MAHASISWA penyelundup? Ya, begitulah di IKIP Ujungpandang.
Sampai akhir pekan lalu telah berhasil diketemukan 237 mahasiswa
P di situ.
Terbongkarnya kasus ini, Agustus lalu, ketika masa kuliah
dimulai. Seorang mahasiswa FKIK (Fakultas Keguruan llmu
Keolahragaan) IKIP tersebut heran: temannya yang jelasjelas
diketahuinya tak lulus uJian saringan, ikut kuliah. Ia lapor
kepada dekannya. Dan sang dekan lantas mengusut. Usut punya
usut, benar mahasiswa itu tak tercantum dalan- daftar yang
lulus. Tapi mahasiswa P itu, lebih mengherankan, ternyata tak
seorang diri. Beberapa temannya di FKIK kemudian diketahui
berstatus P juga.
Urusan pun sampailah ke atas Rektor, Drs. Abdul Karim,
segera mengirim Surat kepada para dekan agar meneliti kembali
para mahasiswa barunya masing-masing. Hasilnya gawat keenam
fakultas IKIP tersebut semuanya punya mahasiswa P.
Lantas muncul pengumuman rektor kartu mahasiswa - yang
kebetulan sedang diproses--hanya sah bila ditanda tangani rektor
sendiri. Tanda tangan rektor dengan cap tidak berlaku.
Malah rektor mengambil tindakan: mahasiswa yang diketahui
berstatus P akan dikembalikan uang SPP (Sumbangan Pembangunan
Pendidikan)-nya.
"Uang mereka dikembalikan, karena memang tidak diwajibkan
bagi yang bukan mahasiswa membayar SPP," kata Abdul Karim kepada
TEMPO.
Tapi yang terakhir itu ternyata mengundang reaksi.
Pertengahan Oktober lalu, muncul postet-poster di kampus:
meminta rektor tidak bertindak berat sebelah Jangan mahasiswa
saja yang dirugikan, tapi juga pejabat yang menyeleweng. "Meski
mereka dianggap tidak sah, tapi kami sudah menganggapnya
mahasiswa. Jadi mesti kami bela," kata seorang pelajar di situ
kepada TEMPO. Ia pun mengeluh: selama ini, katanya, pimpinan
Institut selalu hanya mengorbankan mahasiswa. "Padahal sumber
ketidakberesan 'kan pejabat."
Lalu diadakanlah pertemuan antara Pembantu Rektor (Purek)
III, Drs. Said Muchtar, dengan pimpinan Badan Permusyawaratan
Mahasiswa (BPM) dan Senat Mahasiswa (SM). Dan rektor pun
langsung menyimpan sendiri buku registrasi mahasiswa.
Sebab memang, orang-orang menganggap Biro Registrasi yang
mengurus pendaftaran mahasiswa sebagai biangnya, Drs. Hanafi
Mahtika, kepala biro terscbut yang baru pulang naik haji,
rupanya agak kaget juga. "Saya belum tahu persoalannya 42 hari
saya tak di tempat," tuturnya. Toh ia sempat membuat analisa.
Antara lain "Kemungkinan pertama, bawahan saya karena didesak
dosen lantas memberi surat pembayaran SPP kepada mahasiswa yang
tak lulus." Kemungkinan kedua calon mahasiswa itu salah melihat
nomor pengumuman mengira dirinya diterima.
Beberapa mahasiswa P yang ditemui TEMPO punya cerita
sendiri. Marni (bukan nama sebenarnya) misalnya, datang dari SMA
Jeneponto, kota kecil dekat Ujungpandang. Ketika menjenguk
pengumuman hasil ujian saringan dan nomornya tak tercantum,
dengan tenang ia pulang kampung. Dua minggu tidur-tidur di
kampung, muncul tantenya dari Ujungpandang yang terus
memboyongnya dan memasukkannya ke IKIP. Ia pun mendapat surat
pengantar dari Biro Registrasi untuk membayar SPP--langsung ke
bank yang ditunjuk.
Lho? "Tante saya punya banyak koneksi di IKIP," bisiknya
kepada koresponden TEMPO di Sul-Sel. Marni, setelah penertiban
rektor itu, mengaku telah menerima surat untuk mengambil kembali
uangnya di bank. Tapi belum diambilnya, dan tetap ngotot masuk
kuilah.
Juga Ardi (bukan nama sebenarnya) yang lulusan Pendidikan
Guru Agama Palopo. Ia pun tak lulus ujian saringan, dan masuk ke
IKIP berkat koneksi. Dasar Ardi anak PGA, dengan tenang ia kini
pulang kampung. Marni lebih lanjut membenarkan desas-desus
adanya uang pelicin. Hanya jumlahnya ia tak bersedia mengatakan.
Menurut desas-desus lagi, sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 250
ribu.
Mengapa sih banyak orang ngebet menjadikan anaknya
mahasiswa, sementara kemampuan si anak mungkin tak
sampai--sedang banyak prestasi besar juga dilahirkan oleh
orang-orang non universitas?
Tapi baiklah. Entah bagaimana persoalannya di dalam, pekan
lalu Kepala Biro Registrasi dan Wakilnya di IKIP tersebut
diberhentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini