SUASANA murung mewarnai wisuda sarjana tekstil di kampus Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung, Sabtu dua pekan lalu. Hari itu ada 132 sarjana strata 1 (S-1) yang diwisuda. Yang membuat suasana tak ceria, sejak hari itu ITT resmi dibubarkan. Di kampus tua itu kini hanya ada Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT). Keduanya berbeda. STTT adalah jenjang pendidikan diploma. Kurikulum pun beda. ITT menekankan teori, sedang STTT menekankan pada praktek. Namun, ada persamaannya. Dosen ITT dialihkan menjadi dosen STTT, termasuk bekas Rektor ITT yang kini "turun jabatan" menjadi Dekan STTT. Persamaan lain, pendidikan tinggi tekstil ini tetap berada di bawah Departemen Perindustrian. "Semua ini bukan keinginan kami. Kami, sih, inginnya tetap ada ITT," kata Soemarno, bekas Rektor ITT itu. Menurut Soemarno, bubarnya ITT sangat disayangkan, karena sekarang sangat dibutuhkan sarjana tekstil. Tenaga yang dibutuhkan pabrik tekstil sekarang ini, katanya, bukan tenaga pelaksana seperti lulusan program diploma itu. Tapi tenaga peneliti dan tenaga ahli yang menguasai teori. Ancang-ancang untuk membubarkan ITT sudah lama. Yakni, ketika lahir Surat Keputusan Bersama antara Menteri Perindustrian dan Menteri P dan K pada 1981. Saat itulah STTT didirikan, sementara ITT tetap berjalan. Upaya mempertahankan pendidikan tinggi bergelar di bidang tekstil itu pun ditempuh. Mahasiswa ITT membentuk wadah dengan nama "Tim Perjuangan Civitas Academica Tentang Status ITT". Gerakan tim ini, seperti dikatakan Bambang Mardianto, alumni ITT yang waktu itu menjadi anggota tim, mendapat dukungan dari jajaran dosen dan pimpinan institut. Mereka menemui Komisi IX DPR RI, Menteri Perindustrian, Menteri Penertiban Aparatur Negara, dan Menteri P dan K pada 1981. Usaha tim gagal. Departemen Perindustrian tetap bersiteguh tentang SKB dua menteri itu, yang menyebutkan pendidikan tinggi yang dikelola Departemen Perindustrian hanya boleh menghasilkan program diploma. Jika ITT tetap menghasilkan sarjana, maka ia harus diurus dan berada di bawah Departemen P dan K. "Mengapa Departemen Perindustrian tak menyerahkan saja ITT kepada P dan K," kata Bambang, yang kini masuk dalam Kelompok Kerja Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia. Ketika keresahan itu muncul, sebenarnya sudah ada usaha untuk mengalihkan pembinaan ITT menjadi di bawah P dan K. Tapi ke mana? Untuk berdiri sendiri, Dirjen Pendidikan Tinggi (waktu itu) Doddy Tisna Amijaya keberatan. Alasannya, ITT hanya memiliki dua jurusan: Kimia Tekstil dan Teknologi Tekstil. "Bidangnya terlalu sempit," kata Doddy saat itu (TEMPo, 7 November 1981). Ada ide juga agar ITT digabungkan ke ITB. Penjajakan sudah ditempuh, tapi ITB akhirnya keberatan karena yang akan diserahkan hanya mahasiswa dan sebagian kecil dosennya. Dosen-dosen yang ahli dalam tekstil tak bisa diboyong ke ITB, karena status mereka adalah pegawai Departemen Perindustrian. Tak ada jalan lain selain menunggu kematian. Mulai tahun kuliah 1982, ITT tak lagi menerima mahasiswa, tapi institut ini jalan terus dengan kurikulum yang menyiapkan sarjana tekstil S-1. Sementara itu, STTT justru menambah satu jurusan lagi yang tidak ada di ITT, yakni Kimia Analisis. Namun, mata kuliah penting seperti Kimia Fisika Pencelupan, misalnya, tak ada. Pengetahuan ini, menurut Bambang, sangat penting di lapangan. "Sekarang ini kita malah sudah butuh sarjana garmen, sarjana celup, dan sebagainya, untuk mendampingi sarjana tekstil dari luar negeri yang banyak dipakai di sini," kata Bambang kepada Sigit Haryoto dari TEMPO. Akan halnya program diplom STTT, menurut Bambang, tak lebih dari menghasilkan tukang. Dan penyebutan lulusan diploma itu sebagai tenaga ahli yang siap pakai menjerumuskan. "Tidak ada rekayasa, yang ada bagaimana menggunakan resep, tidak berupaya menciptakan resep baru. Untuk yang terakhir ini, dibutuhkan orang yang banyak makan teori." Alkisah, industri tekstil di Indonesia membutuhkan banyak tenaga terampil. Tahun 1954, Departemen Perindustrian mendirikan Sekolah Tinggi Tekstil di Bandung. Kemudian berubah menjadi Akademi Tekstil. Dan terhitung sejak Februari 1966 statusnya berubah menjadi Institut Teknologi Tekstil. Orientasinya pun mengarah pada pemenuhan kebutuhan di bidang penelitian, pengembangan, pendidikan, dan kebutuhan industri. Institut ini akhirnya mati dua pekan lalu dengan menghasilkan 671 sarjana tekstil. Bagi Soemarno, STTT itu bisa juga disebut sebagai pengganti ITT, dengan segala kekurangannya tadi. Peminat STTT memang tidak banyak, setiap angkatan rata-rata 80 orang. Yang dikeluhkan Dekan STTT ini sekarang adalah penciutan anggaran. Tahun-tahun lalu anggarannya mencapai Rp 200 juta setahun, sekarang hanya Rp 20 juta. "Kenapa demikian, saya tak tahu. Itu urusan Pusat," kata Soemarno . Dampak bubarnya ITT berpengaruh juga pada pendidikan tinggi tekstil di tempat lain, terutama yang dikelola swasta. Misalnya Jurusan Teknologi Tekstil Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (UII) Yogya dan Fakultas Teknologi Tekstil Universitas Syekh Maulana Yusuf, Tangerang. Kedua lembaga ini sebelumnya mengindukk ITT dalam pelaksanaan ujian negara. Bagaimana mungkin STTT, yang tak menghasilkan proram S-1, bisa menguji program S-1? Tapi, menurut Nurman, ketua Jurusan Teknologi Tekstil UII, sudah ada pembicaraan mengenai soal itu, pekan lalu. Dampak untuk UII sementara tidak ada. "Bubarnya ITT secara akademis tidak berpengaruh ke UII," kata Nurman. Alasannya, bekas dosen-dosen ITT itu masih tetap mengajar di STTT. "Biarpun lembaganya tak ada, kepangkatan akademis dosen-dosen itu tetap melekat, jadi tak ada masalah untuk menguji mahasiswa UII." Dan UII, tetap akan mencetak sarjana tekstil dengan gelar insinyur, karena lembaga pendidikan ini di bawah P dan K. Cuma saja, dampak masa depan ada. Karena itu, Nurman mengusulkan agar pemerintah secepatnya mendirikan perguruan tinggi negeri tekstil, "Untuk membina kami-kami yang swasta ini."Agus Basri dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini