MENINGGALKAN adat kebiasaan memang tak semudah menukar baju.
Seperti upacara kawin-gantung atau gantung-kawin. Kebiasaan ini
memang masih hidup di beberapa kalangan masyarakat kita. Yaitu:
upacara mengikatkan jodoh anak-anaknya sejak pasangan itu masih
di bawah umur. Ada yang menganggap ikatan semacam itu hanya
upacara pertunangan semata.
Namun sebagian ada yang menjalankan upacara lebih jauh lagi.
Yaitu langsung menikahkan pasangan belia itu sehingga sah
menuruh hukum agama Islam. Selain pasangan demikian tetap
menjalankan hidup terpisah perkawinan mereka memang belum
diakui sah oleh hukum negara yang berlaku yaitu U.U. Perkawinan.
Mereka belum berhak memiliki buku-nikah yang dikeluarkan oleh
pejabat pencatat nikah -- yang sekarang ini sedang
keras-kerasnya mempraktekkan hukum dari Undang-Undang Perkawinan
yang baru.
Harian Pelita bulan lalu, di halaman pertama, memajang foto
pasangan pengantin yang dapat menarik perhatian. Pemuda Subadi,
21, berdiri berdampingan dengan mempelainya, Manduri, yang baru
berumur 8 tahun. Pasangan dari dukuh Srampat, Lamongan (Jawa
Timur) ini, memang berpakaian pengantin lengkap. Upacara
perkawinan pasangan muda ini, 24 Juni lalu, bahkan
diselenggarakan secara meriah. Pasangan mempelai dihias sempurna
menurut ukuran di sana. Mereka juga didudukkan di kursi berhias
yang disebut puade. Tamu yang hadir juga lengkap: mulai dari pak
Camat, pemuka desa sampai para tetangga. Maklum yang 'mantu'
kali ini orang terpandang. Ayah angkat pengantin wanita,
Ratibin, adalah Kepala Dukuh Srampat. Sedang besannya, ayah
Subadi, adalah kamituo (staf lurah) Kasmun. Pesta pun
dimeriahkan dengan langen-tayub alias gambyong.
Tersinggung
Perias kedua pengantin itu adalah nyonya Chamdi. Dan yang
memotret peristiwa itu Chamdi sendiri - pemilik ruamah-potret El
Rina. Tukang potret inilah, yang kemudian mengirimkan potret
pengantin Srampat itu ke koran.
Lantas saja, setelah koran Pelita memuat potret itu, pejabat di
Srampat hingga atasannya di Lamongan jadi kalang-kabut. Karena
hadir di resepsi yang diselenggarakan oleh bawahannya, Camat
Soekiran jadi tidak enak hati. "Seolah-olah saya merestui
pernikahan yang melanggar undang-undang," gerutu pak Camat.
Pejabat Pemda Lamongan tersinggung. "Seakan-akan masyarakat
daerah ini melanggar undang-undang aan perkawinan di bawah umur
itu dapat menyinggung martabat bangsa kita," sambut Kusminun,
Kepala Subdit Sospol Lamongan. Pihak Kantor Urusan Agama (KUA)
tak kalah kalang-kabut pula. Namun setelah diusut ternyata
'pernikahan' Subadi & Manduri tak pernah tercatat di KUA - tentu
saja, namanya juga cuma kawin-gantung, yang di sana lazim
disebut: ngrowa. Malah pihak tentara dan kepolisian Lamongan
juga turut sibuk mengusut ini dan itu untuk ikut menjernihkan
wajah daerahnya dari anggapan 'masih ketinggalan zaman.'
Pembantu TEMPO Slamet Oerip Prihadi, dari Surabaya melaporkan
duduk persoalannya seperti berikut.
Di Dukuh Srampat, seperti dukuhdukuh lainnya sekitar Lamongan,
memang ada kebiasaan penduduk yang unik. Penduduk mengadakan
semacam arisan yang hanya diselenggarakan jika ada pesta atau
hajatan. Maksudnya tentu baik-baik saja. Sebab penyelenggara
pesta, yang berhak menarik arisan, akan merasa terbantu
membiayai hajat pestanya. Tiap peserta arisan mengumpulkan
uangnya seharga 1« gram emas.
Dalam urutan penarik arisan, Kepala Dukuh Ratibin memperoleh
giliran menarik nomor 3. Kapan Ratibin berhak menarik arisannya?
Tentu ia harus menunggu sampai ia menyelenggarakan sesuatu pesta
lebih dulu. Rupanya kepala dukuh ini sudah ngebet hendak
menarik, hingga ia mencari dalih yang jitu. Lalu ia merencanakan
saja menikahkan anak angkatnya, yang masih jauh di bawah umur,
sekedar untuk alasan membuat pesta. Kamituo Kasmun, calon
besan,' juga tak keberatan menyediakan anaknya untuk menjadi
mempelai pria.
Mula-mula Ratibin hendak menikahkan anak angkatnya secara resmi
saja. Tapi, menurut keterangan KUA, permohonannya ditolak oleh
pejabat pencatat nikah. Alasannya, sudah tentu, usia Manduri
masih jauh dari memenuhi syarat undang-undang. Ratibin tak
kehilangan akal untuk mencapai maksudnya menyelenggarakan suatu
pesta. Bukankah ada adat kawin-gantung alias ngrowa yang tak
usah mempedulikan penghulu segala macam?
Memfitnah
Pesta pun berlangsung. Pak Camat pun hadir dengan alasan adat
semata. Yang meributkannya, menurut Camat Soekiran, "seperti
tidak tahu adat kebiasaan di sini saja." Alhasil maksud Ratibin
tercapai. Dari pesta kawin-gantung anak angkatnya ia berhasil
menarik arisan: Rp 220 ribu. Nah sekarang, kapan Ratibin hendak
mencatatkan pernikahan anaknya ke KUA? "Yah, kira-kira 7 tahun
yang akan datang, kalau anak saya sudah cukup umur," jawab
Ratibin kalem.
Tinggallah Chamdi si juru potret El Rina jadi sasaran
kejengkelan pejabat daerah yang merasa tersinggung. Rupanya ulah
Ratibin dan besannya tak begitu dapat dipersalahkan - apa boleh
buat, adat masih berlaku demikian. Tapi tersiarnya foto
'pengantin' itu, agaknya, masih dianggap menyinggung nama baik
daerah. Itulah sebabnya Kepala KUA setempat, Abdullah, sampai
meneruskan urusan ini jadi perkara polisi. Ia mengadukan Chamdi
ke kantor kepolisian setempat dengan tuduhan: memberitakan yang
tak semestinya dan memfitnah. Siapa yang terfitnah - nama aik
kabupaten Lamongankah? Belum jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini