Pencuri listrik diancam pidana korupsi dan subversi. Berlebihan? SENGATAN setrum Perusahaan Listrik Negara (PLN) kini semakin berbahaya. Selain mematikan, setrum PLN kini bisa pula menjerat pencuri listrik dengan tuduhan korupsi dan bahkan subversif. Ancaman "sengatan" baru itu tiba-tiba diumumkan Jaksa Agung Singgih setelah bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Kamis pekan lalu. Instruksi Kepala Negara itu, menurut Singgih, lebih ditujukan pada pelaku kalangan industri. Pihaknya, kata Singgih, tak mainmain karena kerugian yang diderita PLN akibat pencurian sudah sedemikian besar. "Diperkirakan per bulan PLN dirugikan Rp 10 milyar," kata Singgih, dengan mengutip data yang diberikan PLN. Namun, diakui Singgih bahwa pembuktian kejahatan itu agak sulit. Teknik pencurian yang dilakukan kalangan industri sudah sedemikian canggihnya sehingga sulit dideteksi. Modus operandinya seperti mafia. Sebuah sumber di Kejaksaan Agung menyebut bahwa, hingga Sabtu pekan lalu, sudah delapan tersangka pencuri listrik yang diperiksa. Mereka terjaring Tim Opsin (Operasi Intelijen) Kejaksaan Agung, yang dibentuk khusus untuk membuldoser pencuri listrik. Bagi yang tertangkap, akan dilihat unsur-unsur perbuatan dan bobot perkaranya. Dari situ ditentukan apakah akan dikenai pasal korupsi, subversi, atau pencurian biasa (pasal 362 KUHP). " Ancaman pasal korupsi dan subversi tidak mengada-ada, tapi ada dasarnya. Jadi, bukan asal gertak," kata Sekretaris Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus, Murni Rauf. Unsur-unsur perbuatan pencurian listrik, menurut Murni, sudah bisa memenuhi tindak pidana korupsi seperti yang disyaratkan Undang-Undang Antikorupsi (UU No. 3/1971). Alasannya, barang yang dicuri secara langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Pemakaian pasal subversi pun, menurut Murni, tak menimbulkan masalah karena pasal tersebut menyebutkan, "Barang siapa melakukan suatu perbuatan dengan maksud menggulingkan, merusak, atau merongrong kekuasaan negara dan kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negara ...." Jelasnya, pada saat pemerintah menggalakkan dunia industri untuk menunjang ekspor nonmigas, tiba-tiba ada yang menghambat dengan cara mencuri listrik. "Ini kan tergolong merongrong pemerintah," katanya. Apalagi perbuatan itu, menurut Murni, berulang-ulang terjadi. "Diancam dengan tuntutan pencurian biasa sudah tidak mempan, jadi ada gejala meremehkan wibawa pemerintah." Pendapat Murni Rauf itu mendapat dukungan Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi, Prof. Muladi. Namun, khusus dalam pasal subversi, Muladi memberi catatan, "harus dikaitkan dengan unsur politik. Misalnya, akibat pencurian itu kebijaksanaan pembangunan industri menjadi guncang." Unsur itu penting karena pasal subversi sasarannya adalah politik. "Untuk menentukan ada atau tidaknya unsur itu diperlukan saksi ahli," katanya. Diakui oleh Muladi, jika pasal subversi ini dipakai, konsekuensinya akan mengundang pertentangan politis di kemudian hari. "Penerapan pasal itu akan membuat tradisi yuridis yang kurang baik," katanya. Maka, ia menyarankan agar ancaman pidana subversi digunakan secara selektif. Sebaliknya, Sekjen Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Djohan Djauhary tak setuju pasal subversi itu dibawa-bawa untuk urusan listrik. "Subversi kaitannya kan dengan makar, merebut kekuasaan, jadi rasanya berlebihan mengenakan pasal subversi pada pencuri listrik," katanya. Djohan melihat, terjadinya pencurian tak lepas dari kondisi PLN sendiri. "Seharusnya PLN berkaca diri, apakah tarif yang dikenakan sudah sesuai, dan apakah PLN bisa dengan cepat memenuhi permintaan pelanggannya," katanya. Ia malah khawatir, jangan-jangan terjadinya pencurian itu justru dibantu orang dalam PLN sendiri. "Kalau demikian yang terjadi, apakah pegawai PLN itu juga disubversikan?" ARM, Bambang Sujatmoko, Iwan Qadar (Jakarta), B. Amarudin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini