Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Setelah kaburnya sejumlah orang ... anda mau lari dari penjara ?

Kelonggaran di lp memberi kesempatan napi kabur. petugas melakukan pungli. pengalaman napi yang kabur dan merampok lagi. lp kalisosok terkecoh oleh ulah rony siswanto. perlu uu pemasyarakatan.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jangan mengira buhwa memperlakukan manusia seperti binatang di krangkengan mencegah kriminalitet jangan mengira bahwa perbaikan-perbaikan akan menjadi lux yang membikin narapidana jadi krasan di penjara. Dr. Sahardjo, bekas Menteri Kehakiman RI. LALU bagaimana memperlakukan narapidana yang sebaiknya? Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja terus terang telah minta fakta dan petunjuk masyarakat: bagaimana sebenarnya perlakuan Lembaga Pemasyarakatan (LP), yang dulu disebut penjara alias bui, terhadap para narapidana? Apa yang terjadi di LP Denpasar baru-baru ini - dengan kaburnya dua napi asing - memukul nama baik Dep. Kehakiman. "Korps Pemasyarakatan kesal dan malu," kata Menteri. Donald Ahern Andrew (48) dan David Allan Riffe (36), pilot dan ko-pilot warganegara Inggeris dan AS, adalah napi kelas berat bagi LP Denpasar dan cabangnya LP Amlapura di Karangasem. Donald Andrew harus menjalani hukum 17 tahun ditambah denda Rp 20 juta. Riffe lebih ringan sedikit: 7 tahun penjara dengan denda yang sama. Mereka terbukti bersalah, seperti keputusan hakim Pebruari 1977, telah mengangkut ganja lebih dari 664 kg dalam pesawat Cessnanya. Perlakuan petugas LP terhadap dua napi ini sungguh istimewa. Di LP Denpasar, walaupun masih tinggal di lingkungan penjara, Andrew menempati ruang khusus: semacam paviliun. Pintu keluar masuknya juga tak terjangkau oleh mata penjaga dan gardu penjagaan. Ia bebas seperti di rumahnya sendiri. Boleh makan di warung setiap jam makan Boleh keluyuran, belanja dan piknik. Sampai tidur di luar pun tak mengundang kecurigaan para petugas. Riffe di Amlapura mendapat perlakuan yang sama. Ia juga bisa keluyuran sembarang waktu, dengan sepeda motornya, keliling pulau dewata. Ia memang menarik perhatian: boleh dibilang ahli permesinan. Karya pertamanya, sebagai orang istimewa titipan Direktur LP Denpasar Putu Benoem SH, Riffe merawat mobil Direktur LP Amlapura Susanta. Berikutnya ia menjual jasa - untuk memperoleh perlakuan lebih luas lagi dengan mereparasi mesin penyosohan beras, huller, di luar tembok. Setelah itu iapun berjanji: akan mereparasi semua mesin penyosohan beras di seluruh Kabupaten Karangasem. Itu sudah dilakukannya. Sudah 6 buah huller berjalan baik berkat tangannya yang cekatan itu. Tapi keleluasaan dan kelonggaran perlakuan itu berkat sistim pemasyarakatan yang sedang diterapkan di LP-memberi Donald dan David kesempatan emas untuk kabur (TEMPO, 23 Juli). Tidak hanya orang kulit putih yang memperoleh kesempatan 'bagus' begitu. Ingat: Hie Kie Seng alias HKS? Itu pemuda, 34, sebenarnya seorang napi yang harus tinggal di LPK Cipinang. Ia terhukum untuk perkara 'imigran gelap'. Tapi, 23 April malam lalu, ia tiba-tiba mati tertembak pistol jaksa di jalan Gunung Sahari, depan MBAL, Jakarta. Seorang napi mati, tertembak di luar tembok, tentu saja jadi perkara. Jaksa Agung Ali Said berkenan memberikan penghargaan kepada petugas jaksa yang, katanya menang 'duel' dengan HKS. Tapi Direktur LPK Cipinang, apa boleh buat, terpaksa ditindak oleh atasannya. Rupanya HKS memang cukup punya kesempatan untuk keluyuran. Ia memang dapat izin khusus untuk keluar tembok untuk mengurus kasasinya ke pengadilan. Direktur LPK Cipinang, waktu itu Sugiantoro, sudah memerintahkan anak buahnya agar segera menarik kembali HKS begitu selesai urusannya di luar. Tapi entah mengapa perintah sang direktur tidak diindahkan. Dan Sugiantoro, yang tentu tahu perintahnya tidak jalan, tidak bertindak keras. HKS memang sudah dekat waktu pembebasannya. Dua hari setelah peristiwa penembakan, sebenarnya HKS sudah dapat memperoleh kebebasannya kembali. Tapi ia mati dan Sugiantoro kena getahnya. Belum lagi sebulan peristiwa HKS-ketahuan seorang napi lolos lagi dari LPK Cipinang. Kali itu yang lolos seorang perampok. Ceritanya seru juga. Ia adalah Oka Gunawan alias Pek Gwan (lihat box). Ia dihukum di LPK Cipinang, 5 tahun penjara, karena terbukti melakukan kejahatan erampokan. Selama 3 tahun di penjara, menurut suatu dewan di sana, napi ini terhitung berkelakuan baik. Karena itu Oka dipercayai untuk bekerja di luar tembok, meski pun masih tetap di bawah pengawasan petugas bersenjata api. Tanggal 12 Pebruari lalu Oka bertugas membersihkan halaman dan kebun di sekitar tembok penjara. Singkat cerita, ketika pengawal lengah, Oka segera melarikan diri. Begitu gampang? Memang. Malah ada kisah yang lebih menarik diceritakan oleh petugas penjara yang tak mau disebutkan namanya. Kabarnya Direktur LPK sebenarnya tak mengijinkan Oka bekerja di luar tembok. Tapi Oka, yang sudah rindu menghirup udara terbuka, punya akal. Ia berhasil membujuk salah seorang petugas untuk 'menyelundupkannya' ke luar tembok. Pada saat Sugiantoro meneken surat izin bekerja di luar tembok bagi beberapa orang napi, nama Oka - entah siapa yang menyelundupkan -- tiba-tiba saja tercantum. Sugiantoro kabarnya, secara sadar, tak pernah meneken surat izin kerja-luar bagi napi Oka. Apapun ceritanya, Oka sudah terlanjur kabur. Polisi sudah dilapori. Tapi mereka tak berhasil membekuk kembali sang buronan. Oka baru tertangkap kembali setelah lebih dahulu membuat kegaduhan: awal Mei, bersama seorang rekan, Oka melakukan pekerjaan lamanya. Ia merampok toko emas Kota Jaya di depan bioskop Roxy, Jakarta. Aksinya berhasil digagalkan oleh dua orang alat negara yang dibantu massa. Ia babak belur dikeroyok orang, setelah lebih dulu berhasil melukai kepala seorang tentara dengan hantaman pistolnya. Ia ditahan di Komdak Metro Jaya. Nah, di sinilah baru ketahuan: perampok ini, memang bernama Oka, dan buronan dari Cipinang. Tidak itu saja. Ternyata ia juga pelaku perampokan toko emas Gaya Baru di Jembatan Lima, Jakarta, 22 Pebruari sebelumnya. Jadi selama buron dari bui Oka ini dapat bekerja sampai dua kali. Kasus lolosnya tokoh-tokoh tadi dari LP menjadi sorotan orang. Ya, karena mereka membuat kegaduhan. Seandainya mereka agak tenang sedikit, cukup hanya menikmati kcknggaran-kelonggaran dari sistim pemasyarakatan di penjara, mungkin nasib mereka akan lebih baik. Contoh? Banyak. Para napi, penghuni LP yang kebetulan kelas teri atau tongpes, dapat bercerita banyak. Katanya, dan ini sudah jadi rahasia umum, napi-napi tertentu tak pernah merasa terkurung. Ada yang kelihatan oleh rekan senapi cuma 3 bulan sekali masuk LP untuk seminggu lamanya. Selma seminggu itupun mereka santai: mondar mandir ke kantor direktur, ngobrol. pinjam telepon. Bahkan ada wartawan yang pernah melihat seorang napi - seorang penting yang dihukum karena korupsi - tampak semobil dengan keluarganya. Karena tertangkap basah oleh mata wartawan, mobil cepat-cepat putar arah dan kembali ke LPK Cipinang. Bagaimana bisa terjadi begitu? "Dulu orang hukuman, zaman masih disebut orang buian, harus menjebol tembok jika berniat melarikan diri, "kata RA Koesnoen, 57, bekas Dirjen Bina Tuna Warga (BTW) yang punya pengalaman dari zaman bui, penjara sampai LP. "Tapi sekarang, tampaknya, lebih mudah: bersekongkol saja dengan para petugas," katanya. Dulu, ketika peraturan bagi pesakitan masih 'kejam' paling-paling napi memanfaatkan ijin berobat di luar tembok. Itupun peraturannya bukan main. Selama pergi dan berada di rumahsakit tetap dikawal keras. "Sekarang," kata Koesnoen, "sistim pemasyarakatan, dengan tujuannya yang baik, memberi kelonggaran lebih banyak." Ada cuti, ada asimilasi - pergaulan dengan orang di luar secara luas -- dan ada kerja di luar tembok. Malah bagi napi terpercaya, setelah menjalani masa hukuman tertentu dan berkelakuan baik, dapat mencari nafkah di luar tembok di siang hari dan kembali ke LP malam harinya. Namun sistim pemasyarakatan itu, seperti diakui Dirjen BTW yang sekarang, Ibnu Sutanto SH, "tak lebih masih berupa kelonggaran-kelonggaran semacam itu." Dan akibatnya, "lebih banyak negatifnya daripada mendekati tujuannya -- memasyarakatkan kembali narapidana." Ibnu mengakui, "kelonggaran sistim pemenjaraan, dalam bentuk pemasyarakatan, telah dimanfaatkan oleh napi secara tidak benar." Tapi yang memanfaatkannya tidak hanya napi. Dengan sikap memberlakukan napi secara lunak, petugas telah mengobyekkan sistim itu untuk kepentingan kantong sendiri. Lihat saja kasus Donald dan David kembali. Bisakah mereka memperoleh perlakuan istimewa tanpa memberikan imbalan apa-apa? Siapapun, tak kurang dari Dirjen BTW sendiri, tentu menduga ada hubungan apa-apa antara napi asing itu dengan petugas LP. Memanfaatkan kelonggaran bagi napi dan mengobyekkan sistim oleh petugas, memang mulai dari yang kecil-kecilan sampai yang bertaraf 'berhahaya'. Yang kecil-kecilan dan tidak begitu berbahaya. misalnya, seperti praktek pungutan yang dikenakan bagi pengunjung LP. Begini: Bezuklah keluarga, atau kawan, yang kebetulan bernasib menghuni LPK Cipinang. Langkah pertama, harus menyediakan lebih dulu uang pecahan ratusan. Kalau tidak, bisa repot, deh. Harun Musawa dari TEMPO telah mencobanya. Mula-mula, di loket penerimaan tamu, untuk memperoleh surat kunjungan, harus diangsurkan kepada petugas sedikitnya Rp 100 . ("Lebih juga terimakasih," kata petugasqya). Begitu memasuki tembok tebal, setelah diterima oleh penjaga, pengunjung harus memasukkan lagi Rp 100 ke sebuah kotak kuning. Kunjungan dilakukan di sebuah aula. Memasuki aula dicegat oleh petugas dengan permintaan "uang administrasi, pak!". Berapa? "Biasanya Rp 100, lebih juga baik." Lalu petuhas lain, yang menanyakan siapa napi yang akan dibezuk, minta Rp 100 lagi untuk 'ongkos pemanggilan'. Jadi sedikitnya Rp 400 untuk dapat mengunjungi seorang napi di LPK Cipinang pada bari dan jam kunjungan yang ditentukan. Jika peluit tanda jam kunjungan sudah berakhir, dan napi serta pengunjungnya belum puas melepas rindu, petugas dapat saja memperpanjang. Bayar saja Rp 100 lagi kepada petugas yang meniup sempritan. Kunjungan di luar hari dan jam yang ditentukan, boleh saja. Hanya saja tarifnya di pintu gerbang agak lebih banyak. Di sini kunjungan lebih 'privat' sebah dilakukan di ruang tamu yang tidak berisik. Tarif yang lebih tinggi bagi perlakuan yaug lebih istimewa. Ada seorang tahanan dengan tuduhan perkara uang palsu, ditempatkan satu ruangan dengan narapidana. Aturannya: tahanan dan napi, walaupun tetap di lingkungan LPK Cipinang, penempatannya harus terpisah. Tempat tahanan lebih buruk dari barak napi. Entah berapa rupiah lagi 'sewa' ruangan yang harus dibayar si tahanan supaya ke ruang napi. Kalau di penjara Kalisosok, Surabaya, tarif untuk pindah kamar begitu menurut seorang petugas, secara pasti bisa sampai Rp 100 ribu. Ekses-ekses semacam itu memberangkan Dirjen. Ia baru-baru ini memutuskan bahwa kelonggaran -- dengan alasan untuk pengetrapan pemasyarakatan sekalipun - tak akan terus dapat dinikmati oleh napi. "Sekarang jangan harap lagi," kata Dirjen BTW Ibnu Suanto SH di kantornya, jalan Veteran. Jakarta. "Segala kelonggaran, seperti asimilasi dengan dunia luar, cuti, pembebasan sebelum masanya (PRT prerelease treatment) sejak bulan Juli saya hapuskan tanpa kecuali." Bukankah kelonggaran-kelonggaran tersebut tercakup dalam sistim pemasyarakatan? "Ya, tapi sekkarang apa boleh buat," kata Ibnu lagi. Agaknya sekarang ini, setelal menurut banyak ekses buruk sistim itu, yang perlu bukan pendekatan pemasyarakatan lagi dalam menyantuni para napi. "Tapi, sekarang, pendekatan jelas harus segi sekuriti." Dengan sikapnya itu, yang sudah disebarluaskan ke seluruh LP bawahan, Ibnu terang berani mengambil risiko: dikecam mengembalikan sistim pemasyarakatan menjadi penjara alias bui kembali. Bachruddin Suryobroto ahli Penologi dan dosen FISUI, "bisa mengerti sikap yang demikian itu." Sebab, "sistim pemasyarakatan sekarang ini memang baru berbentuk pemberian kelonggaran di LP." Yang dipraktekkan di atas kata Bachruddin, merupakan kekeliruan besar dari ide pemasyarakatan. Dr. Sahardjo almarhum, pencetus ide pemasyarakatan bagi napi 14 tahun silam, tentunya punya tujuan lebih luas dari hanya sekedar memberikan kelonggaran tok. Apalagi jika kemudian diobyehkan orang. Maka sambil mengerti ketegasan sikap Dirjen BTW, Bachruddin bertanya: "Lalu bagaimana penyelesaiannya - agar sistim pemasyarakatan tidak hanya berarti kelonggarannya?" Ibnu Sutanto, yang sedang mengatakan peraturan, belum lagi dapat berpikir untuk menjawab pertanyaan semacam itu. "Sampai kapan? Lihat saja nanti, masih lama, .... sampai begitu pinter mengenai sistim pemasyarakatannya," katanya. Dari Medan, Direktur LP drs. Sanusi Has, sebagai pelaksana ide pemasyarakatan di LP-nya, tentu akan menerima dan mentaati peraturan baru atasannya. Cuma, kalau ia boleh menilai, kejadian di Cipinang dan Denpasar baru-baru ini "bukan kecelakaan" dari sistim pemasyarakatan yang memang banyak memberikan kelonggaran. Sanusi merasa lebih tepat menyebut peristiwa itu sebagai "penyimpangan peraturan." Dan "kalau memang prosentase penyimpangannya sangat menonjol, perlu diadakan penelitian: apakah sistimnya yang salah?". Meskipun aturan ketat bagi napi itu mungkin bersifat sementara, tapi "bukan tak mungkin akan mengakibatkan hal-hal yang negatif di LP," kata Sanusi. Pandangan Sanusi dari Medan ini mungkin betul. Apalagi bila para pimpinan LP, seterimanya surat Dirjen, menterjemahkannya dalam bentuk pertemuan keras dan ketat. Akibat lanjut terbukti dari sikap napi sendiri. Seperti apa yang diucapkan salah seorang penghuni Cipinang: "Gara-gara petugas lalai, sampai ada hapi yang buron, apakah hak-hak napi yang baik harus dikorbankan begitu saja?" Ada lagi yang protes: "Mengapa PRT ikut dihapuskan? Peraturan itu menjadi llarapan kami untuk berbuat baik di sini agar cepat bebas." Dalam peraturan baru, pembebasan bersyarat bagi yang sudah menjalani hukuman lebih dari 2/3 bagian dan berkelakuan baik (VI), sebenarnya masih diberlakukan. "Hanya lebih ketat," seperti kata Ibnu Sutanto. Tapi, karena sikap keras petugas, napi merasa haknya yang dijamin undang-undang ikut terhapus. Sasaran kemarahan napi, kini, tidak hanya kepada rekan yang buron saja. "Kalau yang kabur, misalnya si Oka itu, ditempatkan kembali di Cipinan ini, ia bisa dibunuh ramai-ramai," ujar seorang napi kesal. Tapi para petugas juga sudah jadi sasaran pelototan mata penuh dendam. Kalau tak cepat ditangani, bisa-bisa lebih berabe lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus