Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Polemik Pencalonan Rohidin Mersyah Setelah Operasi Tangkap Tangan

Status tersangka korupsi tak menggugurkan pencalonan Rohidin Mersyah dalam pemilihan Gubernur Bengkulu.

26 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pencalonan Rohidin Mersyah dipertanyakan setelah ia menyandang status tersangka korupsi.

  • KPU menyatakan pencalonan Rohidin Mersyah tidak otomatis gugur meski berstatus tersangka.

  • Status Rohidin Mersyah akan ditentukan setelah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap.

PENCALONAN Rohidin Mersyah dalam pemilihan Gubernur Bengkulu dipertanyakan setelah ia ditetapkan menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagian kalangan menyatakan Rohidin tetap bisa melanjutkan pencalonan karena belum ada keputusan pengadilan yang final dan mengikat. Sementara itu, sebagian lagi justru berpendapat Rohidin seharusnya otomatis dicoret dari pencalonan karena telah cacat secara administrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan bahwa status tersangka Rohidin tidak mempengaruhi pencalonannya dalam pemilihan kepala daerah Bengkulu. Masyarakat tetap bisa memilih Rohidin karena surat suara sudah tercetak. Bahkan, apabila calon inkumben ini menang, dia tetap bisa dilantik. Di sisi lain, kata Alex, proses hukum terhadap Rohidin tetap berjalan. "Jadi, bila nanti terbukti bersalah, baru dicopot," kata Alex di Gedung Merah Putih KPK, Ahad, 24 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat serupa disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum Mochamad Afifuddin. Pencalonan Rohidin tidak secara otomatis gugur meski ditetapkan menjadi tersangka. “Dasarnya merujuk pada Pasal 163 ayat 6, 7, dan 8 Undang-Undang Pilkada,” ujar Afifuddin kepada Antara pada Senin, 25 November 2024.

Pelaksana tugas Ketua KPU, Mochamad Afifuddin, di kantor KPU, Jakarta, 30 September 2024. TEMPO/Subekti

Afif menjelaskan, selama masih berstatus tersangka, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pilkada dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 17 Tahun 2024, Rohidin masih dapat dipilih saat pemungutan suara, ditetapkan sebagai gubernur terpilih jika menang pilkada, serta dilantik sebagai gubernur. “Yang ingin kami highlight, status hukum tersebut menjadi domain penegak hukum, bukan di KPU,” tuturnya.

Pasal 163 ayat 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan “Dalam hal calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi gubernur dan/atau wakil gubernur”.

Kemudian Pasal 163 ayat 7 dan 8 UU Pilkada mengatur jika ada calon gubernur dan/atau calon wakil gubernur terpilih yang ditetapkan sebagai terpidana saat acara pelantikan, dia tetap dilantik dan langsung diberhentikan saat itu juga.

Merujuk pada Pasal 16 PKPU Nomor 17 Tahun 2024, pasangan calon dapat dinyatakan berhalangan tetap apabila sudah ditetapkan sebagai terpidana. “Artinya telah berkekuatan hukum tetap,” ucap Afif. “Ketentuan Pasal 16 tadi ketika status hukum calon kepala daerah sudah terpidana. Kalau belum, pasal ini tidak dipakai.”  

Pasal 16 PKPU Nomor 17 Tahun 2024 mengatur teknis pemungutan suara manakala ada pasangan calon yang berstatus sebagai terpidana. Dalam ketentuan itu, KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota mengumumkan status terpidana calon kepala daerah tersebut kepada kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) melalui panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan panitia pemungutan suara (PPS). Pengumuman itu dapat disampaikan lewat papan pengumuman di tempat pemungutan suara ataupun secara lisan dalam jangka waktu 29 hari.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, berpendapat Rohidin seharusnya didiskualifikasi dari pencalonan setelah ia ditetapkan menjadi tersangka. “Seharusnya begitu (didiskualifikasi),” kata Feri.

Dalam Pasal 71 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota disebutkan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, serta kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai penetapan pasangan calon terpilih.

Sementara itu, Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang mengikutsertakan aparatur sipil negara.

Dalam operasi tangkap tangan di Bengkulu, penyidik KPK menemukan fakta bahwa Rohidin mengumpulkan sejumlah bawahannya pada medio Juli 2024. Dalam pertemuan itu, Rohidin meminta dukungan pendanaan untuk kepentingan dia sebagai calon inkumben dalam pilkada 2024.  

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, mengatakan praktik lancung yang terjadi di Bengkulu bukanlah sesuatu yang baru. Hampir dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum kecurangan itu pasti terjadi. “Mengumpulkan dana dan sumber daya untuk memenangkan atau sekadar maju sebagai kandidat,” ujar Egi.

Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah setelah menjalani pemeriksaan selepas terjaring operasi tangkap tangan KPK, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 24 November 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Dalam kasus di Bengkulu, kata Egi, KPK ataupun KPU tidak berani mengambil langkah tegas. Seharusnya Rohidin sudah tidak layak lagi melanjutkan pencalonannya ke tahap selanjutnya dalam pilkada 2024. “Sayangnya, dia juga tidak mengambil langkah yang bisa menyelamatkan integritas pemilu dengan mundur sebagai kandidat,” tutur Egi.

Rohidin Mersyah adalah calon inkumben Gubernur Bengkulu dengan nomor urut 2. Dalam pilkada 2024, politikus Partai Golkar itu berpasangan dengan Meriani, yang merupakan ibu dari anggota dewan perwakilan daerah dapil Bengkulu, Elisa Ermasari.

Rohidin terjaring operasi tangkap tangan pada Sabtu, 23 November 2024, bersama tujuh bawahannya di Pemerintah Provinsi Bengkulu. Dari operasi tangkap tangan itu, KPK menetapkan tiga orang menjadi tersangka, yakni Rohidin Mersyah, Sekretaris Daerah Isnan Fajri, dan Evriansyah selaku ajudan Rohidin.

Para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Alfira Nefi P., Mutia Yuantisya, dan kantor berita ANTARA berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus