AIR mata tiba-tiba bergulir di pipi Faiz Abu Bakar Bafana. Sambil menunduk, lelaki 41 tahun yang rambutnya disisir rapi ini buru-buru mengusapnya dengan telapak tangannya. Sebagai bendahara Jamaah Islamiyah wilayah Singapura, ia sedang bersaksi dalam kasus Abu Bakar Ba'asyir yang didakwa melakukan makar. "Anda tampaknya sedang menangis, sedang sedih?" tanya Jaksa. Sang saksi mengaku sedih melihat keadaan Ba'asyir. Sebab, "Saya sudah menganggapnya seperti bapak sendiri," ujar Faiz Bafana.
Reaksi Ba'asyir? Saat sidang yang digelar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu, itu berlangsung, terdakwa tak sedetik pun melirik ke wajah Bafana. Sang Ustad, yang selama ini mengaku tidak kenal dengan Bafana, asyik memelototi buku yang dibawanya. Dan, seusai saksi berbicara, pengasuh Pondok Pesantren Ngruki, Jawa Tengah, ini juga enggan berkomentar.
Sebuah drama yang menarik. Apalagi hari itu Faiz Bafana tidak benar-benar hadir di Gedung Meteorologi dan Geofisika, Jakarta, tempat sidang itu digelar. Wajahnya hanya muncul di layar monitor 50 inci dan sebuah layar televisi 14 inci. Persidangan yang dijejali pengunjung itu dilakukan lewat telekonferensi. Bafana sendiri saat itu berada nun jauh di sana, di bekas Gedung Kementerian Dalam Negeri Singapura.
Selain Bafana, dua aktivis Jamaah Islamiyah Singapura lainnya, Hashim bin Abbas dan Ja'afar bin Mistooki, juga bersaksi dari jauh. Sekitar enam jam mereka dicecar dengan pertanyaan oleh jaksa dan hakim di Jakarta. Hampir semua keterangan mereka amat memberatkan terdakwa. Faiz Bafana, misalnya, menya- takan bahwa Ba'asyir pernah menggagas pembunuhan terhadap Megawati Soekarnoputri, yang waktu itu masih menjadi wakil presiden. Pengeboman sejumlah gereja di Indonesia pada tahun 2000 pun, katanya, juga sepersetujuan Ba'asyir sebagai Amir (Ketua) Jamaah Islamiyah.
Ini untuk kedua kalinya pengadilan di Indonesia mendengarkan kesaksian jarak jauh. Sebelumnya, dalam kasus Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan, bekas presiden B.J. Habibie juga pernah bersaksi dari Jerman lewat telekonferensi.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri Ja- karta Pusat, Salman Maryadi, ketiga saksi tersebut tidak mungkin dibawa ke Jakarta karena berstatus tahanan pemerintah Singapura. Penolakan telah dinyatakan Singapura lewat suratnya yang dikirim ke kejaksaan. Setelah dilakukan pendekatan, akhirnya disepakati untuk menggelar kesaksian jarak jauh. Soalnya, "Kita mempunyai kepentingan yang sama, mengusut Jamaah Islamiyah," kata Salman.
Hanya, kesaksian jarak jauh dengan biaya Rp 5.650 per menit ini mengundang persoalan hukum yang pelik. Sebab, Faiz Bafana dan dua rekannya bukan warga negara Indonesia, tapi warga negara Singapura. Kesaksian mereka juga tidak dilakukan di wilayah Indonesia. Ini berbeda dengan kesaksian Habibie, yang warga negara Indonesia dan kebetulan saat itu kesaksiannya pun dilakukan di Kedutaan Besar Indonesia di Jerman. Inilah yang dipakai sebagai peluru pihak Ba'asyir untuk mengungkit keabsahan kesaksian mereka. "Kesaksian itu tidak bisa dijadikan alat bukti karena para saksi tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Mahendradatta, salah satu pengacara Ba'asyir.
Masalahnya berkaitan dengan kualitas kesaksian itu sendiri. Kendati Faiz Bafana dan rekannya disumpah seusai dengan hukum acara Indonesia, mereka tidak bisa dijerat dengan tuduhan melakukan sumpah palsu jika berbohong. Maklum, ia warga negara lain, dan berada di wilayah hukum negara lain pula. Jadi, mereka bersumpah tanpa risiko apa pun. "Kalau keterangannya palsu, apa kita bisa menuntutnya?" tanya Mahendradatta.
Selain itu, kuasa hukum Ba'asyir terang-terangan meragukan mutu kesaksian mereka karena juga tidak diadakan pengecekan silang dengan saksi lainnya, misalnya saksi Imam Samudra di Indonesia. Rupanya jaksa menganggap hal ini tidak perlu dilakukan. Rencananya, pekan ini aktivis Jamaah Islamiyah dari Malaysia akan dihadirkan pula sebagai saksi lewat telekonferensi. Dia pun tidak akan dikonfrontasi dengan saksi lain. "Tidak perlu. Kami tinggal melihat hubungan kesaksian mereka dengan keterangan saksi lainnya untuk menyusun tuntutan," ujar Firdaus Wilmar, salah seorang jaksa dalam sidang kasus ini.
Itu sebabnya, para pengacara Ba'asyir akhirnya memilih walk out saat Faiz Bafana dan rekannya bersaksi. Setelah pengacaranya—M. Assegaf, Mahendradatta, dan Lutfi Hakim—meninggalkan sidang, semula Ba'asyir juga hendak ikut keluar ruangan. Alasannya? Tanpa pengacara, kemampuannya tidak seimbang dengan tim jaksa penuntut umum. Tapi Ketua Majelis Hakim Muhammad Saleh melarangnya karena sidang tidak bisa berjalan tanpa adanya terdakwa.
Bagi jaksa, kesaksian jarak jauh tersebut tetap sah kendati tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Hukum, menurut dia, tidak statis dan boleh dikembangkan. Yang dilakukannya adalah untuk mencari bukti kebenaran material, dan ini tidak dibatasi oleh wilayah. "Yang penting sudah disumpah dan kesaksiannya tidak di bawah tekanan," ujar Firdaus.
Tak pelak, kasus ini mengundang debat hukum yang menarik. Dosen hukum acara pidana Universitas Indonesia yang juga praktisi hukum, Luhut M. Pangaribuan, juga menilai tempat kesaksian tidak penting demi mencari kebenaran material. Jadi, kesaksian lewat teknologi telekonferensi cukup sah dijadikan alat bukti. Sebab, menurut Luhut, hukum acara sebenarnya juga merupakan "teknologi" atau arahan untuk mencari bukti kebenaran material.
Hanya, Achmad Ali, pakar hukum dari Universitas Hasanuddin, Makassar, berpendapat sebaliknya. Ia menyarankan agar telekonferensi tidak dijadikan sebagai alat bukti. Bukan cuma karena tidak diatur dalam KUHAP, tapi karena Faiz Bafana dan kawan-kawan tidak bisa dituntut jika melakukan kesaksian palsu. "Bagaimanapun, mencari kebenaran material harus sesuai dengan asas legalitas," katanya.
Pada akhirnya, memang hakimlah yang akan mengukur kualitas kesaksian Bafana dan rekan-rekannya. Kalaupun hakim ternyata menjadikannya sebagai pertimbangan utama dalam memvonis, masih ada lagi "pertarungan" lanjutan. Ustad Abu Ba'asyir bisa mempersoalkan keabsahan kesaksian jarak jauh yang unik ini lewat pengadilan tingkat banding, dan juga kasasi.
Endri Kurniawati, Tjandra Dewi, Dhian N. Utami (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini