Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Berdagang Vonis Palsu

Rony Siswanto,penghuni LP Kalisosok Surabaya memalsukan vonis, merubah lama hukuman napi di meja petugas untuk memperoleh imbalan. Beberapa napi lolos sebelum waktunya. UU pemasyarakatan belum terwujud.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang tak kenal penjara Kalisosok di Surabaya? Temboknya setebal bui Cipinang di Jakarta. Pintu gerbangnya kukuh dari selapis besi. Pengawalnya bersenjata selalu tampak siap di gardu jaga, di antara tembok berkawat duri. "Tapi betapapun angkernya bui," kata Koesnoen, pensiunan petugas penjara tiga zaman, "tak sulit bagi penghuninya untuk lolos." Tak jarang ada napi nekad loncat tembok berduri ketika lengah pengawalnya. "Bahkan dengan seikat sapu lidi, seperti yang pernah saya alami sendiri di bui Yogya, narapidana dapat menjebol tembok yang tebal," kisah Koesnoen, eks Dirjen BTW. Tapi zaman sekarang, ketika bui disebut dengan Lembaga Pemasyarakatan ternyata untuk kabur dari Kalisosok lebih mudah dari apa yang digampangkan Koesnoen. Entah sudah berapa banyak yang kabur dari Kalisosok. Tapi yang istimewa terjadi terakhir ini. Mereka lolos lewat pintu gerbang secara terang. Malah dilepas hangat oleh para penjaganya. Pundak para buronan ini, barangkali, juga ditepok-tepok para petugas yang melepasnya dengan ucapan "selamat jalan". Mereka yang lolos secara lenggang-kangkung itu -- tapi tertangkap kembali - ialah Asmat, Raharjo dan Lukito. Yang berhasil sembunyi hingga kini buronan Agustinus. Siapa otak yang mengatur lolosnya mereka? Tak lain juga seorang napi. Dan segala sesuatunya diatur dari balik tembok tebal. Ia bernama Ronny Siswanto. Ia penghuni LP Kalisosok untuk masa hukuman 4 tahun. Ia, oleh pengadilan, dinyatakan terbukti melakukan kejahatan penipuan beromzet jutaan rupiah. April tahun depan, mestinya, ia sudah boleh bebas. Tapi perkara barunya mungkin akan menambah masa hukumannya. Ronny memang punya hubungan baik dengan petugas. Ia selalu dibiarkan keluyuran keluar masuk kantor LP. Bahkan seorang petugas LP, bernama M, malah membiarkan Ronny mengutak-atik segala kertas di meja kerjanya. Padahal kertas yang ada di meja M itu bukan main pentingnya: berapa lama seseorang napi harus mendekam di Kalisosok, itu ditentukan oleh kertas-kertas di meja M. Kertas-kertas itu adalah lembaran vonis, atau keputusan pengadilan, yang menyebutkan lama dan sinkatnya masa hukuman. Dari ruang kerja M inilah Ronny punya fikiran: jika saja ia dapat mengganti isi vonis, dengan merubah angka masa hukuman, bukankah ada napi (yang ingin cepat bebas) mau membayarnya mahal? Ide itu, menurut keterangan Sardjiman, Kepala Wilayah BTW Jawa Timur, tidak hanya disimpan di kepala saja oleh Ronny. Ide ini ditawarkan kepada beberapa orang yang dipercayainya, dan tentu saja yang mampu membayarnya mahal. Menurut keterangan Sardjiman, "sejak bulan April sampai rerbongkar, 5 Juni, sudah 8 surat vonis yang dipalsukannya." Kecurangan yang demikian biasanya hanya dapat dilakukan oleh petugas. Makanya, "kejahatan demikian memang baru bagi saya," kata Sardjiman kepada pembantu TEMPO Slamet Oerip Pribadi di Surabaya. Tapi suatu hari M, Kepala Bagian Pendaftaran yang mengurusi surat vonis, melihat hidung napi Lukito di luar tembok. Sebagai petugas yang pernah menerima masuknya napi ini, M heran: menurut akalnya, Lukito seharusnya belum bebas. Sampai di kantor ia melakukan pengecekan. Vonis yang ada dibacanya berkali-kali: Lukito memang sudall harus bebas sebab masa hukumannya yang 7 bulan sudah habis. Tapi M masih lebih mempercayai ingatannya: Lukito mestinya belum waktunya bebas. Petugas ini pun lalu mencocokkan kertas vonis yang ada di kantornya dengan arSlp di pengadilan. Nah, baru ketahuan: Lukito memang harus di LP sampai 20 bulan -- bukan 7 bulan. Jadi jelas, vonis yang ada di tangan M sudah dipalsukan orang. Tapi kasus lolosnya Asmat, Raharjo dan Agustinus dapat terbongkar atas kewaspadaan orang di luar tembok. Rupanya ada orang, mungkin lawan yang dirugikan oleh penipuan Raharjo, yang melihat napi ini di luar LP sebelum waktunya, orang ini lalu melaporkan 'kebebasan' Raharjo kepada Kejaksaan Negeri setempat. Usut punya usut, ternyata, Raharjo dkk lolos dari tembok Kalisosok yang angker itu dengan berbekal vonis yang sudah dipalsukan. Dari ketiga napi yang tertangkap kembali dari buron tak sulit lagi mencari siapa dalang mereka. Ronny pun tak dapat mengelak. Menurut Kabag II Kejari Surabaya, Tabrani, vonis palsu itu dijual oleh Ronny dengan harga yang tak seragam. "Tergantung dari panjang pendeknya masa hukuman," katanya. Untuk yang semacam Lukito - yang harus mendekam 20 bulan dan minta dirubah jadi 7 bulan -- Ronny memperoleh uang jasa Rp 200 ribu. Mengapa Ronny tak memanfaatkan kelihayan memalsu vonis untuk dirinya sendiri? Rupanya napi bekas pedagang tekstil ini sudah terlanjur kerasan di LP Kalisosok Penjara ini tak angker baginya. Malah ia punya 'bisnis istimewa di dalam, yang menghasilkan cukup banyak uang, dan membuat waktunya habis di sana tidak percuma. Rupanya ia juga termasuk pengatur 'penjual' kamar bagi napi yang menginginkan kamar lebih baik dari yang disediakan oleh petugas. Begini. Misalnya ada cukong, atau direktur suatu perusahaan, yang merasa tidak krasan tinggal dan tidur bersama napi yang jorok - apalagi kurang ajar sikapnya. Mereka tentu ingin pindah kamar. Walaupun tak diperoleh yang istimewa, cukuplah asal bersama napi yang sopan, bersih dan dari kalangan tertentu. Nah, Romly dkk dapat mengaturnya dengan petugas. Tarifnya? Macam-macam, dan bisa sampai Rp 100 ribu. Sardjiman membenarkan ada praktek begitu di LP wilayahnya, itulah sebabnya sekarang, Sardjiman pun hendak membatasi kelonggaran yang diberikan petugasnya kepada para napi. Misalnya: napi tak boleh dijadikan pesuruh untuk bagian-bagian penting -- seperti di ruang kerja M tempo hari, bagian pendaftaran, keuangan dan lain-lain. Memang perlakuan bagi napi sekarang ini, di samping ditentukan oleh berbagai instruksi dan surat edaran atasan, banyak juga yang bergantung pada kebijaksanaan petugas LP sendiri. Semacam peraturan rumah tangga LP sendiri, begitulah. Jadi, peraturan intern memang, tak seragam antara LP Cipinang dengan Kalisosok atau LP lainnya. Batasan-batasan pokoknya memang berasal dari komando atasan. Tapi dari atas sendiri, seperti kata Ditjen BTW Ibnu Sutamto "masih berdasarkan instruksi dan surat edaran yang masih belum teratur." Di tangan Ibnu sekarang ada lebih dari 1000 surat-edaran dan instruksi yang jadi pegangan LP. "Ada yang dobel, ada yang bertentangan dan ada pula yang kabur," katanya. Keadaan yang semrawut ini, menurut Ibnu, juga menentukan ketidak-beresan pelaksanaan sistim pemasyarakatan di LP seperti yang diinginkan mendiang Shardjo. Lho, apa kabar Undang-Undang Pemasyarakatan yang pernah di RUU kan? "Ya, saya juga tanya: apa kabar, nih?" ujar Ibnu. Agaknya, walau pun sudah 14 tahun isi hati Sahardjo dicurahkan di depan Presiden (waktu itu) Sukarno belum juga ide itu terwujud dalam UU. Karena itu, kelihatannya, BTW masih bekerja apa adanya saja. "Bentuk LP masih saja tetap arsitektur bui - bertembok tebal, berkawat duri dan berterali besi," kata Ibnu. Dengan sarana fisik yang demikian, menurut ahli penologi Bachruddin, sistim pemasyarakatan tinggal menjadi ide tanpa bentuk. Klasirikasi napi, menurut pelaku dan motifnya, belum dapat dijalankan. Bahkan, seperti diketahui campur-aduknya napi dari berbagai tingkat dan latarbelakang tidak mencerminkan tujuan: bahwa LP harus membina napi dan mengurangi jumlah serta kadar kejahatan. Kwalitas petugas, menurut Ibnu "juga belum cukup untuk mempraktekan ide pemasyarakatan." Mudah disuap? Tidak semuanya. "Tapi sebelum saya jadi Dirjen, saya sudah tahu ada praktek begitu -- tapi sulit menindaknya jika belum berfakta," jawab Ibnnu. Hanya jika sudah jelas seperti kasus di Bali atau Jakarta, "saya tak ragu-ragu menggeser atau mengusulkan penurunan pangkat bahkan mengusut secara hukum." Yang masih kurang melegakan meski cerita lama, ialah soal biaya makan napi. Sejak Repelita I kalori buat napi memang sudah susut hampir separoh kebutuhan. Ini juga tak mendukung keinginan merubah bui jadi LP. Kepala LP Medan, Sanudi, terus terang menyatakan: "makanan bagi napi sekarang ini lebih buruk daripada penjara aman penjajahan dahulu." Tak salah jika orang lalu berbisik: apakah dalam perkara makan ini, zaman LP kalah dari zaman bui? Kalau keadaannya memang runyam begitu - sementara LP harus tetap menampung napi dan tahanan -- siapa yang akan mencoba ikut mengatur? Arif Cosita, dari Lembaga Kriminologi FH-UI, kontan menunjuk hakim. "Hakim seharusnya mempertimbangkan keadaan calon terhukum, kemampuan badan dan jiwa si terhukum, sebelum memutuskan berapa lama ia akan menjebloskan seseorang ke penjara." Sebab, menurut Ari, masih banyak hakim yang berfikir legalistis: untuk membalas kejahatannya, seseorang diganjar hukuman sekian tahun penjara, karena ancaman hukumannya menurut KUHP toh tingginya sekian tahun. Putusan demikian tanpa dilandasi pertimbangan, tentang pembinaan apa yang dapat dilakukan LP, selama si terhukum mendekam di sana dalam suasana serba kurang. Dan inilah kata pengacara kenamaan Yap Thiam Hien, dalam diskusi tentang tahanan 28 Juli lalu: "Kalau LP atau tempat tahanan lain tak mempunyai kemampuan yang cukup untuk menerima tahanan atau narapidana, sebaiknya polisi, jaksa dan hakim tidak terlalu mudah menjebloskan orang ke sana." Ya, apalagi hutang beras BTW sebanyak Rp 200 juta lebih belum tebayar!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus