Terpidana mati Kamjai mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Pemberian fasilitas untuk ABRI, diungkit-ungkit. SAKRATUL maut, untuk sementara, menjauh dari Kamjai Kong Thavorn, 34 tahun. Aggi Tjetje, pengacara warga negara Muangthai itu, kini melakukan upaya hukum terakhir untuk menyelamatkan kliennya itu dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung yang memvonis mati Kamjai, yang terbukti membawa heroin ke wilayah Indonesia. Menurut Aggi pada sidang PK, Kamis dua pekan lalu, di Pengadilan Negeri Samarinda, ia mendapatkan bukti baru untuk mengajukan PK itu, yaitu tertangkapnya pelaku penyelundup heroin itu yang sebenarnya, Boonssom Poonpol, di Muangthai. Aggi menganggap bahwa berdasarkan bukti baru itu vonis hakim yang telanjur jatuh terhadap Kamjai menjadi cacat secara hukum. Pada 30 Januari 1988 Pengadilan Negeri Samarinda memvonis mati Kamjai. Menurut hakim, terdakwa terbukti bersalah membawa 21 kantong plastik berisi 17,76 kg bubuk heroin senilai sekitar Rp 11 milyar. Kamjai memang tertangkap tangan petugas Bea Cukai Samarinda pada 21 Agustus 1987. Ketika itu patroli Bea Cukai curiga melihat kapal berbendera Muangthai, MV Sang Thai Lumber, melego jangkar dua kilometer dari dermaga. Petugas Bea Cukai segera mengadakan pemeriksaan. Semula tidak ditemukan hal yang mencurigakan. Namun, petugas ternyata tak gampang percaya. Sesampai di kamar seorang kelasi, Kamjai, petugas Bea Cukai mengetok-ngetok dinding kamar itu. Aneh, bunyi ketokan itu tak nyaring, seperti ada yang mengganjal. Benar saja, ketika dibongkar, di balik tripleks itu ditemukan 21 bungkus plastik berisi heroin. Di persidangan, Kamjai menolak tuduhan menyelundupkan narkotik. Ia, katanya, hanya membawa titipan orang lain, Ti, kawan sekampungnya di Muangthai. Barang itu pesanan orang Jepang. "Setahu saya, itu obat kuda, bukan heroin," kata ayah dua anak itu. Toh hakim memvonis awak kapal itu dengan hukuman mati. Hukuman ini diperkuat pengadilan banding dan Mahkamah Agung, 28 September 1988. Berikutnya, Februari 1991, giliran Presiden menolak grasinya. Artinya, si terpidana tinggal menunggu eksekusi ditembak mati. Pada saat kritis itulah, tim pembela Kamjai, dengan bantuan Kedubes Muangthai di Jakarta, mengajukan upaya baru, PK tadi. Di depan Hakim Ketua Muhammad Syahferi, Aggi mengungkapkan sejumlah kelemahan proses persidangan sehingga vonis hakim sebelumnya mengandung cacat hukum. Misalnya penerjemah Kamjai, Nyonya Huwi Abdullah, disebut pengacara itu tidak profesional dan ngawur. Penerjemah asal Muangthai itu, yang sudah 46 tahun meninggalkan negerinya karena kawin dengan orang Banjar, tak bisa berbahasa Indonesia. Maka, ucapan Kamjai diterjemahkan lebih dahulu ke bahasa Banjar, dan kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia. "Keterangan Kamjai yang panjang lebar masa hanya diterjemahkan beberapa kalimat saja," ujar Aggi. Akibatnya, kata Aggi, menurut penerjemah, Kamjai mengakui dititipi barang tersebut. Karena dititipi, ia harus bertanggung jawab. Padahal, setelah dilakukan rekonstruksi ulang oleh Sekretaris II Kedubes Muangthai, Chalotorn Phaovibul, Kamjai mengatakan tak pernah menyentuh barang itu. Menurut penuturan Kamjai, menjelang keberangkatan kapal, ada empat orang mendatanginya, yaitu Ti alias Boonsom Poonpol, Kao, Fujimura, dan Somkit. Mereka meminta izin meletakkan bungkusan-bungkusan yang disebutnya sebagai obat pembasmi kutu kuda (Asuntol), ke dalam laci di balik tempat tidur Kamjai. Menurut keempat orang itu, begitu kapal sampai di Jepang, Fujimura akan mengambil barang itu. Karena itu, Aggi berkesimpulan bahwa Kamjai bukanlah pelaku yang membawa narkotik. Pelaku sesungguhnya, katanya, adalah Ti dan Kao alias Tawat Tosri, Somkit, serta Fujimura. Keterangan itu diperoleh dari kesaksian Pichit Sunopakdi dan Santhan Pongchai, sesama anak buah kapal itu, bahwa mereka melihat dengan mata kepala sendiri kedatangan Ti dan kawan-kawannya ke kamar Kamjai. Pengakuan itu mereka berikan kepada Wakil Panglima Divisi Pemberantasan Kejahatan Kerajaan Muangthai, Kolonel (Pol.) Bancha Chareukchareet, Juni lalu sebagai saksi sehubungan dengan tertangkapnya Ti alias Boonsom Poonpol dan Tawat Tosri di Bangkok. Kedua orang itu dikenal sebagai penjahat narkotik yang sudah lama dicari pemerintah Muangthai. Di depan Kolonel Bancha, Ti dan Tawat mengaku menaruh narkotik di kamar Kamjai. "Tapi itu atas suruhan Fujimura," ucap Aggi, mengutip isi berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat kepolisian Muangthai. BAP itu, oleh Aggi dilampirkan sebagai bukti dalam pengajuan PK. Aggi juga mengemukakan alasan nonyuridis, yang selayaknya menjadi bahan pertimbangan hakim. Katanya, rakyat dan pemerintah Muangthai sangat bersahabat dengan Indonesia. Hal itu terbukti dari pengorbanan yang pernah mereka lakukan, pada 1981, ketika mengizinkan ABRI melakukan operasi militer di wilayah kedaulatan Muangthai untuk menumpas pembajak pesawat Garuda Woyla. Sekretaris II Kedubes Muangthai di Jakarta, Chalotorn Phaovibul, yang aktif mengikuti persidangan, juga berharap agar bukti baru itu bisa membebaskan Kamjai dari hukuman mati. "Hubungan bilateral yang sangat erat seyogianya masuk menjadi bahan pertimbangan di luar yuridis," katanya kepada TEMPO. Namun, Jaksa Soepiyanto enteng saja menanggapi memori PK tim pembela Kamjai. "Tak ada hal baru yang diungkapkan mereka sehingga tak akan menggoyahkan putusan mati yang telah dijatuhkan hakim," katanya. Ia yakin bahwa Kamjai bersalah karena heroin itu terbukti ditemukan di kamar Kamjai. Tentang alasan nonyuridis? "Kami tak akan menanggapi karena tak ada relevansinya," kata Soepiyanto. Aries Margono, Ardian T. Gesuri (Jakarta), Rizal Effendi ( Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini