Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jika ratibin hendak dapat arisan

Upacara kawin gantung antara subadi, 21, manduri, 8, di srampat lamongan. potret dikirim oleh chamdi dan dimuat di harian pelita. para pejabat di lamongan tersinggung, chamdi dituduh memfitnah.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENINGGALKAN adat kebiasaan memang tak semudah menukar baju. Seperti upacara kawin-gantung atau gantung-kawin. Kebiasaan ini memang masih hidup di beberapa kalangan masyarakat kita. Yaitu: upacara mengikatkan jodoh anak-anaknya sejak pasangan itu masih di bawah umur. Ada yang menganggap ikatan semacam itu hanya upacara pertunangan semata. Namun sebagian ada yang menjalankan upacara lebih jauh lagi. Yaitu langsung menikahkan pasangan belia itu sehingga sah menuruh hukum agama Islam. Selain pasangan demikian tetap menjalankan hidup terpisah perkawinan mereka memang belum diakui sah oleh hukum negara yang berlaku yaitu U.U. Perkawinan. Mereka belum berhak memiliki buku-nikah yang dikeluarkan oleh pejabat pencatat nikah -- yang sekarang ini sedang keras-kerasnya mempraktekkan hukum dari Undang-Undang Perkawinan yang baru. Harian Pelita bulan lalu, di halaman pertama, memajang foto pasangan pengantin yang dapat menarik perhatian. Pemuda Subadi, 21, berdiri berdampingan dengan mempelainya, Manduri, yang baru berumur 8 tahun. Pasangan dari dukuh Srampat, Lamongan (Jawa Timur) ini, memang berpakaian pengantin lengkap. Upacara perkawinan pasangan muda ini, 24 Juni lalu, bahkan diselenggarakan secara meriah. Pasangan mempelai dihias sempurna menurut ukuran di sana. Mereka juga didudukkan di kursi berhias yang disebut puade. Tamu yang hadir juga lengkap: mulai dari pak Camat, pemuka desa sampai para tetangga. Maklum yang 'mantu' kali ini orang terpandang. Ayah angkat pengantin wanita, Ratibin, adalah Kepala Dukuh Srampat. Sedang besannya, ayah Subadi, adalah kamituo (staf lurah) Kasmun. Pesta pun dimeriahkan dengan langen-tayub alias gambyong. Tersinggung Perias kedua pengantin itu adalah nyonya Chamdi. Dan yang memotret peristiwa itu Chamdi sendiri - pemilik ruamah-potret El Rina. Tukang potret inilah, yang kemudian mengirimkan potret pengantin Srampat itu ke koran. Lantas saja, setelah koran Pelita memuat potret itu, pejabat di Srampat hingga atasannya di Lamongan jadi kalang-kabut. Karena hadir di resepsi yang diselenggarakan oleh bawahannya, Camat Soekiran jadi tidak enak hati. "Seolah-olah saya merestui pernikahan yang melanggar undang-undang," gerutu pak Camat. Pejabat Pemda Lamongan tersinggung. "Seakan-akan masyarakat daerah ini melanggar undang-undang aan perkawinan di bawah umur itu dapat menyinggung martabat bangsa kita," sambut Kusminun, Kepala Subdit Sospol Lamongan. Pihak Kantor Urusan Agama (KUA) tak kalah kalang-kabut pula. Namun setelah diusut ternyata 'pernikahan' Subadi & Manduri tak pernah tercatat di KUA - tentu saja, namanya juga cuma kawin-gantung, yang di sana lazim disebut: ngrowa. Malah pihak tentara dan kepolisian Lamongan juga turut sibuk mengusut ini dan itu untuk ikut menjernihkan wajah daerahnya dari anggapan 'masih ketinggalan zaman.' Pembantu TEMPO Slamet Oerip Prihadi, dari Surabaya melaporkan duduk persoalannya seperti berikut. Di Dukuh Srampat, seperti dukuhdukuh lainnya sekitar Lamongan, memang ada kebiasaan penduduk yang unik. Penduduk mengadakan semacam arisan yang hanya diselenggarakan jika ada pesta atau hajatan. Maksudnya tentu baik-baik saja. Sebab penyelenggara pesta, yang berhak menarik arisan, akan merasa terbantu membiayai hajat pestanya. Tiap peserta arisan mengumpulkan uangnya seharga 1« gram emas. Dalam urutan penarik arisan, Kepala Dukuh Ratibin memperoleh giliran menarik nomor 3. Kapan Ratibin berhak menarik arisannya? Tentu ia harus menunggu sampai ia menyelenggarakan sesuatu pesta lebih dulu. Rupanya kepala dukuh ini sudah ngebet hendak menarik, hingga ia mencari dalih yang jitu. Lalu ia merencanakan saja menikahkan anak angkatnya, yang masih jauh di bawah umur, sekedar untuk alasan membuat pesta. Kamituo Kasmun, calon besan,' juga tak keberatan menyediakan anaknya untuk menjadi mempelai pria. Mula-mula Ratibin hendak menikahkan anak angkatnya secara resmi saja. Tapi, menurut keterangan KUA, permohonannya ditolak oleh pejabat pencatat nikah. Alasannya, sudah tentu, usia Manduri masih jauh dari memenuhi syarat undang-undang. Ratibin tak kehilangan akal untuk mencapai maksudnya menyelenggarakan suatu pesta. Bukankah ada adat kawin-gantung alias ngrowa yang tak usah mempedulikan penghulu segala macam? Memfitnah Pesta pun berlangsung. Pak Camat pun hadir dengan alasan adat semata. Yang meributkannya, menurut Camat Soekiran, "seperti tidak tahu adat kebiasaan di sini saja." Alhasil maksud Ratibin tercapai. Dari pesta kawin-gantung anak angkatnya ia berhasil menarik arisan: Rp 220 ribu. Nah sekarang, kapan Ratibin hendak mencatatkan pernikahan anaknya ke KUA? "Yah, kira-kira 7 tahun yang akan datang, kalau anak saya sudah cukup umur," jawab Ratibin kalem. Tinggallah Chamdi si juru potret El Rina jadi sasaran kejengkelan pejabat daerah yang merasa tersinggung. Rupanya ulah Ratibin dan besannya tak begitu dapat dipersalahkan - apa boleh buat, adat masih berlaku demikian. Tapi tersiarnya foto 'pengantin' itu, agaknya, masih dianggap menyinggung nama baik daerah. Itulah sebabnya Kepala KUA setempat, Abdullah, sampai meneruskan urusan ini jadi perkara polisi. Ia mengadukan Chamdi ke kantor kepolisian setempat dengan tuduhan: memberitakan yang tak semestinya dan memfitnah. Siapa yang terfitnah - nama aik kabupaten Lamongankah? Belum jelas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus