnya, "Banyak cabang di daerah yang melaporkan selama pekan bantuan hukum cuma-cuma itu mereka kebanjiran klien," ujar Wakil Sekjen Ikadin, Djohan Djauhary. Selain itu, ada juga program penyuluhan hukum yang dilakukan pengurus Ikadin pusat dan daerah. Ketua Umum Ikadin, Harjono Tjitrosoebono, misalnya, sampai-sampai harus turun ke Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, bersama penegak hukum lainnya untuk memberikan penyuluhan hukum. Mungkin sebuah cara yang perlu ditradisikan agar jasa hukum tidak semata-mata dianggap "barang mewah" oleh masyarakat. Dari segi kewibawaan terhadap anggota salah seorang pengurus DPP, Ketua Ikadin R.O. Tambunan tidak pula terlalu khawatir, kendati kata akhir pada peradilan etik ada pada Menteri Kehakiman. "Sebab, sudah ada kesepakatan lisan dengan Menteri, bila suatu waktu Ikadin memutuskan sesuatu, Menteri akan berpendapat serupa," kata Tambunan. Dengan terlaksananya kesepakatan itu, katanya, para advokat bakal lebih sadar akan etiknya. Tapi bagaimana dengan organisasi di luar Ikadin. "Organisasi di luar Ikadin itu secara alamiah akan mati bila Ikadin telah berkembang," kata Tambunan, yang sampai kini masih menjabat Ketua Umum Pusbadhi. Karni Ilyas, Laporan biro-biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini