Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tampomas, untung-rugi siapa? tampomas, untung-rugi siapa?

Bekas direktur pt pann, dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, terbukti melakukan korupsi dalam pembelian kapal tampomas ii.(hk)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK lama setelah Jaksa Agung Ismail Saleh mengumumkan bahwa perkara tenggelamnya KM Tampomas 11 tidak akan diadili, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Rabu pekan lalu menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara, tambah denda Rp 20 juta (subsider 4 bulan kurungan) kepada Direktur PT PANN, Nuzwari Chatab. Nuzwari menurut majelis hakim, terbukti melakukan korupsi dalam pembelian kapal Tampomas yang tenggelam itu. Ketua Majelis Hakim Soedijono bergantian selam 3« jam membacakan vonis setebal 117 halaman dengan anggota-anggotanya Setiawan dan Achmad S. Intan. Intinya, majelis berkesimpulan, Nuzwari terbukti bersalah, seperti tuntutan Jaksa Bob Nasution. Insinyur perkapalan itu kata hakim telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara (UU No. 3/1971). Kesalahan utama Nuzwari yang dianggap melawan hukum oleh majelis adalah karena dia sebagai Dir-Ut PT PANN menandatangani Protocol of delivery bersama George Hendra dari Komodo Marine, 27 Mei 1980. Surat penyerahan kapal itu, kata majelis, tidak sesuai dengan Memorandum of agreement (MOA) yang ditandatangani 23 Februari. Khususnya dalam MOA disebutkan notasi kelas kapal yang akan diserahkan itu sebagai kapal penumpang ternyata yang diterima kemudian kapal ferry. Selebihnya, Nuzwari juga dianggap menerima saja KM Tampomas II itu padahal tidak selengkap seperti diperinci dalam MOA. Sedangkan dalam perjanjian penyerahan itu disebutkan Tampomas II diserahkan sesuai dengan MOA. Berubahnya kondisi kapal dari perjanjian semula dianggap majelis tanpa alasan yang bisa diterima. Apalagi, Hendra ketika memodifikasikan kapal itu di Nippon Kaiji Kiokai (NKK), tidak meminta notasi kelas kapal dijadikan kapal penumpang. Sebagai broker kapal, Hendra menerima kelas ferry itu. Dan hakim menyalahkan Nuzwari yang menerima saja kapal itu seakan-akan sudah sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Tindakan-tindakan Nuzwari itu juga dianggap hakim tidak sesuai dengan perintah atasannya, Dir-Jen Perla. Salah satu penyimpangan yang dilakukan Nuzwari disebutkan, ditandatanganinya Protocol of delivery itu sebelum Inspektur pemerintah selesai memeriksa kapal yang akan dibeli. Padahal, kapal Tampomas II selain tidak cocok kelasnya dengan MOA juga terdapat kekurangan sekitar 25 items yang disebutkan dalam MOA. Antara lain tidak adanya pemasangan TV set, SSB, tidak ada perbaikan AC, jaket pelampung dan alat pemadam kebakaran yang tidak memenuhi syarat. Alasan pembela Azwar Karim, tentang mendesaknya waktu untuk pengadaan kapal menjelang Lebaran, juga tidak bisa diterima hakim untuk memaafkan Nuzwari. "Tidak ada pihak yang mengemukakan ada keadaan darurat," pertimbangan majelis. Begitu pula adanya sertifikat yang dikeluarkan Perla dan juga dispensasi lainnya, ternyata tidak banyak menolong Nuzwari di mata hakim. Bahkan, majelis tidak pula mempersoalkan adanya instruksi Sek-Dit-Jen Perla J.E. Habibie, 13 Maret 1980, per telex ke Jepang, tentang tidak mutlaknya pemasangan alat pemadam kebakaran otomatis (sprinkle). Begitu pula majelis tak menyinggung pernyataan-pernyataan Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin di DPR, yang mengemukakan tidak adanya manipulasi dalam pengadaan Tampomas II. Sebaliknya, majelis hakim berpendapat, dengan ditandatanganinya Protocol of delivety oleh Nuzwari itu, unsur memperkaya diri atau orang lain (George Hendra terpenuhi pula. Sebab, kata majelis, berdasarkan surat itu, Hendra bisa menguangkan LC Bapindo melalui BNI 1946 di Hongkong senilai US$ 8,3 juta. Dari jumlah sebesar itu sudah termasuk untuk modifikasi kelas penumpang seharga USS 350.000. Padahal Hendra hanya mengeluarkan US$ 200.000. "Selisih US$ 150.000 itu merupakan keuntungan George Hendra dengan melawan hukum," ujar hakim. Dan dari semua 1 hakim mengkalkulasikan keuntungan tidak halal George Hendra mencapai nilai Rp 133 juta lebih. Tapi apakah uang sebanyak itu sudahmemenuhi unsur memperkaya diri? "Itu memang relatif, tergantung siapa yang memegang uang itu. Unruk Hendra yang hanya jadi calo, itu sudah memperkaya diri," komentar seorang hakim anggota selesai sidang. Menurut hakim ini, sebenarnya perhitungan kasar majelis, keuntungan Hendra meliputi US$ « juta. Tapi yang bisa dibuktikan dengan kongkrit hanya sebanyak itu. "Apa itu bukan memperkaya diri sendiri atau orang lain," ujar hakim yang tak mau disebutkan namanya itu. Kekayaan yang diperoleh dengan melawan hukum oleh Henda itu kata hakim, di pihak lain merupakan kerugian negara Soal kerugian negara ini, menjadi topik yang paling hangat dalam persidangan itu. Sebab, ketika persidangan baru dimulai, terungkap adanya sepucuk surat rahasia dari Menteri Perhubungan kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan negara tidak dirugikan. Malah menurut surat Menteri itu, pendapatan negara mencapai Rp 3 milyar karena KM Tampomas 11 sempat beroperasi selama 8 bulan. Surat rahasia yang ditandatangani Dir-Jen Perla Pongky Supardjo tertanggal 6 Agustus itu juga menyebutkan tentan sudah diterimanya pertanggungan asuransi tas tnggelamnya kapal itu. Surat itu sempat membuat heboh, karena dinilai jaksa sebagai mencampur wewenang pengadilan Sebab dinyatakan pula dalam surat itu adanya alasan mendesak untuk kepentingan umum, sehingga pemerintah terpaksa mengadakan kapal Tampomas yang serlula bernama Great Emerald itu. Tapi benarkah negara itu rugi? Pembela Nuzwari, Azwar Karim, sependapat dengan Menteri. Dalam pembelaannya Azwar melampirkan neraca rugi laba PT PANN dan PT Pelni. Dari lampiran itu ternyata PT PANN untung dari transaksi kapal itu sebesar Rp 947 juta dan PT Pelni kebagian Rp 134 juta dari hasil operasi kapal itu--yaitu dari sisa pendapatan Rp 3 milyar dikurangi ongkos operasi. Azwar menganggap pernyataan Menteri itu sebagai ucapan pemilik saham di kedua perusahaan pemerintah itu. "Jika pemilik sendiri menyatakan negara tidak rugi, kenapa yang bukan pemilik menyatakan negara rugi?" tanya Azwar Karim dalam pembelaannya. Pertentangan siapa sebenarnya yang menjadi wakil pemerintah, memang hangat. Apakah Departemen Perhubungan atau Kejaksaan? "Pendapat jaksa bahwa dia sebagai wakil pemerintah dalam penuntutan adalah benar. Sama benarnya dengan Menteri Perhubungan sebagai wakil pemerintah dalam hal pemilikan saham kedua perusahaan negara itu," ujar Azwar Karim. Sebaliknya Bob Nasution, tidak dapat menerima alasan Menteri Perhubungan dan pembela itu. "Jangan dihitung dari saldo perusahaan. Kita menghitung kerugian ketika kapal itu dibeli. Barang yang dibeli Rp 100 ternyata yang diserahkan hanya berharga Rp 90, apa itu tidak rugi," tanya Bob yang mengaku puas atas putusan hakim itu. Bak bersilat lidah, Azwar pun tampil. "Si Bob, benar kalau cara menghitungnya seperti itu. Tapi ia lupa, kalau saja Nuzwari membatalkan pembelian kapal itu, negara akan lebih rugi lagi. Semua keuntungan yang kemudian ada di saldo perusahaan, adalah hasil dari keputusan pembelian kapal itu," ujar Azwar, bekas jaksa itu. Ia menilai tindakan Nuzwari dalam pembelian Tampomas II itu sebagai taktik yang biasa dalam dunia dagang. "Ini susahnya, orang hukum itu cara berpikirnya legalistis," tambah Azwar lagi. Kali ini ternyata Bob yang menang. Majelis Hakim membenarkan argumentasi jaksa dan menerima tuntutan jaksa. Azwar atau Menteri Perhubungan boleh kecewa. Bob Nasution mendapat ucapan selamat dari rekan-rekan dan kenalannya. "Saya tidak naik banding dan saya paling puas dalam perkara ini, karena saya mulai dari penyidikan sampai berhasil penuntutan," ujar Bob Nasution sebelum kembali ke posnya di Surabaya (Ia kini asisten I bidang Intel Kejaksaan Tinggi Ja-Tim). Ia sebelumnya menuntut 5 tahun penjara. Di pihak lain kekecewaan yang mendalam tentunya di kalangan keluarga Nuzwari. Nyonya Nuzwari Chatab, hampir tak bisa menahan tangisnya lagi mendengar keputusan hakim. Ia mencoba merangkul suaminya selesai sidang. Tapi Nuzwari cukup kuat. Ia tidak membalas emosi istrinya yang hampir meledak itu. Tapi, "saya masih tetap merasa tidak bersalah," ujar Nuzwari kepada pengacaranya Azwar Karim. Seorang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tenang saja melihat kegembiraan dan kekecewaan itu. "Hukum memang tidak untuk menyenangkan semua pihak," ujar hakim itu datar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus