Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akta sayang anak

Kantor catatan sipil magelang mengeluarkan akta kelahiran untuk anak di luar nikah. misalnya, kedua anak ningsih, 30. dasarnya, surat edaran menkeh. beberapa alasan untuk menuju kumpul kebo. (hk)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUMPUL kebo -- bagi sebagian orang -- ternyata bukan suatu aib. Contohnya seorang wanita muda di Magelang sebut saja Ningsih, 30, tanpa malu-malu berkisah bahwa selama lima tahun ia hidup bersama -- tanpa menikah -- dengan seorang laki-laki yang dicintainya. Kita bilang si cowoknya bernama Ari. Hasilnya: "Saya mendapatkan dua anak," katanya kepada TEMPO, pekan lalu. Anak pertamanya kini berusia empat tahun. Yang kedua lahir belum lama ini. Kendati ibu bapaknya berpasangan tanpa surat nikah, kedua anak itu memiliki akta kelahiran sah, yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil setempat. Hidup bersama tanpa "dilindungi" surat nikah lazimnya digunjingkan karena dianggap tak sejalan dengan norma moral agama yang umum berlaku. Persoalan hukum perdata baru muncul bila dari mereka lahir keturunan. Soal yang utama menyangkut status si anak: bagaimana akta kelahirannya -- bekal yang tak kunjung habis diperlukan untuk mengurus berbagai hajat hidup -- dan bagaimana ia mewarnai orangtuanya. Ketentuan hukum perdata agaknya telah memasyarakat bahwa si anak dianggap anak di luar nikah. Karena itu, mempunyai hubungan hukum dan mewaris hanya di ibunya. Tapi bagaimana dengan akta kelahirannya? Mungkinkah akta itu didapat sementara untuk memohonnya perlu surat nikah kedua orangtuanya? Ternyata, tidak banyak yang tahu, akta kelahiran untuk kasus semacam itu tidak sulit didapat dari kantor-kantor catatan sipil. Contohnya, ya, kedua anak Ningsih itu. Orangtua mereka hampir tidak mungkin bisa menikah. "Sebab, Ari sudah mempuyai istri dan tiga orang anak di kota lain," tutur si ibu. Kendati tidak menjadi istri yang sah, Ningsih rupanya tidak lupa menguruskan akta kelahiran bagi anak-anaknya. Empat tahun lalu ia mendapat akta kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Magelang untuk anak pertamanya. Tahun ini akta yang sama diperolehnya pula untuk putra keduanya. Kepala Kantor Catatan Sipil Magelang, Ribowo, mengakui bahwa sejak empat tahun lalu instansinya mengeluarkan akta-akta kelahiran untuk anak-anak di luar nikah. Dasarnya? "Surat edaran Menteri Kehakiman yang membenarkan anak-anak itu mendapatkan akta kelahiran," ujar Ribowo. Surat edaran yang dimaksudkan Ribowo dikeluarkan Menteri Kehakiman pada 1979. Aparat itu menyebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil harus menerima pendaftaran "setiap" kelahiran -- termasuk yang lahir dari perkawinan tidak sah menurut hukum. Pada akta anak hasil perkawinan yang sah disebutkan ayah dan ibunya. Untuk anak yang tidak sah hanya dicantumkan nama ibunya. "Sudah lima puluh akta untuk anak di luar nikah yang kami keluarkan selama ini. Sepuluh akta untuk anak-anak WNI pribumi dan sisanya untuk WNI keturunan Cina atau WNA Cina," kata Ribowo. Untuk kalangan Cina, baik yang WNI maupun WNA, menurut Ribowo, soal kumpul tanpa surat nikah memang dianggap biasa. "Mereka memilih begitu karena takut wanita akan kehilangan kewarganegaraannya bila perkawinannya diresmikan. Selain itu wanita WNI, yang kawin dengan WNA, akan rugi karena terkena pajak orang asing dan tidak boleh mempunyai hak memiliki tanah di Indonesia," tutur Ribowo. Pasangan-pasangan kumpul kebo pribumi juga punya alasan untuk tidak mengurus surat nikah -- bukan semata-mata mengikuti mode, lho. Di Magelang, kata Ribowo, ada pasangan yang memilih cara hidup demikian karena pihak wanita seorang janda pegawai negeri yang mendapatkan hak pensiun suaminya. "Bila ia menikah secara resmi sesuai prosedur hukum yang berlaku, tentu hak pensiunnya akan hilang," katanya. Menurut guru besar hukum perdata FH UI, Prof. R. Sardjono, akta kelahiran untuk anak di luar nikah memang sudah diatur hukum perdata Belanda (BW) yang diperuntukkan bagi orang-orang Eropa, Cina, dan golongan-golongan tertentu dari bangsa Indonesia. Tapi perundang-undangan itu, menurut Sardjono, kini tengah digodok kembali oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (PHN) untuk diberlakukan secara nasional. Secara pribadi guru besar yang kini berusia 70 tahun itu berpendapat bahwa anak-anak hasil kumpul kebo perlu diberikan akta kelahiran. "Kasihan bila mereka harus mendapat kesulitan dalam hidupnya semata-mata karena soal surat saja," ujar Sardjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus