Jangan mengira bahwa memperlakukan manusia seperti binatang di
krangkengan mencegah kriminalitet jangan mengira bahwa
perbaikan-perbaikan akan menjadi lux yang membikin narapidana
jadi krasan di penjara.
Dr. Sahardjo, bekas Menteri Kehakiman RI.
LALU bagaimana memperlakukan narapidana yang sebaiknya?
Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja terus terang telah minta
fakta dan petunjuk masyarakat: bagaimana sebenarnya perlakuan
Lembaga Pemasyarakatan (LP), yang dulu disebut penjara alias
bui, terhadap para narapidana? Apa yang terjadi di LP Denpasar
baru-baru ini - dengan kaburnya dua napi asing - memukul nama
baik Dep. Kehakiman. "Korps Pemasyarakatan kesal dan malu," kata
Menteri.
Donald Ahern Andrew (48) dan David Allan Riffe (36), pilot dan
ko-pilot warganegara Inggeris dan AS, adalah napi kelas berat
bagi LP Denpasar dan cabangnya LP Amlapura di Karangasem. Donald
Andrew harus menjalani hukum 17 tahun ditambah denda Rp 20 juta.
Riffe lebih ringan sedikit: 7 tahun penjara dengan denda yang
sama. Mereka terbukti bersalah, seperti keputusan hakim Pebruari
1977, telah mengangkut ganja lebih dari 664 kg dalam pesawat
Cessnanya.
Perlakuan petugas LP terhadap dua napi ini sungguh istimewa. Di
LP Denpasar, walaupun masih tinggal di lingkungan penjara,
Andrew menempati ruang khusus: semacam paviliun. Pintu keluar
masuknya juga tak terjangkau oleh mata penjaga dan gardu
penjagaan. Ia bebas seperti di rumahnya sendiri.
Boleh makan di warung setiap jam makan Boleh keluyuran, belanja
dan piknik. Sampai tidur di luar pun tak mengundang kecurigaan
para petugas.
Riffe di Amlapura mendapat perlakuan yang sama. Ia juga bisa
keluyuran sembarang waktu, dengan sepeda motornya, keliling
pulau dewata. Ia memang menarik perhatian: boleh dibilang ahli
permesinan. Karya pertamanya, sebagai orang istimewa titipan
Direktur LP Denpasar Putu Benoem SH, Riffe merawat mobil
Direktur LP Amlapura Susanta. Berikutnya ia menjual jasa - untuk
memperoleh perlakuan lebih luas lagi dengan mereparasi mesin
penyosohan beras, huller, di luar tembok. Setelah itu iapun
berjanji: akan mereparasi semua mesin penyosohan beras di
seluruh Kabupaten Karangasem. Itu sudah dilakukannya. Sudah 6
buah huller berjalan baik berkat tangannya yang cekatan itu.
Tapi keleluasaan dan kelonggaran perlakuan itu berkat sistim
pemasyarakatan yang sedang diterapkan di LP-memberi Donald dan
David kesempatan emas untuk kabur (TEMPO, 23 Juli).
Tidak hanya orang kulit putih yang memperoleh kesempatan 'bagus'
begitu. Ingat: Hie Kie Seng alias HKS? Itu pemuda, 34,
sebenarnya seorang napi yang harus tinggal di LPK Cipinang. Ia
terhukum untuk perkara 'imigran gelap'. Tapi, 23 April malam
lalu, ia tiba-tiba mati tertembak pistol jaksa di jalan Gunung
Sahari, depan MBAL, Jakarta. Seorang napi mati, tertembak di
luar tembok, tentu saja jadi perkara. Jaksa Agung Ali Said
berkenan memberikan penghargaan kepada petugas jaksa yang,
katanya menang 'duel' dengan HKS. Tapi Direktur LPK Cipinang,
apa boleh buat, terpaksa ditindak oleh atasannya.
Rupanya HKS memang cukup punya kesempatan untuk keluyuran. Ia
memang dapat izin khusus untuk keluar tembok untuk mengurus
kasasinya ke pengadilan. Direktur LPK Cipinang, waktu itu
Sugiantoro, sudah memerintahkan anak buahnya agar segera menarik
kembali HKS begitu selesai urusannya di luar. Tapi entah mengapa
perintah sang direktur tidak diindahkan. Dan Sugiantoro, yang
tentu tahu perintahnya tidak jalan, tidak bertindak keras. HKS
memang sudah dekat waktu pembebasannya. Dua hari setelah
peristiwa penembakan, sebenarnya HKS sudah dapat memperoleh
kebebasannya kembali. Tapi ia mati dan Sugiantoro kena getahnya.
Belum lagi sebulan peristiwa HKS-ketahuan seorang napi lolos
lagi dari LPK Cipinang. Kali itu yang lolos seorang perampok.
Ceritanya seru juga.
Ia adalah Oka Gunawan alias Pek Gwan (lihat box). Ia dihukum di
LPK Cipinang, 5 tahun penjara, karena terbukti melakukan
kejahatan erampokan. Selama 3 tahun di penjara, menurut suatu
dewan di sana, napi ini terhitung berkelakuan baik. Karena itu
Oka dipercayai untuk bekerja di luar tembok, meski pun masih
tetap di bawah pengawasan petugas bersenjata api.
Tanggal 12 Pebruari lalu Oka bertugas membersihkan halaman dan
kebun di sekitar tembok penjara. Singkat cerita, ketika pengawal
lengah, Oka segera melarikan diri. Begitu gampang? Memang. Malah
ada kisah yang lebih menarik diceritakan oleh petugas penjara
yang tak mau disebutkan namanya.
Kabarnya Direktur LPK sebenarnya tak mengijinkan Oka bekerja di
luar tembok. Tapi Oka, yang sudah rindu menghirup udara terbuka,
punya akal. Ia berhasil membujuk salah seorang petugas untuk
'menyelundupkannya' ke luar tembok. Pada saat Sugiantoro meneken
surat izin bekerja di luar tembok bagi beberapa orang napi, nama
Oka - entah siapa yang menyelundupkan -- tiba-tiba saja
tercantum. Sugiantoro kabarnya, secara sadar, tak pernah meneken
surat izin kerja-luar bagi napi Oka.
Apapun ceritanya, Oka sudah terlanjur kabur. Polisi sudah
dilapori. Tapi mereka tak berhasil membekuk kembali sang
buronan. Oka baru tertangkap kembali setelah lebih dahulu
membuat kegaduhan: awal Mei, bersama seorang rekan, Oka
melakukan pekerjaan lamanya. Ia merampok toko emas Kota Jaya di
depan bioskop Roxy, Jakarta. Aksinya berhasil digagalkan oleh
dua orang alat negara yang dibantu massa. Ia babak belur
dikeroyok orang, setelah lebih dulu berhasil melukai kepala
seorang tentara dengan hantaman pistolnya.
Ia ditahan di Komdak Metro Jaya. Nah, di sinilah baru ketahuan:
perampok ini, memang bernama Oka, dan buronan dari Cipinang.
Tidak itu saja. Ternyata ia juga pelaku perampokan toko emas
Gaya Baru di Jembatan Lima, Jakarta, 22 Pebruari sebelumnya.
Jadi selama buron dari bui Oka ini dapat bekerja sampai dua
kali.
Kasus lolosnya tokoh-tokoh tadi dari LP menjadi sorotan orang.
Ya, karena mereka membuat kegaduhan. Seandainya mereka agak
tenang sedikit, cukup hanya menikmati kcknggaran-kelonggaran
dari sistim pemasyarakatan di penjara, mungkin nasib mereka akan
lebih baik. Contoh? Banyak.
Para napi, penghuni LP yang kebetulan kelas teri atau tongpes,
dapat bercerita banyak. Katanya, dan ini sudah jadi rahasia
umum, napi-napi tertentu tak pernah merasa terkurung. Ada yang
kelihatan oleh rekan senapi cuma 3 bulan sekali masuk LP untuk
seminggu lamanya. Selma seminggu itupun mereka santai: mondar
mandir ke kantor direktur, ngobrol. pinjam telepon. Bahkan ada
wartawan yang pernah melihat seorang napi - seorang penting yang
dihukum karena korupsi - tampak semobil dengan keluarganya.
Karena tertangkap basah oleh mata wartawan, mobil cepat-cepat
putar arah dan kembali ke LPK Cipinang.
Bagaimana bisa terjadi begitu?
"Dulu orang hukuman, zaman masih disebut orang buian, harus
menjebol tembok jika berniat melarikan diri, "kata RA Koesnoen,
57, bekas Dirjen Bina Tuna Warga (BTW) yang punya pengalaman
dari zaman bui, penjara sampai LP. "Tapi sekarang, tampaknya,
lebih mudah: bersekongkol saja dengan para petugas," katanya.
Dulu, ketika peraturan bagi pesakitan masih 'kejam'
paling-paling napi memanfaatkan ijin berobat di luar tembok.
Itupun peraturannya bukan main. Selama pergi dan berada di
rumahsakit tetap dikawal keras.
"Sekarang," kata Koesnoen, "sistim pemasyarakatan, dengan
tujuannya yang baik, memberi kelonggaran lebih banyak." Ada
cuti, ada asimilasi - pergaulan dengan orang di luar secara luas
-- dan ada kerja di luar tembok. Malah bagi napi terpercaya,
setelah menjalani masa hukuman tertentu dan berkelakuan baik,
dapat mencari nafkah di luar tembok di siang hari dan kembali ke
LP malam harinya.
Namun sistim pemasyarakatan itu, seperti diakui Dirjen BTW yang
sekarang, Ibnu Sutanto SH, "tak lebih masih berupa
kelonggaran-kelonggaran semacam itu." Dan akibatnya, "lebih
banyak negatifnya daripada mendekati tujuannya --
memasyarakatkan kembali narapidana." Ibnu mengakui, "kelonggaran
sistim pemenjaraan, dalam bentuk pemasyarakatan, telah
dimanfaatkan oleh napi secara tidak benar."
Tapi yang memanfaatkannya tidak hanya napi. Dengan sikap
memberlakukan napi secara lunak, petugas telah mengobyekkan
sistim itu untuk kepentingan kantong sendiri.
Lihat saja kasus Donald dan David kembali. Bisakah mereka
memperoleh perlakuan istimewa tanpa memberikan imbalan apa-apa?
Siapapun, tak kurang dari Dirjen BTW sendiri, tentu menduga ada
hubungan apa-apa antara napi asing itu dengan petugas LP.
Memanfaatkan kelonggaran bagi napi dan mengobyekkan sistim oleh
petugas, memang mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang
bertaraf 'berhahaya'. Yang kecil-kecilan dan tidak begitu
berbahaya. misalnya, seperti praktek pungutan yang dikenakan
bagi pengunjung LP.
Begini: Bezuklah keluarga, atau kawan, yang kebetulan bernasib
menghuni LPK Cipinang. Langkah pertama, harus menyediakan lebih
dulu uang pecahan ratusan. Kalau tidak, bisa repot, deh. Harun
Musawa dari TEMPO telah mencobanya. Mula-mula, di loket
penerimaan tamu, untuk memperoleh surat kunjungan, harus
diangsurkan kepada petugas sedikitnya Rp 100 . ("Lebih juga
terimakasih," kata petugasqya). Begitu memasuki tembok tebal,
setelah diterima oleh penjaga, pengunjung harus memasukkan lagi
Rp 100 ke sebuah kotak kuning.
Kunjungan dilakukan di sebuah aula. Memasuki aula dicegat oleh
petugas dengan permintaan "uang administrasi, pak!". Berapa?
"Biasanya Rp 100, lebih juga baik." Lalu petuhas lain, yang
menanyakan siapa napi yang akan dibezuk, minta Rp 100 lagi untuk
'ongkos pemanggilan'. Jadi sedikitnya Rp 400 untuk dapat
mengunjungi seorang napi di LPK Cipinang pada bari dan jam
kunjungan yang ditentukan. Jika peluit tanda jam kunjungan sudah
berakhir, dan napi serta pengunjungnya belum puas melepas rindu,
petugas dapat saja memperpanjang. Bayar saja Rp 100 lagi kepada
petugas yang meniup sempritan.
Kunjungan di luar hari dan jam yang ditentukan, boleh saja.
Hanya saja tarifnya di pintu gerbang agak lebih banyak. Di sini
kunjungan lebih 'privat' sebah dilakukan di ruang tamu yang
tidak berisik. Tarif yang lebih tinggi bagi perlakuan yaug
lebih istimewa. Ada seorang tahanan dengan tuduhan perkara uang
palsu, ditempatkan satu ruangan dengan narapidana. Aturannya:
tahanan dan napi, walaupun tetap di lingkungan LPK Cipinang,
penempatannya harus terpisah. Tempat tahanan lebih buruk dari
barak napi. Entah berapa rupiah lagi 'sewa' ruangan yang harus
dibayar si tahanan supaya ke ruang napi.
Kalau di penjara Kalisosok, Surabaya, tarif untuk pindah kamar
begitu menurut seorang petugas, secara pasti bisa sampai Rp 100
ribu.
Ekses-ekses semacam itu memberangkan Dirjen. Ia baru-baru ini
memutuskan bahwa kelonggaran -- dengan alasan untuk pengetrapan
pemasyarakatan sekalipun - tak akan terus dapat dinikmati oleh
napi. "Sekarang jangan harap lagi," kata Dirjen BTW Ibnu Suanto
SH di kantornya, jalan Veteran. Jakarta. "Segala kelonggaran,
seperti asimilasi dengan dunia luar, cuti, pembebasan sebelum
masanya (PRT prerelease treatment) sejak bulan Juli saya
hapuskan tanpa kecuali."
Bukankah kelonggaran-kelonggaran tersebut tercakup dalam sistim
pemasyarakatan? "Ya, tapi sekkarang apa boleh buat," kata Ibnu
lagi. Agaknya sekarang ini, setelal menurut banyak ekses buruk
sistim itu, yang perlu bukan pendekatan pemasyarakatan lagi
dalam menyantuni para napi. "Tapi, sekarang, pendekatan jelas
harus segi sekuriti."
Dengan sikapnya itu, yang sudah disebarluaskan ke seluruh LP
bawahan, Ibnu terang berani mengambil risiko: dikecam
mengembalikan sistim pemasyarakatan menjadi penjara alias bui
kembali. Bachruddin Suryobroto ahli Penologi dan dosen FISUI,
"bisa mengerti sikap yang demikian itu." Sebab, "sistim
pemasyarakatan sekarang ini memang baru berbentuk pemberian
kelonggaran di LP." Yang dipraktekkan di atas kata Bachruddin,
merupakan kekeliruan besar dari ide pemasyarakatan. Dr. Sahardjo
almarhum, pencetus ide pemasyarakatan bagi napi 14 tahun silam,
tentunya punya tujuan lebih luas dari hanya sekedar memberikan
kelonggaran tok. Apalagi jika kemudian diobyehkan orang. Maka
sambil mengerti ketegasan sikap Dirjen BTW, Bachruddin bertanya:
"Lalu bagaimana penyelesaiannya - agar sistim pemasyarakatan
tidak hanya berarti kelonggarannya?"
Ibnu Sutanto, yang sedang mengatakan peraturan, belum lagi
dapat berpikir untuk menjawab pertanyaan semacam itu. "Sampai
kapan? Lihat saja nanti, masih lama, .... sampai begitu pinter
mengenai sistim pemasyarakatannya," katanya.
Dari Medan, Direktur LP drs. Sanusi Has, sebagai pelaksana ide
pemasyarakatan di LP-nya, tentu akan menerima dan mentaati
peraturan baru atasannya. Cuma, kalau ia boleh menilai, kejadian
di Cipinang dan Denpasar baru-baru ini "bukan kecelakaan" dari
sistim pemasyarakatan yang memang banyak memberikan kelonggaran.
Sanusi merasa lebih tepat menyebut peristiwa itu sebagai
"penyimpangan peraturan." Dan "kalau memang prosentase
penyimpangannya sangat menonjol, perlu diadakan penelitian:
apakah sistimnya yang salah?". Meskipun aturan ketat bagi napi
itu mungkin bersifat sementara, tapi "bukan tak mungkin akan
mengakibatkan hal-hal yang negatif di LP," kata Sanusi.
Pandangan Sanusi dari Medan ini mungkin betul. Apalagi bila para
pimpinan LP, seterimanya surat Dirjen, menterjemahkannya dalam
bentuk pertemuan keras dan ketat.
Akibat lanjut terbukti dari sikap napi sendiri. Seperti apa yang
diucapkan salah seorang penghuni Cipinang: "Gara-gara petugas
lalai, sampai ada hapi yang buron, apakah hak-hak napi yang baik
harus dikorbankan begitu saja?" Ada lagi yang protes: "Mengapa
PRT ikut dihapuskan? Peraturan itu menjadi llarapan kami untuk
berbuat baik di sini agar cepat bebas."
Dalam peraturan baru, pembebasan bersyarat bagi yang sudah
menjalani hukuman lebih dari 2/3 bagian dan berkelakuan baik
(VI), sebenarnya masih diberlakukan. "Hanya lebih ketat,"
seperti kata Ibnu Sutanto. Tapi, karena sikap keras petugas,
napi merasa haknya yang dijamin undang-undang ikut terhapus.
Sasaran kemarahan napi, kini, tidak hanya kepada rekan yang
buron saja. "Kalau yang kabur, misalnya si Oka itu, ditempatkan
kembali di Cipinan ini, ia bisa dibunuh ramai-ramai," ujar
seorang napi kesal. Tapi para petugas juga sudah jadi sasaran
pelototan mata penuh dendam. Kalau tak cepat ditangani,
bisa-bisa lebih berabe lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini