HIRUK-pikuk di terminal bis antarkota Tulungagung, Jawa Timur,
seolah terhenti. Ratusan penumpang yang hendak bepergian Rabu
pekan lalu, terpaksa membatalkan niatnya. Tak ada bis masuk
terminal. Kalaupun ada, para pengemudi dan kernet yang terkadang
saling sikut berebut rezeki, kali itu tak bergairah. "Kami
hendak melayat," kata mereka. Lalu tancap gas menuju Mojokerto.
Hari itu mereka berkabung. Seorang rekan mereka, Sumarjo, 41
tahun, pengemudi bis Harapan Jaya meninggal sehari sebelumnya
karena tertembak peluru seorang oknum POM-ABRI. Berita itu
sangat mengejutkan mereka. Sebab yang mereka tahu, Sumarjo
sedang berada di tangan polisi Kosek Balangbendo Mojokerto.
Istri Sumarjo, Rubiatin, 27 uhun, yang beranak empat dan sedang
mengandung anaknya ke-5 lebih terkejut mendengar berita itu
meski sejak 29 Juli suaminya itu tak pernah pulang.
"Tapi saya pikir ia memang sedang mengurus soal kecelakaan itu,"
ujar Rubiatin. Memang, petang hari setelah Sumarjo meninggalkan
rumah hari itu, Rubiatin diberitahu Sugiyo Pranoto, pengusaha
bis tempat suaminya bekerja sejak 3 tahun lalu, bahwa Sumarjo
tak bisa pulang karena urusan kecelakaan lalu lintas.
Rupanya itu hari naas bagi Sumarjo. Bis yang ia kemudikan nomor
Polisi AG 4931 UK jurusan Surabaya-Kediri Tulungagung, menabrak
sebuah sepeda motor nomor Polisi L 5864 FR yang dinaiki Serda
POM-ABRI Fathurrachman di bilangan Bakung, Desa Tumungguran,
Balongbendo. Daerah ini memang dikenal rawan oleh para pengemudi
karena sering terjadi kecelakaan.
Korban luka berat dan dilarikan ke rumah sakit Mariono Singgih,
Mojokerto. Menurut Kol. Pol. Jacky Mardono, Asisten Operasi
Kodak X Ja-Tim, korban meninggal keesokan harinya. Siapa yang
salah, "masih dalam penelitian."
Sumarjo, setelah mengetahui korbannya luka berat, apalagi dia
itu ABRI, panik dan segera kabur. Namun keesokan hatinya, ia
diantar adik iparnya Mulyono, seorang anggota Marinir TNI-AL. ke
Kosek Balungbendo.
Dari situ Sumarjo diboyong ke Kores Sidoarjo, yang membawahkan
daerah terjadinya kecelakaan. Rupanya rekan korban di kesatuan
POM-ABRI Mojokerto mengetahui Sumarjo ada di tangan polisi.
Segera, 3 Agustus lalu, dua orang petugas POM-ABRI dengan jip
terbuka menjemput Sumarjo.
Pengambilan itu, menurut Kadapol X Mayjen Pol. Pamoedji kepada
TEMPO, memang dimungkinkan karena adanya koneksitas. Artinya,
dalam suatu kasus yang menyangkut sipil dan anggota ABRI,
POM-ABRI bisa ikut mengusut. Dalam hal ini, "POM-ABRI Mojokerto
berniat memeriksa, karena korbannya anggota ABRI." Letkol CPM
Sonny Baksono, Humas Laksusda Ja-Tim, menyatakan hal yang sama.
Tapi mengapa Sumarjo sampai tertembak? Menurut Sonny, dalam
perjalanan dari Sidoarjo ke Mojokerto, Sumarjo duduk di
belakang. Tiba di dukuh Basuk, Balungbendo, jip terbuka itu
mengurangi kecepatan karena jalan rusak, lalu berhenti sebentar.
Sewaktu jip berangkat kembali, tiba-tiba saja Sumarjo melompat,
lalu lari ke arah sawah. Pengawal melepaskan tembakan peringatan
dua kali. Sumarjo rupanya tak menghiraukan.
Tembakan ketiga diarahkan ke kaki pelarian yang berstatus
tahanan itu. Namun karena sasarannya bergerak, peluru mengenai
lambung. Dan Sumarjo, kata Sonny, tetap tak menggubris. Apa
boleh buat, peluru yang keempat menghajar tengkuknya dan Sumarjo
tersungkur di tanah.
Menikah tahun 1974, Sumarjo hanya meninggalkan sebuah rumah
setengah tembok yang belum rampung di Desa Panggungrejo,
Kauman, Tulungagung, bagi istri dan anak-anaknya. "Kami tak
punya sumber kehidupan lain," tuturnya ia tampak berusaha
menekan kesusahan. "Saya ingin melahirkan dengan selamat lebih
dulu," kata Rubiatin.
Tak kalah terkejut adalah Mulyono, adik iparnya yang tempo hari
mengantarkan Sumarjo dalam keadaan segar bugar. Ketika Selasa
sore, 3 Agustus, ia hendak menengok, "ternyata Sumarjo sudah
terbaring di kamar mayat rumah sakit Sidoarjo."
Berita itu segera saja sampai ke telinga para pengemudi bis,
yang lalu melakukan aksi solidaritas. Tak hanya di Tulungagung,
pengemudi bis di Kediri dan Surabaya juga banyak yang turut
menunjukkan simpati. Mereka menolak penumpang, dan hanya
mengangkut rekan-rekan lain yang berniat melayat Sumarjo. Hal
ini membuat Rubiatin agak terhibur. Bis-bis itu menuju rumah
Sumarjo. Tapi begitu mendengar kabar bahwa jenazah tak dikubur
di sana, para pengemudi bis segera menuju Bangsalsari,
Mojokerto, kampung asal korban yang jaraknya sekitar 100 km
dari Tulungagung. Supaya istrinya tidak tambah schock, Sumarjo
diputuskan dimakamkan di sana. "Pemakamannya merupakan yang
paling ramai dalam sejarah desa kami," tutur seorang penduduk,
bekas tetangga Sumarjo.
Akan halnya si penembak, Serda CPM Chairul Anwar, "meski dia
melakukan itu selagi menjalankan tugas, ia tetap akan diperiksa.
Sebab, apakah sudah tepat ia menggunakan senjata api sampai
korban meninggal dunia," tutur Letkol Sonny.
Penjelasan ini membuat suasana panas di kalangan pengemudi dan
kernet bis mereda. Esok harinya, angkutan bis normal kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini