Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AHMAD Fauzi masih sempat menjawab pertanyaan wartawan seusai sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu siang dua pekan lalu. Padahal penyidik Kejaksaan Tinggi Jawa Timur itu sudah dikontak temannya sesama jaksa agar segera balik ke kantornya di Jalan Ahmad Yani, Ketintang, Surabaya.
Setelah tanya-jawab sekitar 10 menit, Fauzi berjalan menuju mobilnya, Kijang Innova hitam, di tempat parkir hakim. Fauzi, 36 tahun, tiba di kantor Kejaksaan Tinggi sekitar pukul 13.00. Ia langsung menuju ruang intelijen di lantai tiga. Di sana sudah menunggu tim Satuan Berantas Pungutan Liar Kejaksaan Tinggi, yang diketuai jaksa Aswan.
Tim gabungan jaksa intelijen dan jaksa pidana khusus itu segera mencecar Fauzi dengan pertanyaan seputar duit suap sebesar Rp 1,5 miliar. Anggota tim juga menunjukkan pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal yang melaporkan transaksi suap. Mendapat serangan telak, Fauzi tak bisa mengelak. "Dia langsung mengaku," kata Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Rudi Prabowo Aji pada Jumat dua pekan lalu.
Menurut Rudi, pesan WhatsApp itu masuk beberapa saat setelah Fauzi menerima uang dari makelar tanah asal Sumenep, Madura, Abdul Manaf. Pesan "kaleng" itu menyebutkan besel diserahkan di sekitar kantor Pengadilan Negeri Surabaya, sebelum Fauzi menghadiri sidang.
Rudi meminta Tim Sapu Bersih segera memanggil Fauzi. Namun seorang jaksa mengingatkan bahwa Fauzi masih bersidang. Hari itu Fauzi mewakili Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dalam sidang praperadilan melawan Dahlan Iskan. Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara itu melawan jaksa yang menjadikan dia sebagai tersangka kasus dugaan penyelewengan aset badan usaha milik daerah Jawa Timur.
Setelah menerima uang dari Manaf, Fauzi sempat mampir ke tempat kosnya di Ketintang Baru, masih di sekitar Kejaksaan Tinggi. Dia menyimpan uang pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu yang terbungkus kardus itu dalam koper hitam. Diantar Fauzi, Tim Sapu Bersih mengambil uang tersebut. Setelah memegang barang bukti, tim jaksa gabungan meminta Fauzi menghubungi Abdul Manaf sembari bersiap-siap menangkapnya.
Radar Komisi Pemberantasan Korupsi rupanya juga menangkap rencana transaksi suap ini. Namun tim operasi tangkap tangan lembaga antikorupsi itu belum sempat bergerak ke Surabaya. "Kami baru memonitor. Ternyata sudah ditangani kejaksaan. Ya, sudah," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Menjadi jaksa sejak 2008, Fauzi belum genap setahun berdinas di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Surat tugas terakhir Fauzi sebenarnya bukan di Kejaksaan Tinggi. Ia ditugasi sebagai jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Gresik, Jawa Timur. Namun Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Maruli Hutagalung menarik Fauzi ke kantornya. "Sudah menjadi rahasia umum, keduanya memang dekat," kata seorang jaksa senior.
Kedekatan Maruli dengan Fauzi, menurut beberapa jaksa, bermula ketika Fauzi berdinas di Kejaksaan Negeri Sorong, Papua. Kala itu Maruli menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Papua. Setelah itu, setiap kali Maruli berpindah tugas, Fauzi selalu mengikuti.
Pada Oktober 2014, Maruli ditarik ke Jakarta untuk menjabat Direktur Perdata pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun). Ketika itu Fauzi ditarik sebagai anggota staf Direktorat Perdata Jamdatun. Lalu, pada September 2015, Maruli dilantik sebagai Direktur Penyidikan Jampidsus Kejaksaan Agung. Lagi-lagi Fauzi ditarik ke direktorat yang sama. Tiga bulan kemudian, Maruli digeser menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Fauzi pun ikut boyongan ke sana.
Kepada Tempo, Maruli mengaku baru mengenal Fauzi ketika bertugas di Jamdatun. "Saya tidak tahu dia di Papua," ujarnya. Karena kinerja Fauzi selama menjadi jaksa fungsional di Jamdatun moncer, Maruli membenarkan memboyong dia ke Direktorat Penyidikan Jampidsus. Kini Maruli mengaku sangat kecewa terhadap ulah anak buahnya itu. "Padahal dia sebentar lagi mau dipromosikan jadi kepala subpenyidikan," kata Maruli.
Menurut Rudi Prabowo, di Jawa Timur, Fauzi merupakan jaksa andalan. Dia seorang dari sedikit jaksa yang mengantongi sertifikat kompetensi pejabat spesialis antikorupsi. Dari 1.455 jaksa seluruh Indonesia yang mengikuti ujian pada Desember 2013, hanya 214 jaksa yang lolos. Fauzi peringkat pertama dari 12 perwakilan Kejaksaan Agung yang lulus tes itu.
Dengan segala kelebihannya, menurut Rudi, dalam waktu singkat Fauzi dipercaya menangani sejumlah kasus besar. Misalnya kasus yang melibatkan bekas Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur La Nyalla Mattalitti, Dahlan Iskan, dan bekas Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur Wisnu Wardhana.
Dianggap piawai menangani kasus besar, Fauzi justru terpeleset ketika menangani kasus penyelewengan tanah kas Desa Kalimook, Sumenep, Jawa Timur. Semula kasus ini ditangani Kejaksaan Negeri Sumenep. Belakangan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur mengambil alih penyidikan.
Jaksa mengendus dugaan penyelewengan tanah kas desa setelah menemukan 14 sertifikat tanah atas nama warga Kalimook. Sertifikat sudah beralih ke tangan makelar tanah dan pengusaha. Padahal, aturannya, tanah kas desa tak boleh dilepas ke pihak lain kecuali untuk kepentingan umum.
Menurut Direktur Advokasi dan Penanganan Perkara Lembaga Bantuan Hukum Bakti Keadilan Sumenep Rausi Samorano, di tengah masyarakat Sumenep beredar kabar bahwa di atas lahan kas desa seluas 10 hektare itu akan dibangun bandar udara. Dalam dua tahun terakhir, makelar tanah pun berseliweran di desa itu. Salah satunya, ya, Abdul Manaf.
Seorang tersangka kasus ini, Wahyu Sudjoko, pernah bercerita bagaimana Fauzi membujuk dia menjadi justice collaborator—pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan aparat. Pada 26 September lalu, Fauzi menawari Wahyu hukuman ringan. Syaratnya, Kepala Seksi Survei, Pengukuran, dan Pemetaan Kantor Badan Pertanahan Nasional Sumenep itu harus membuka keterlibatan pelaku lain. "Setelah berdiskusi dengan saya, Pak Wahyu menerima tawaran itu," kata kuasa hukum Wahyu, Ahmad Rifai, Kamis pekan lalu.
Hari itu, selama tujuh jam, Fauzi memeriksa Wahyu sebagai saksi di kantor Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Setengah jam setelah pemeriksaan, status Wahyu naik menjadi tersangka. Karena dijanjikan hukuman ringan, ketika diperiksa pada 24 Oktober lalu, Wahyu membeberkan semua hal yang dia ketahui.
Kepada Fauzi, Wahyu menerangkan, Kepala Desa Kalimook Murhaimin mengurus sertifikat untuk mengubah status lahan kas desa itu pada 2014-2015. Murhaimin meminjam kartu tanda penduduk belasan warga Kalimook. Adapun biaya pengurusan sertifikat ditanggung Abdul Manaf. Di samping kedua nama itu, Wahyu menyebutkan beberapa nama lain yang terlibat.
Setelah mendengar keterangan Wahyu, kejaksaan menetapkan Murhaimin sebagai tersangka dan langsung menahannya. Anehnya, menurut Rifai, Fauzi tak kunjung menyentuh Manaf. Bahkan penyidikan kasus ini sempat mandek selama sebulan. Rifai sampai mengutus anak buahnya menemui Fauzi untuk mempertanyakan hal tersebut. Kala itu Fauzi beralasan sedang sibuk mengebut kasus Dahlan Iskan. "Ternyata belakangan muncul kasus suap ini," ujar Rifai.
Kejaksaan Agung menarik penyidikan kasus suap untuk Fauzi ke Jakarta. Menurut Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, Fauzi telah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Sedangkan Manaf tersangka pemberi suap.
Di Jakarta, penyidik awalnya menjebloskan Fauzi dan Manaf ke Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung. Penghuni ruang tahanan di lantai tujuh gedung Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum itu adalah tersangka atau terdakwa kasus korupsi. Beberapa kasus di antaranya pernah ditangani Fauzi. Salah satunya kasus korupsi saham Bank Jatim yang melibatkan La Nyalla Mattalitti.
Lima hari menjadi penghuni rumah tahanan itu, Fauzi beberapa kali mendapat "intimidasi". Suatu hari ada yang menyiramkan air kencing ke sel Fauzi. Di lain hari, ketika jam makan tiba, ada yang menaruh kotoran manusia ke kamar Fauzi. Mendapat "teror" dari sesama tahanan, Fauzi menyerah. Penyidik pun memindahkan dia ke Rumah Tahanan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Melihat besarnya uang suap yang diterima Fauzi, beberapa jaksa sangsi bahwa Fauzi bermain sendiri. Kalaupun mau nakal sendirian, menurut mereka, Fauzi yang baru golongan III-C paling berani pasang "tarif" belasan juta rupiah. "Dengan pangkat segitu, enggak mungkin bekerja sendiri. Apalagi nilainya besar," ujar seorang jaksa senior.
Berbeda dengan gunjingan para jaksa, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebut Fauzi menerima suap seorang diri. "Saat ditangkap, uang tersebut dia yang terima. Berarti dia bermain sendiri," kata Prasetyo.
Linda Trianita (Jakarta), Nur Hadi (Surabaya), Musthofa Bisri (Madura), Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo