Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sumitomo versus 'bappenas' palsu

Komplotan penipu: puka maruli tua hutagalung, junus hendra & adlan adnan, berhasil menipu uang sumitomo corporation, jepang, Rp 1,2 milyar. polres depok berhasil menggulungnya. sumitomo merasa tak tertipu.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUSAHAAN raksasa Jepang, Sumitomo Corporation, bisa pula tertipu di Indonesia. Hanya dengan modal surat palsu, stempel palsu, dan menampilkan seorang tokoh fiktif -- yang mengaku bernama Duratmoko Sumarlin dari Bappenas (Badan Perancang Pembangunan Nasional) -- tiga orang penipu berhasil meyakinkan Sumitomo bakal dapat proyek micrwave Jawa-Bali senilai Rp 17 milyar. Hanya dengan menjual proyek "bohong-bohongan" itu, komplotan penipu tersebut berhasil mengantungi uang semacam "komisi" dari Sumitomo sebesar Rp 1,2 milyar. Ketiga tersangka penipu itu: Puka Maruli Tua Hutagalung (Ruli), 34 tahun, Junus Hendra alias Tjio Kie Yoe, 38 tahun, dan Adlan Adnan, 51 tahun, digulung polisi Polres Depok pada awal Februari lalu. "Polisi berhasil mencium kejahatan itu berkat informasi masyarakat," kata seorang perwira menengah di Polda Metro Jaya. Menurut sumber itu, di pemeriksaan ketiga terdakwa telah mengakui perbuatan mereka. "Otak semua ini Maruli." Entah dari mana idenya, sekitar 1986 Ruli -- yang bekas pegawai pengemasan ikan Tanjung Priok, Jakarta -- mencoba menawarkan proyek microwave itu ke Sumitomo. Berkat bantuan Junus, seorang pengusaha, Ruli berhasil menemui Seki -- pimpinan Sumitomo di Jakarta -- di kantornya di Summitmas Building, Jakarta. Ternyata Ruli berhasil meyakinkan Seki bahwa ia bisa "mengatur" agar proyek Bappenas senilai Rp 17 milyar bisa jatuh ke tangan Sumitomo. Pihak Sumitomo pun mengecek kebenaran proyek itu ke Perumtel. Entah bagaimana caranya, Perumtel memberikan jawaban positif. Seki pun menjajal "keahlian" Ruli menggolkan proyek itu. Ruli tak membuang kesempatan. Dalam waktu tak lama, ia berhasil memperlihatkan surat-surat tentang penawaran proyek -- semuanya palsu. Melihat begitu gampangnya Ruli memperoleh informasi, sumber TEMPO menduga bahwa "Ada orang dalam Bappenas yang membocorkan proyek ini". Begitu Sumitomo setuju, Ruli meminta Seki menulis surat kepada Ketua Bappenas, Sumarlin (waktu itu). Isinya menyebutkan agar proyek jaringan telepon Jawa-Bali itu bisa digarap pihaknya. Lucunya, surat untuk Sumarlin itu disampaikan Seki melalui Junus, yang kemudian diteruskan kepada Ruli. Ruli kembali "main". Beberapa hari kemudian ia membuat surat balasan seakan-akan dari Bappenas. Isinya menyebutkan bahwa permohonannya dikabulkan. Tapi jika proyek ini selesai, perusahaan itu harus memberikan fee kepada Yayasan Gotong Royong. Semula, konon, Seki kaget atas syarat perlunya "dana manuver" tersebut. Tapi tanpa dana itu, Ruli mengaku tak bisa bergerak. Akhirnya Seki setuju. "Fee manuver pertama sebesar Rp 33 juta plus biaya formulir Rp 150 ribu, sekitar April 1987, diserahkan Seki kepada Ruli. Sejak itu dana manuver mengalir terus hingga 20 kali, mencapai Rp 1,2 milyar. Toh kepastian proyek ini belum juga lahir hingga Seki dipindahkan ke Jepang. Pada akhir Desember 1987, Junus dan Ruli pergi ke Jepang menemui Seki -- dengan ongkos dari Sumitomo sebesar Rp 20 juta. Di Jepang, katanya, mereka dijamu bos Sumitomo pusat dan menginap di hotel mewah. Kembali dari Jepang, mereka berurusan dengan Yoshimoto, pengganti Seki. Sebagai orang baru, cerita Ruli, Yoshimoto minta gambaran proyek Perumtel itu. Di samping itu ia juga ingin ketemu dengan pejabat Bappenas yang menandatangani surat ke Sumitomo, yaitu Duratmoko Sumarlin. Ruli tak kehilangan akal. Seorang kenalannya, Adlan Adnan, dimintanya untuk memerankan figur Duratmoko. Bekas dosen berkulit kehitaman itu, didandani dengan baju safari, mirip pejabat. Pertemuan itu terjadi di hotel Hilton. Setelah pertemuan itu, kabarnya, pihak Sumitomo mulai ragu. Sebab, Duratmoko tak meyakinkan sebagai pejabat. Alamat Duratmoko di Jalan Menteng Raya -- setelah dicek Sumitomo -- ternyata palsu pula. Konon, selain Sumitomo, Junus juga mulai mencurigai patner bisnisnya itu. Setelah, diam-diam, mengecek ke Bappenas -- persisnya kepada Benny Mulyana (sekarang Wakil Ketua Bappenas) --cerita Junus, ia mendapat kepastian bahwa Ruli penipu. Tapi sebelum Junus melaporkan ke polisi, mereka ditangkap. Kepada polisi, Ruli mengaku terus terang. "Tapi uang yang saya pakai hanya Rp 400 juta," kata Ruli yang beristri dua. Uang itu, katanya, habis untuk biaya pengurukan jalan tol -- bisnis Ruli lainnya. Junus mengaku hanya kebagian Rp 200 juta dari Ruli. Sedangkan Adlan mengaku hanya menerima Rp 200 ribu. Ke mana sisa uang lainnya? Menurut Junus, uang itu menguap untuk beberapa oknum yang memerasnya. Adlan sendiri mengaku ditipu komplotan itu. "Saya ini sebenarnya tertipu, saya tak tahu kalau proyek itu fiktif," kata Adlan sedih. Junus juga begitu. "Setelah saya tahu bahwa Maruli sendiri yang membuat surat-surat itu, hati saya hancur," kata Junus, yang kini ditahan luar. Anehnya, pihak Bappenas malah heran mendengar kasus ini. "Sungguh, saya baru mendengarnya sekarang," kata Wakil Ketua Bappenas, Benny Mulyana. Lebih aneh lagi, pihak Sumitomo membantah tertipu. "Kami tidak merasa ada yang hilang," kata Deputy Department Manager Iron & Steel Industrial Supply P. Tambunan. Ia tak membantah, pimpinannya pernah dimintai keterangan polisi. Pimpinan Sumitomo lainnya, K. Morinaka dan Tatsuo Nishida, juga membenarkan tak ada pengeluaran Rp 1,2 milyar dari pembukuannya. Tapi mereka membenarkan bahwa Seki pernah berhubungan dan memberikan uang pribadinya kepada ketiga orang itu. "Jumlahnya tak banyak, hanya pinjaman pengganti ongkos perjalanan," kata Nishida. Seorang sumber menduga bahwa perusahaan Jepang itu memang tertipu, tapi malu mengakuinya. Toh bantahan itu, kata sumber tersebut, tak akan menyebabkan kasus itu dipetieskan. "Mereka tetap akan dituntut, kan semua terdakwa mengaku," kata sebuah sumber di Polda Metro Jaya.Widi Yarmanto, Bachtiar Abdullah, Muchsin Lubis, dan Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum