MENTERI Kehakiman Mudjono berkata "Tak ada dalil yang
membenarkan persekutuan pengadilan dengan suap." Pernyataan
tersebut -- karena dilemparkan sambil bergurau disambut tawa dan
tepuk tangan para anggota DPR. Tapi dengan guraunya itu Menteri
Kehakiman hendak mempertanyakan: mengapa RUU (Rancangan
Undang-Undang) tentang suap di bidang olahraga belum dapat
disahkan? Sementara UU lain, tentang pembentukan Pengadilan
Tinggi Yogyakarta, Palangkaraya dan Tanjungkarang yang RUU-nya
diajukan bersama-sama Juli lalu, dapat lebih dulu terbit.
Tak begitu pentingkah UU suap olahraga? "Saya hanya mendukung
dan menyalurkan aspirasi masyarakat," ujar Mudjono kepada TEMPO,
RUU, katanya, dibikin dan diajukan untuk memenuhi desakan
masyarakat. Terutama kalangan olahraga seperti PSSI dan KONI.
Agar si penyuap, si atlet dan yang terlibat suap-menyuap lainnya
dapat dihukum.
Sebab, seperti selama ini terlihat, petugas hukum di sana-sini
tampak ragu-ragu bertindak. Penegak hukum di Jakarta, misalnya,
tak menemukan pasal KUHP yang cocok untuk menuntut beberapa
penyuap pemain sepakbola Merdeka Games (1978) yang dilaporkan
oleh Ketua Umum PSSI H. Ali Sadikin.
Kejaksaan di Padang memang pernah membawa beberapa atlet PSP
(Persatuan Sepakbola Padang) dan penyuapnya ke pengadilan. Tapi,
karena tuduhan berdasarkan pasal perjudian gelap ternyata tak
begitu pas, pengadilan hanya mengenakan hukuman masa percobaan
bagi para tertuduh (TEMPO, 12 Juli).
Pun terhadap TBH, pengusaha dari Semarang, belum jelas lagi
pasal mana yang hendak dikenakan. Pengusaha judi atau "permainan
ketangkasan" Kim tersebut disangka menyuap pemain PS Mandala.
Belum lama ini ia ditangkap, ditahan, kemudian dikirim ke
Jakarta.
Memang perlu kepastian hukum. Itu sebabnya, setelah melalui
beberapa kali rapat kerja dengan berbagai pihak, Departemen
Kehakiman dapat mengajukan RUU anti suap khusus yang berkenaan
dengan olahraga. Diusulkan agar tercantum dalam bab "Kejahatan
Terhadap Kesopanan" (Bab XIV KUHP), sebagai tambahan pasal 303
tentang perjudian gelap, suap-menyuap sekitar kegiatan olahraga
kelak boleh disebut sebagai "tindak pidana".
Ancamannya cukup berat. Si penyuap dapat dikenai hukuman penjara
lima tahun dan denda sampai Rp 10 juta. Bagi wasit, pelatih,
pembina yang terlibat dapat dihukum penjara selama-lamanya tiga
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp 6 juta. Sedangkan atlet,
yang menurut anggapan hanya sebagai "korban", diancam hukuman
seberat-beratnya dua tahun penjara atau denda maksimal Kp 2
juta.
Tapi, di luar dugaan Menteri Mudjono, DPR menunda pembicaraan
tentang RUU tersebut. Siapa pula penghambatnya? Ternyata FKP
(Fraksi Karya Pembangunan). "Tapi, tak benar kami menolak RUU
anti suap tersebut," kata jurubicara FKP Sulaiman Tjakrawiguna.
Fraksinya, kata jubir tadi, "hanya minta agar rumusannya
disempurnakan."
Dengan RUU yang sekarang, kata Sulaiman, FKP mencemaskan
perkembangan olahraga. Hukuman dua tahun penjara yang dapat
dikenakan terhadap atlet, katanya, hanya menakut-nakuti pemain
yang kebetulan kalah bertanding jangan-jangan disangka menerima
suap dan dituntut ke pengadilan.
Apa konsep perubahan yang diinginkan FKP akan dikemukakan dalam
pemandangan umum minggu ini. Kalangan PSSI, yang tak keberatan
salah seorang pemainnya masuk penjara bila memang terbukti
menerima suap, tak dapat menduga-duga apa yang dimaui FKP. Ali
Sadikin malah kaget mendengar penolakan FKP: "Masak iya . . . ?"
Menteri Kehakiman juga angkat bahu. Kekhawatiran FKP, katanya,
tak pada tempatnya. "Biar kalah," katanya, "kalau memang tak
bersalah mengapa atlet-atlet mesti takut?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini