Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Simpati rekan-rekan sumarjo

Beberapa sopir bis di tulungagung, jawa timur melakukan aksi solidaritas atas tertembaknya rekan mereka, sumarjo, oleh seorang oknum POM-Abri, serda chairul anwar. (hk)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Simpati rekan-rekan sumarjo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIRUK-pikuk di terminal bis antarkota Tulungagung, Jawa Timur, seolah terhenti. Ratusan penumpang yang hendak bepergian Rabu pekan lalu, terpaksa membatalkan niatnya. Tak ada bis masuk terminal. Kalaupun ada, para pengemudi dan kernet yang terkadang saling sikut berebut rezeki, kali itu tak bergairah. "Kami hendak melayat," kata mereka. Lalu tancap gas menuju Mojokerto. Hari itu mereka berkabung. Seorang rekan mereka, Sumarjo, 41 tahun, pengemudi bis Harapan Jaya meninggal sehari sebelumnya karena tertembak peluru seorang oknum POM-ABRI. Berita itu sangat mengejutkan mereka. Sebab yang mereka tahu, Sumarjo sedang berada di tangan polisi Kosek Balangbendo Mojokerto. Istri Sumarjo, Rubiatin, 27 uhun, yang beranak empat dan sedang mengandung anaknya ke-5 lebih terkejut mendengar berita itu meski sejak 29 Juli suaminya itu tak pernah pulang. "Tapi saya pikir ia memang sedang mengurus soal kecelakaan itu," ujar Rubiatin. Memang, petang hari setelah Sumarjo meninggalkan rumah hari itu, Rubiatin diberitahu Sugiyo Pranoto, pengusaha bis tempat suaminya bekerja sejak 3 tahun lalu, bahwa Sumarjo tak bisa pulang karena urusan kecelakaan lalu lintas. Rupanya itu hari naas bagi Sumarjo. Bis yang ia kemudikan nomor Polisi AG 4931 UK jurusan Surabaya-Kediri Tulungagung, menabrak sebuah sepeda motor nomor Polisi L 5864 FR yang dinaiki Serda POM-ABRI Fathurrachman di bilangan Bakung, Desa Tumungguran, Balongbendo. Daerah ini memang dikenal rawan oleh para pengemudi karena sering terjadi kecelakaan. Korban luka berat dan dilarikan ke rumah sakit Mariono Singgih, Mojokerto. Menurut Kol. Pol. Jacky Mardono, Asisten Operasi Kodak X Ja-Tim, korban meninggal keesokan harinya. Siapa yang salah, "masih dalam penelitian." Sumarjo, setelah mengetahui korbannya luka berat, apalagi dia itu ABRI, panik dan segera kabur. Namun keesokan hatinya, ia diantar adik iparnya Mulyono, seorang anggota Marinir TNI-AL. ke Kosek Balungbendo. Dari situ Sumarjo diboyong ke Kores Sidoarjo, yang membawahkan daerah terjadinya kecelakaan. Rupanya rekan korban di kesatuan POM-ABRI Mojokerto mengetahui Sumarjo ada di tangan polisi. Segera, 3 Agustus lalu, dua orang petugas POM-ABRI dengan jip terbuka menjemput Sumarjo. Pengambilan itu, menurut Kadapol X Mayjen Pol. Pamoedji kepada TEMPO, memang dimungkinkan karena adanya koneksitas. Artinya, dalam suatu kasus yang menyangkut sipil dan anggota ABRI, POM-ABRI bisa ikut mengusut. Dalam hal ini, "POM-ABRI Mojokerto berniat memeriksa, karena korbannya anggota ABRI." Letkol CPM Sonny Baksono, Humas Laksusda Ja-Tim, menyatakan hal yang sama. Tapi mengapa Sumarjo sampai tertembak? Menurut Sonny, dalam perjalanan dari Sidoarjo ke Mojokerto, Sumarjo duduk di belakang. Tiba di dukuh Basuk, Balungbendo, jip terbuka itu mengurangi kecepatan karena jalan rusak, lalu berhenti sebentar. Sewaktu jip berangkat kembali, tiba-tiba saja Sumarjo melompat, lalu lari ke arah sawah. Pengawal melepaskan tembakan peringatan dua kali. Sumarjo rupanya tak menghiraukan. Tembakan ketiga diarahkan ke kaki pelarian yang berstatus tahanan itu. Namun karena sasarannya bergerak, peluru mengenai lambung. Dan Sumarjo, kata Sonny, tetap tak menggubris. Apa boleh buat, peluru yang keempat menghajar tengkuknya dan Sumarjo tersungkur di tanah. Menikah tahun 1974, Sumarjo hanya meninggalkan sebuah rumah setengah tembok yang belum rampung di Desa Panggungrejo, Kauman, Tulungagung, bagi istri dan anak-anaknya. "Kami tak punya sumber kehidupan lain," tuturnya ia tampak berusaha menekan kesusahan. "Saya ingin melahirkan dengan selamat lebih dulu," kata Rubiatin. Tak kalah terkejut adalah Mulyono, adik iparnya yang tempo hari mengantarkan Sumarjo dalam keadaan segar bugar. Ketika Selasa sore, 3 Agustus, ia hendak menengok, "ternyata Sumarjo sudah terbaring di kamar mayat rumah sakit Sidoarjo." Berita itu segera saja sampai ke telinga para pengemudi bis, yang lalu melakukan aksi solidaritas. Tak hanya di Tulungagung, pengemudi bis di Kediri dan Surabaya juga banyak yang turut menunjukkan simpati. Mereka menolak penumpang, dan hanya mengangkut rekan-rekan lain yang berniat melayat Sumarjo. Hal ini membuat Rubiatin agak terhibur. Bis-bis itu menuju rumah Sumarjo. Tapi begitu mendengar kabar bahwa jenazah tak dikubur di sana, para pengemudi bis segera menuju Bangsalsari, Mojokerto, kampung asal korban yang jaraknya sekitar 100 km dari Tulungagung. Supaya istrinya tidak tambah schock, Sumarjo diputuskan dimakamkan di sana. "Pemakamannya merupakan yang paling ramai dalam sejarah desa kami," tutur seorang penduduk, bekas tetangga Sumarjo. Akan halnya si penembak, Serda CPM Chairul Anwar, "meski dia melakukan itu selagi menjalankan tugas, ia tetap akan diperiksa. Sebab, apakah sudah tepat ia menggunakan senjata api sampai korban meninggal dunia," tutur Letkol Sonny. Penjelasan ini membuat suasana panas di kalangan pengemudi dan kernet bis mereda. Esok harinya, angkutan bis normal kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus