Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bona Sigalingging tak pernah alpa menghitung berapa kali jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin beribadah di seberang jalan Istana Negara, Jakarta. Terakhir, mereka menggelar ibadah Minggu yang ke-108 pada 3 Januari lalu di ujung Jalan Medan Merdeka Barat itu.
Di depan Istana, jemaat GKI Yasmin tak hanya melaksanakan ibadah dwimingguan. Empat tahun berturut-turut mereka melaksanakan ibadah Natal di tempat yang sama. Pada Jumat, 25 Desember tahun lalu, misalnya, jemaat GKI Yasmin beribadah bersama jemaat Huria Kristen Batak Protestan Filadelfia, Bekasi--yang juga terusir dari gereja mereka. "Kami terpaksa beribadah di sana karena dilarang beribadah di gereja kami," kata Bona, yang juga juru bicara GKI Yasmin, Rabu pekan lalu.
Berbekal payung dan kursi plastik, sekitar 250 anggota jemaat kedua gereja menjalani ibadah hampir dua setengah jam. "Mau tidak jika Presiden Joko Widodo mengundang kita merayakan Natal di Istana?" Pendeta Benget Tambunan bertanya sebelum memulai khotbah. Seluruh jemaat serentak menjawab, "Tidak mau. Kami ingin beribadah di gereja sendiri."
Dengan beribadah di depan Istana, menurut Bona, jemaat GKI Yasmin ingin menyampaikan pesan khusus kepada Presiden. "Kami masih menjadi korban intoleransi dan pembangkangan hukum," ujarnya.
Bangunan beratap genting baja ringan tanpa dinding itu kini dipenuhi semak belukar. Semula bangunan itu akan dijadikan gereja untuk menampung puluhan anggota jemaat GKI Pengadilan yang tak tertampung di gereja di Jalan Pengadilan, Bogor. Jemaat pindahan menyebutnya GKI Bakal Pos Yasmin atau lebih dikenal dengan nama GKI Yasmin.
Jemaat GKI Pengadilan membeli lahan seluas 1.721 meter persegi di Sektor III Kaveling 31, Perumahan Taman Yasmin, pada 2001. Mereka mengurus izin mendirikan bangunan (IMB) ke Pemerintah Kota Bogor pada Agustus 2005.
Pemerintah Kota pun telah menerbitkan IMB gereja nomor 645.8-372 pada 19 Agustus 2006. Namun, ketika gereja mulai dibangun, muncul berbagai kelompok penentang. Mereka rutin berunjuk rasa dengan mengerahkan massa dari Bogor dan sekitarnya.
Atas nama wali kota, Kepala Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor merespons unjuk rasa tersebut dengan membekukan IMB gereja itu pada 14 Februari 2008. Majelis Jemaat GKI Pengadilan pun tak tinggal diam. Mereka membentuk tim advokasi hukum dan menggugat Wali Kota Bogor ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Gugatan GKI Pengadilan dikabulkan hakim sejak pengadilan tingkat pertama hingga tingkat kasasi. Majelis hakim mencabut surat pembekuan IMB gereja. Permohonan peninjauan kembali oleh Pemerintah Kota Bogor ditolak Mahkamah Agung pada akhir 2009. Setelah menerima putusan peninjauan kembali, pada 2010, Pemerintah Kota Bogor mencabut segel pada bangunan bakal gereja itu.
Sehari setelah mencabut segel, Pemerintah Kota Bogor kembali menyegel tanah dan bangunan GKI Yasmin. Wali Kota Bogor kala itu, Diani Budiarto, beralasan pemerintah memasang lagi segel karena ada laporan pemalsuan tanda tangan penduduk dalam pengajuan izin pembangunan gereja. Ketua rukun tetangga setempat, Munir Karta, waktu itu dilaporkan ke polisi dengan tuduhan memalsukan surat pernyataan warga Taman Yasmin. Atas dasar kasus pidana tersebut, Wali Kota Bogor menerbitkan surat keputusan nomor 645.45-137 tahun 2011 tentang pencabutan IMB Gereja Yasmin.
Pengadilan Negeri Bogor menghukum Munir Karta tiga bulan penjara karena terbukti memalsukan surat pernyataan tak berkeberatan warga atas pendirian gereja. Pemalsuan itu terjadi pada 2006, ketika Munir menjadi ketua RT. Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan tersebut. Pada 2013, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Munir.
Wali Kota Bogor saat ini, Bima Arya, mengatakan dua putusan Mahkamah Agung yang bertentangan itu membuat persoalan GKI Yasmin berjalan di tempat. Menurut Bima, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa agar GKI Pengadilan menggugat surat keputusan wali kota yang mencabut IMB gereja pada 2011. Namun GKI Pengadilan tak menempuh langkah tersebut. "Saya tak mau kembali ke perdebatan hukum. Saya ingin mencari solusi," ujar Bima kepada Tempo.
Bima mengaku sudah beberapa kali bertemu dengan perwakilan GKI Pengadilan. "Mereka itu sahibulhajat, yang memiliki kepentingan," kata Bima. Wali Kota pun tidak lagi melibatkan jemaat GKI Yasmin karena menganggap mereka telah dibubarkan GKI Pengadilan pada 2012. "Itu sesuai dengan pernyataan Majelis GKI Pengadilan sebagai induk GKI di Bogor," ujar Bima.
Juru bicara GKI Yasmin, Bona Sigalingging, mengatakan GKI Pengadilan tak bisa membubarkan GKI Yasmin. "Itu telah ditegaskan dalam sidang Majelis Sinode pada Desember 2014," ujarnya.
Bima mengaku pernah menawarkan jalan keluar dengan membangun Gedung Kebhinnekaan di atas tanah GKI Yasmin. Selain akan menjadi tempat kegiatan gereja, satu lantai gedung tersebut akan menjadi pusat kegiatan masyarakat lintas agama. "Ide itu ditolak GKI Pengadilan. Mereka ingin bangunan untuk gereja murni," kata Bima.
Karena Gedung Kebhinnekaan ditolak, Pemerintah Kota Bogor memutuskan merelokasi gereja dari Perumahan Taman Yasmin. Pemerintah Kota pun membentuk tim kecil untuk melaksanakan relokasi. Tim itu melibatkan perwakilan GKI Pengadilan dan sejumlah dinas di Pemerintah Kota Bogor. "Rencana relokasi telah kami laporkan ke Kementerian Dalam Negeri pada akhir 2015," ujar Bima.
Sekretaris Daerah Kota Bogor Ade Syarif Hidayat mengatakan ide relokasi sebenarnya sudah muncul pada era Wali Kota Diani Budiarto. Pemerintah Kota Bogor pun sudah menyediakan dana untuk membeli tanah seluas 1.000 meter persegi sebagai pengganti lahan gereja di Taman Yasmin. Alternatif tanah pengganti ada di Kelurahan Semeru, di kawasan Bubulak, dan di Kayumanis.
Masalahnya, pilihan relokasi gereja sejak awal ditentang jemaat GKI Yasmin. "Relokasi bukan solusi," ujar Bona. "Pemerintah Kota semestinya paham arti penting toleransi."
Bona dan anggota jemaat GKI Yasmin lain pun mempersoalkan tindakan Bima Arya yang hanya berkomunikasi dengan GKI Pengadilan. Menurut mereka, Wali Kota seharusnya bertemu dengan GKI Yasmin, yang kepengurusannya hingga kini masih aktif.
Keputusan relokasi gereja, kata Bona, juga bertentangan dengan rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia pada 12 Oktober 2011. Ombudsman menyatakan surat keputusan Wali Kota Bogor nomor 645 tahun 2011 mengenai pencabutan IMB gereja itu menyalahi putusan Mahkamah Agung.
Adapun kasus pidana Munir Karta, menurut Bona, tak bisa menjadi alasan Pemerintah Kota mencabut IMB. "Surat yang dipalsukan Munir Karta tak pernah menjadi dasar pengurusan IMB," ujarnya.
Berdasarkan penelitian Ombudsman, surat pernyataan tak berkeberatan yang dipalsukan Munir Karta bertanggal 15 Januari 2006. Sedangkan izin mendirikan bangunan GKI Yasmin diperoleh berdasarkan surat pernyataan tak berkeberatan warga bertanggal 10 Maret 2002. Fakta tersebut, menurut Ombudsman, diperkuat rekomendasi pembangunan gereja yang dikeluarkan Wali Kota Bogor pada 25 Oktober 2005.
Ketua Umum Badan Pekerja Majelis Sinode GKI Wilayah Jawa Barat, Pendeta Davidi, mengatakan pembangunan gereja di lokasi Yasmin merupakan keinginan kolektif yang bertahun-tahun tak bisa dilaksanakan. Sebelum memutuskan relokasi, pemerintah harus menjamin aspek legal dan penerimaan dari masyarakat setempat. "Saya khawatir di lokasi lain pun tetap ada penolakan," ujar Davidi.
Yuliawati, Egi Adyatama, Sidik Permana, Rofiuddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo