TAK lama setelah Jaksa Agung Ismail Saleh mengumumkan bahwa
perkara tenggelamnya KM Tampomas 11 tidak akan diadili,
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rabu pekan lalu menjatuhkan
hukuman 4 tahun penjara, tambah denda Rp 20 juta (subsider 4
bulan kurungan) kepada Direktur PT PANN, Nuzwari Chatab. Nuzwari
menurut majelis hakim, terbukti melakukan korupsi dalam
pembelian kapal Tampomas yang tenggelam itu.
Ketua Majelis Hakim Soedijono bergantian selam 3« jam membacakan
vonis setebal 117 halaman dengan anggota-anggotanya Setiawan dan
Achmad S. Intan. Intinya, majelis berkesimpulan, Nuzwari
terbukti bersalah, seperti tuntutan Jaksa Bob Nasution. Insinyur
perkapalan itu kata hakim telah melakukan perbuatan melawan
hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
merugikan keuangan negara (UU No. 3/1971).
Kesalahan utama Nuzwari yang dianggap melawan hukum oleh majelis
adalah karena dia sebagai Dir-Ut PT PANN menandatangani Protocol
of delivery bersama George Hendra dari Komodo Marine, 27 Mei
1980. Surat penyerahan kapal itu, kata majelis, tidak sesuai
dengan Memorandum of agreement (MOA) yang ditandatangani 23
Februari. Khususnya dalam MOA disebutkan notasi kelas kapal yang
akan diserahkan itu sebagai kapal penumpang ternyata yang
diterima kemudian kapal ferry. Selebihnya, Nuzwari juga dianggap
menerima saja KM Tampomas II itu padahal tidak selengkap seperti
diperinci dalam MOA. Sedangkan dalam perjanjian penyerahan itu
disebutkan Tampomas II diserahkan sesuai dengan MOA.
Berubahnya kondisi kapal dari perjanjian semula dianggap majelis
tanpa alasan yang bisa diterima. Apalagi, Hendra ketika
memodifikasikan kapal itu di Nippon Kaiji Kiokai (NKK), tidak
meminta notasi kelas kapal dijadikan kapal penumpang. Sebagai
broker kapal, Hendra menerima kelas ferry itu. Dan hakim
menyalahkan Nuzwari yang menerima saja kapal itu seakan-akan
sudah sesuai dengan perjanjian sebelumnya.
Tindakan-tindakan Nuzwari itu juga dianggap hakim tidak sesuai
dengan perintah atasannya, Dir-Jen Perla. Salah satu
penyimpangan yang dilakukan Nuzwari disebutkan,
ditandatanganinya Protocol of delivery itu sebelum Inspektur
pemerintah selesai memeriksa kapal yang akan dibeli. Padahal,
kapal Tampomas II selain tidak cocok kelasnya dengan MOA juga
terdapat kekurangan sekitar 25 items yang disebutkan dalam MOA.
Antara lain tidak adanya pemasangan TV set, SSB, tidak ada
perbaikan AC, jaket pelampung dan alat pemadam kebakaran yang
tidak memenuhi syarat.
Alasan pembela Azwar Karim, tentang mendesaknya waktu untuk
pengadaan kapal menjelang Lebaran, juga tidak bisa diterima
hakim untuk memaafkan Nuzwari. "Tidak ada pihak yang
mengemukakan ada keadaan darurat," pertimbangan majelis. Begitu
pula adanya sertifikat yang dikeluarkan Perla dan juga
dispensasi lainnya, ternyata tidak banyak menolong Nuzwari di
mata hakim.
Bahkan, majelis tidak pula mempersoalkan adanya instruksi
Sek-Dit-Jen Perla J.E. Habibie, 13 Maret 1980, per telex ke
Jepang, tentang tidak mutlaknya pemasangan alat pemadam
kebakaran otomatis (sprinkle). Begitu pula majelis tak
menyinggung pernyataan-pernyataan Menteri Perhubungan Roesmin
Noerjadin di DPR, yang mengemukakan tidak adanya manipulasi
dalam pengadaan Tampomas II.
Sebaliknya, majelis hakim berpendapat, dengan ditandatanganinya
Protocol of delivety oleh Nuzwari itu, unsur memperkaya diri
atau orang lain (George Hendra terpenuhi pula. Sebab, kata
majelis, berdasarkan surat itu, Hendra bisa menguangkan LC
Bapindo melalui BNI 1946 di Hongkong senilai US$ 8,3 juta. Dari
jumlah sebesar itu sudah termasuk untuk modifikasi kelas
penumpang seharga USS 350.000. Padahal Hendra hanya mengeluarkan
US$ 200.000. "Selisih US$ 150.000 itu merupakan keuntungan
George Hendra dengan melawan hukum," ujar hakim. Dan dari semua
1 hakim mengkalkulasikan keuntungan tidak halal George Hendra
mencapai nilai Rp 133 juta lebih.
Tapi apakah uang sebanyak itu sudahmemenuhi unsur memperkaya
diri? "Itu memang relatif, tergantung siapa yang memegang uang
itu. Unruk Hendra yang hanya jadi calo, itu sudah memperkaya
diri," komentar seorang hakim anggota selesai sidang. Menurut
hakim ini, sebenarnya perhitungan kasar majelis, keuntungan
Hendra meliputi US$ « juta. Tapi yang bisa dibuktikan dengan
kongkrit hanya sebanyak itu. "Apa itu bukan memperkaya diri
sendiri atau orang lain," ujar hakim yang tak mau disebutkan
namanya itu.
Kekayaan yang diperoleh dengan melawan hukum oleh Henda itu
kata hakim, di pihak lain merupakan kerugian negara Soal
kerugian negara ini, menjadi topik yang paling hangat dalam
persidangan itu. Sebab, ketika persidangan baru dimulai,
terungkap adanya sepucuk surat rahasia dari Menteri Perhubungan
kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan
negara tidak dirugikan. Malah menurut surat Menteri itu,
pendapatan negara mencapai Rp 3 milyar karena KM Tampomas 11
sempat beroperasi selama 8 bulan.
Surat rahasia yang ditandatangani Dir-Jen Perla Pongky Supardjo
tertanggal 6 Agustus itu juga menyebutkan tentan sudah
diterimanya pertanggungan asuransi tas tnggelamnya kapal itu.
Surat itu sempat membuat heboh, karena dinilai jaksa sebagai
mencampur wewenang pengadilan Sebab dinyatakan pula dalam
surat itu adanya alasan mendesak untuk kepentingan umum,
sehingga pemerintah terpaksa mengadakan kapal Tampomas yang
serlula bernama Great Emerald itu.
Tapi benarkah negara itu rugi? Pembela Nuzwari, Azwar Karim,
sependapat dengan Menteri. Dalam pembelaannya Azwar melampirkan
neraca rugi laba PT PANN dan PT Pelni. Dari lampiran itu
ternyata PT PANN untung dari transaksi kapal itu sebesar Rp 947
juta dan PT Pelni kebagian Rp 134 juta dari hasil operasi kapal
itu--yaitu dari sisa pendapatan Rp 3 milyar dikurangi ongkos
operasi. Azwar menganggap pernyataan Menteri itu sebagai ucapan
pemilik saham di kedua perusahaan pemerintah itu. "Jika pemilik
sendiri menyatakan negara tidak rugi, kenapa yang bukan pemilik
menyatakan negara rugi?" tanya Azwar Karim dalam pembelaannya.
Pertentangan siapa sebenarnya yang menjadi wakil pemerintah,
memang hangat. Apakah Departemen Perhubungan atau Kejaksaan?
"Pendapat jaksa bahwa dia sebagai wakil pemerintah dalam
penuntutan adalah benar. Sama benarnya dengan Menteri
Perhubungan sebagai wakil pemerintah dalam hal pemilikan saham
kedua perusahaan negara itu," ujar Azwar Karim.
Sebaliknya Bob Nasution, tidak dapat menerima alasan Menteri
Perhubungan dan pembela itu. "Jangan dihitung dari saldo
perusahaan. Kita menghitung kerugian ketika kapal itu dibeli.
Barang yang dibeli Rp 100 ternyata yang diserahkan hanya
berharga Rp 90, apa itu tidak rugi," tanya Bob yang mengaku puas
atas putusan hakim itu.
Bak bersilat lidah, Azwar pun tampil. "Si Bob, benar kalau cara
menghitungnya seperti itu. Tapi ia lupa, kalau saja Nuzwari
membatalkan pembelian kapal itu, negara akan lebih rugi lagi.
Semua keuntungan yang kemudian ada di saldo perusahaan, adalah
hasil dari keputusan pembelian kapal itu," ujar Azwar, bekas
jaksa itu. Ia menilai tindakan Nuzwari dalam pembelian Tampomas
II itu sebagai taktik yang biasa dalam dunia dagang. "Ini
susahnya, orang hukum itu cara berpikirnya legalistis," tambah
Azwar lagi.
Kali ini ternyata Bob yang menang. Majelis Hakim membenarkan
argumentasi jaksa dan menerima tuntutan jaksa. Azwar atau
Menteri Perhubungan boleh kecewa. Bob Nasution mendapat ucapan
selamat dari rekan-rekan dan kenalannya. "Saya tidak naik
banding dan saya paling puas dalam perkara ini, karena saya
mulai dari penyidikan sampai berhasil penuntutan," ujar Bob
Nasution sebelum kembali ke posnya di Surabaya (Ia kini asisten
I bidang Intel Kejaksaan Tinggi Ja-Tim). Ia sebelumnya menuntut
5 tahun penjara.
Di pihak lain kekecewaan yang mendalam tentunya di kalangan
keluarga Nuzwari. Nyonya Nuzwari Chatab, hampir tak bisa menahan
tangisnya lagi mendengar keputusan hakim. Ia mencoba merangkul
suaminya selesai sidang. Tapi Nuzwari cukup kuat. Ia tidak
membalas emosi istrinya yang hampir meledak itu. Tapi, "saya
masih tetap merasa tidak bersalah," ujar Nuzwari kepada
pengacaranya Azwar Karim. Seorang hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tenang saja melihat kegembiraan dan kekecewaan
itu. "Hukum memang tidak untuk menyenangkan semua pihak," ujar
hakim itu datar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini