SIAPA yang tak kenal penjara Kalisosok di Surabaya? Temboknya
setebal bui Cipinang di Jakarta. Pintu gerbangnya kukuh dari
selapis besi. Pengawalnya bersenjata selalu tampak siap di gardu
jaga, di antara tembok berkawat duri. "Tapi betapapun angkernya
bui," kata Koesnoen, pensiunan petugas penjara tiga zaman, "tak
sulit bagi penghuninya untuk lolos." Tak jarang ada napi nekad
loncat tembok berduri ketika lengah pengawalnya. "Bahkan dengan
seikat sapu lidi, seperti yang pernah saya alami sendiri di bui
Yogya, narapidana dapat menjebol tembok yang tebal," kisah
Koesnoen, eks Dirjen BTW.
Tapi zaman sekarang, ketika bui disebut dengan Lembaga
Pemasyarakatan ternyata untuk kabur dari Kalisosok lebih mudah
dari apa yang digampangkan Koesnoen.
Entah sudah berapa banyak yang kabur dari Kalisosok. Tapi yang
istimewa terjadi terakhir ini. Mereka lolos lewat pintu gerbang
secara terang. Malah dilepas hangat oleh para penjaganya. Pundak
para buronan ini, barangkali, juga ditepok-tepok para petugas
yang melepasnya dengan ucapan "selamat jalan". Mereka yang lolos
secara lenggang-kangkung itu -- tapi tertangkap kembali - ialah
Asmat, Raharjo dan Lukito. Yang berhasil sembunyi hingga kini
buronan Agustinus.
Siapa otak yang mengatur lolosnya mereka? Tak lain juga seorang
napi. Dan segala sesuatunya diatur dari balik tembok tebal.
Ia bernama Ronny Siswanto. Ia penghuni LP Kalisosok untuk masa
hukuman 4 tahun. Ia, oleh pengadilan, dinyatakan terbukti
melakukan kejahatan penipuan beromzet jutaan rupiah. April tahun
depan, mestinya, ia sudah boleh bebas. Tapi perkara barunya
mungkin akan menambah masa hukumannya.
Ronny memang punya hubungan baik dengan petugas. Ia selalu
dibiarkan keluyuran keluar masuk kantor LP. Bahkan seorang
petugas LP, bernama M, malah membiarkan Ronny mengutak-atik
segala kertas di meja kerjanya. Padahal kertas yang ada di meja
M itu bukan main pentingnya: berapa lama seseorang napi harus
mendekam di Kalisosok, itu ditentukan oleh kertas-kertas di meja
M.
Kertas-kertas itu adalah lembaran vonis, atau keputusan
pengadilan, yang menyebutkan lama dan sinkatnya masa hukuman.
Dari ruang kerja M inilah Ronny punya fikiran: jika saja ia
dapat mengganti isi vonis, dengan merubah angka masa hukuman,
bukankah ada napi (yang ingin cepat bebas) mau membayarnya
mahal? Ide itu, menurut keterangan Sardjiman, Kepala Wilayah BTW
Jawa Timur, tidak hanya disimpan di kepala saja oleh Ronny.
Ide ini ditawarkan kepada beberapa orang yang dipercayainya, dan
tentu saja yang mampu membayarnya mahal. Menurut keterangan
Sardjiman, "sejak bulan April sampai rerbongkar, 5 Juni, sudah 8
surat vonis yang dipalsukannya." Kecurangan yang demikian
biasanya hanya dapat dilakukan oleh petugas. Makanya,
"kejahatan demikian memang baru bagi saya," kata Sardjiman
kepada pembantu TEMPO Slamet Oerip Pribadi di Surabaya.
Tapi suatu hari M, Kepala Bagian Pendaftaran yang mengurusi
surat vonis, melihat hidung napi Lukito di luar tembok. Sebagai
petugas yang pernah menerima masuknya napi ini, M heran: menurut
akalnya, Lukito seharusnya belum bebas. Sampai di kantor ia
melakukan pengecekan. Vonis yang ada dibacanya berkali-kali:
Lukito memang sudall harus bebas sebab masa hukumannya yang 7
bulan sudah habis. Tapi M masih lebih mempercayai ingatannya:
Lukito mestinya belum waktunya bebas.
Petugas ini pun lalu mencocokkan kertas vonis yang ada di
kantornya dengan arSlp di pengadilan. Nah, baru ketahuan: Lukito
memang harus di LP sampai 20 bulan -- bukan 7 bulan. Jadi jelas,
vonis yang ada di tangan M sudah dipalsukan orang.
Tapi kasus lolosnya Asmat, Raharjo dan Agustinus dapat
terbongkar atas kewaspadaan orang di luar tembok. Rupanya ada
orang, mungkin lawan yang dirugikan oleh penipuan Raharjo, yang
melihat napi ini di luar LP sebelum waktunya, orang ini lalu
melaporkan 'kebebasan' Raharjo kepada Kejaksaan Negeri setempat.
Usut punya usut, ternyata, Raharjo dkk lolos dari tembok
Kalisosok yang angker itu dengan berbekal vonis yang sudah
dipalsukan.
Dari ketiga napi yang tertangkap kembali dari buron tak sulit
lagi mencari siapa dalang mereka. Ronny pun tak dapat mengelak.
Menurut Kabag II Kejari Surabaya, Tabrani, vonis palsu itu
dijual oleh Ronny dengan harga yang tak seragam. "Tergantung
dari panjang pendeknya masa hukuman," katanya.
Untuk yang semacam Lukito - yang harus mendekam 20 bulan dan
minta dirubah jadi 7 bulan -- Ronny memperoleh uang jasa Rp 200
ribu.
Mengapa Ronny tak memanfaatkan kelihayan memalsu vonis untuk
dirinya sendiri? Rupanya napi bekas pedagang tekstil ini sudah
terlanjur kerasan di LP Kalisosok Penjara ini tak angker
baginya. Malah ia punya 'bisnis istimewa di dalam, yang
menghasilkan cukup banyak uang, dan membuat waktunya habis di
sana tidak percuma. Rupanya ia juga termasuk pengatur 'penjual'
kamar bagi napi yang menginginkan kamar lebih baik dari yang
disediakan oleh petugas.
Begini. Misalnya ada cukong, atau direktur suatu perusahaan,
yang merasa tidak krasan tinggal dan tidur bersama napi yang
jorok - apalagi kurang ajar sikapnya. Mereka tentu ingin pindah
kamar. Walaupun tak diperoleh yang istimewa, cukuplah asal
bersama napi yang sopan, bersih dan dari kalangan tertentu.
Nah, Romly dkk dapat mengaturnya dengan petugas. Tarifnya?
Macam-macam, dan bisa sampai Rp 100 ribu.
Sardjiman membenarkan ada praktek begitu di LP wilayahnya,
itulah sebabnya sekarang, Sardjiman pun hendak membatasi
kelonggaran yang diberikan petugasnya kepada para napi.
Misalnya: napi tak boleh dijadikan pesuruh untuk bagian-bagian
penting -- seperti di ruang kerja M tempo hari, bagian
pendaftaran, keuangan dan lain-lain.
Memang perlakuan bagi napi sekarang ini, di samping ditentukan
oleh berbagai instruksi dan surat edaran atasan, banyak juga
yang bergantung pada kebijaksanaan petugas LP sendiri. Semacam
peraturan rumah tangga LP sendiri, begitulah. Jadi, peraturan
intern memang, tak seragam antara LP Cipinang dengan Kalisosok
atau LP lainnya.
Batasan-batasan pokoknya memang berasal dari komando atasan.
Tapi dari atas sendiri, seperti kata Ditjen BTW Ibnu Sutamto
"masih berdasarkan instruksi dan surat edaran yang masih belum
teratur." Di tangan Ibnu sekarang ada lebih dari 1000
surat-edaran dan instruksi yang jadi pegangan LP. "Ada yang
dobel, ada yang bertentangan dan ada pula yang kabur," katanya.
Keadaan yang semrawut ini, menurut Ibnu, juga menentukan
ketidak-beresan pelaksanaan sistim pemasyarakatan di LP seperti
yang diinginkan mendiang Shardjo.
Lho, apa kabar Undang-Undang Pemasyarakatan yang pernah di RUU
kan?
"Ya, saya juga tanya: apa kabar, nih?" ujar Ibnu. Agaknya, walau
pun sudah 14 tahun isi hati Sahardjo dicurahkan di depan
Presiden (waktu itu) Sukarno belum juga ide itu terwujud dalam
UU.
Karena itu, kelihatannya, BTW masih bekerja apa adanya saja.
"Bentuk LP masih saja tetap arsitektur bui - bertembok tebal,
berkawat duri dan berterali besi," kata Ibnu.
Dengan sarana fisik yang demikian, menurut ahli penologi
Bachruddin, sistim pemasyarakatan tinggal menjadi ide tanpa
bentuk. Klasirikasi napi, menurut pelaku dan motifnya, belum
dapat dijalankan. Bahkan, seperti diketahui campur-aduknya napi
dari berbagai tingkat dan latarbelakang tidak mencerminkan
tujuan: bahwa LP harus membina napi dan mengurangi jumlah serta
kadar kejahatan.
Kwalitas petugas, menurut Ibnu "juga belum cukup untuk
mempraktekan ide pemasyarakatan." Mudah disuap? Tidak semuanya.
"Tapi sebelum saya jadi Dirjen, saya sudah tahu ada praktek
begitu -- tapi sulit menindaknya jika belum berfakta," jawab
Ibnnu. Hanya jika sudah jelas seperti kasus di Bali atau
Jakarta, "saya tak ragu-ragu menggeser atau mengusulkan
penurunan pangkat bahkan mengusut secara hukum."
Yang masih kurang melegakan meski cerita lama, ialah soal biaya
makan napi. Sejak Repelita I kalori buat napi memang sudah
susut hampir separoh kebutuhan. Ini juga tak mendukung keinginan
merubah bui jadi LP. Kepala LP Medan, Sanudi, terus terang
menyatakan: "makanan bagi napi sekarang ini lebih buruk daripada
penjara aman penjajahan dahulu." Tak salah jika orang lalu
berbisik: apakah dalam perkara makan ini, zaman LP kalah dari
zaman bui?
Kalau keadaannya memang runyam begitu - sementara LP harus
tetap menampung napi dan tahanan -- siapa yang akan mencoba ikut
mengatur? Arif Cosita, dari Lembaga Kriminologi FH-UI, kontan
menunjuk hakim. "Hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan calon
terhukum, kemampuan badan dan jiwa si terhukum, sebelum
memutuskan berapa lama ia akan menjebloskan seseorang ke
penjara."
Sebab, menurut Ari, masih banyak hakim yang berfikir
legalistis: untuk membalas kejahatannya, seseorang diganjar
hukuman sekian tahun penjara, karena ancaman hukumannya menurut
KUHP toh tingginya sekian tahun. Putusan demikian tanpa
dilandasi pertimbangan, tentang pembinaan apa yang dapat
dilakukan LP, selama si terhukum mendekam di sana dalam suasana
serba kurang.
Dan inilah kata pengacara kenamaan Yap Thiam Hien, dalam diskusi
tentang tahanan 28 Juli lalu: "Kalau LP atau tempat tahanan
lain tak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menerima tahanan
atau narapidana, sebaiknya polisi, jaksa dan hakim tidak terlalu
mudah menjebloskan orang ke sana."
Ya, apalagi hutang beras BTW sebanyak Rp 200 juta lebih belum
tebayar!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini