Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sidang di Pengadilan Negeri Pontianak itu tak berlangsung lama, hanya sekitar lima belas menit. Senin dua pekan lalu, majelis hakim yang dipimpin Jimmy Wimpi Luntu, yang menggelar sidang mediasi tersebut, menghadirkan wakil dari penggugat Eka Luky Putra dan wakil tergugat Erwin Teja dan Sudarso Luslim serta Kantor Lelang Pontianak.
Eka Luky keberatan terhadap putusan lelang pada 2 April 2013 yang membuat tanahnya seluas 635 meter persegi "jatuh" ke tangan Sudarso. Ia meradang karena tanahnya yang terletak di Jalan W.R. Supratman—salah satu jalan protokol di Pontianak—dan dibelinya pada 23 Februari 2003 itu disita pengadilan dan kemudian dilelang. "Padahal saya tidak ada sangkut-pautnya dengan perkara apa pun," kata pria 33 tahun ini. Merasa diperlakukan tidak adil, ia menggugat pihak yang membeli tanahnya dan Kantor Lelang.
Tapi pihak tergugat berkeras mereka tidak melakukan kesalahan. Maka, Senin dua pekan lalu itu, mediasi pun berujung buntu dan sidang gugatan dilanjutkan. "Tapi saya berharap mediasi tetap dilakukan di luar sidang," ujar hakim Jimmy.
Eka Luky adalah anak Frendys Lui. Pada awal 2002, ayahnya, yang rumahnya terletak di belakang tanahnya, berselisih dengan Erwin Teja, pengusaha yang juga anak Imran Susanto, pemilik Alas Kusuma Group. Alas Kusuma adalah perusahaan perkayuan terkemuka di Kalimantan Barat.
Perselisihan yang dalam ukuran orang awam bisa jadi hanya urusan sepele itu ternyata ujung-ujungnya berdampak luar biasa. Frendys, 54 tahun, tak hanya meringkuk di penjara. Dia juga dihukum membayar denda ratusan juta rupiah.
Yang membuat Frendys terperanjat: hukuman denda itu belakangan "dialihkan" dengan penyitaan tanah anaknya. "Karena tanah anak saya itu diambil, berarti rumah saya terkurung, tak memiliki akses keluar," katanya. "Mereka berusaha mematikan saya dengan cara jahat."
Peristiwa ini bermula ketika Erwin Teja, yang rumahnya persis terletak di sebelah rumah Frendys, akan membesarkan rumah yang baru dibelinya. Pembangunan tersebut mengakibatkan sebagian rumah Frendys rusak. Frendys, yang sudah 20 tahun tinggal di Jalan W.R. SuÂpratman, menegur pekerja bangunan rumah Erwin, yang lantas berjanji memperbaikinya.
Tapi beberapa hari kemudian tukang tersebut melapor bahwa bosnya keberatan memperbaiki rumah Frendys. Tak kunjung melihat ada niat baik dari Erwin, Frendys menulis surat kepada dinas tata kota agar membantu persoalannya. Surat ini ternyata "bocor" ke wartawan dan muncul di Koran Pontianak dan koran Equator dengan judul "Bangunan Mepet, tanpa IMB" dan "Tetangga Semau Gue Dilaporkan". Menurut Frendys, berita itu muncul tanpa wawancara dengan dirinya. "Mungkin para wartawan mendapat dari sumber-sumber di instansi yang saya kirimi surat itu," ucapnya.
Kendati dalam berita itu tak disebut nama Erwin Teja, Erwin mafhum dirinya yang dimaksud dalam berita tersebut. Erwin melaporkan Frendys ke polisi dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Maka, sejak itu, jalan hidup Frendys pun "terbalik".
Aparat hukum dengan sigap menindaklanjuti kasus ini. Pada Juli 2003, majelis hakim Pengadilan Negeri Pontianak, yang dipimpin Arief Waluyo, memvonis Frendys hukuman lima bulan penjara, dinyatakan terbukti melakukan pencemaran nama baik. Yang membuat Frendys terkejut, begitu ia pulang setelah mengikuti sidang pembacaan vonis, di rumahnya telah berkumpul puluhan polisi, jaksa, dan wartawan. Begitu turun dari mobil, dia langsung dibekuk dan dijebloskan ke rumah tahanan Pontianak.
Pada November 2003, Frendys mengajukan permohonan banding terhadap vonisnya itu. Tak lebih dari dua pekan majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat, yang dipimpin Arsjad Aman, mengetuk putusan: Frendys tetap dinyatakan bersalah. Mahkamah Agung juga menolak kasasinya.
Saat ia ditahan, kasusnya bertambah lagi. Kala itu, dengan janji akan menempatkan Frendys di sel yang tak bercampur dengan narapidana tindak kriminal berat, seorang pejabat rumah tahanan meminta telepon seluler Nokia baru dari dirinya. Belakangan, saat Frendys bebas, polisi menangkapnya dengan tuduhan melakukan penyuapan. Di pengadilan, selain mendakwa dengan penyuapan, jaksa mendakwa Frendys melakukan pemalsuan surat. Kasus ini membuat ia divonis dua tahun penjara.
Frendys melawan. Ia "kabur" ke Jakarta dan mengajukan perlawanan hukum dari kota ini. Tapi, hingga di tingkat Mahkamah Agung, putusan tetap sama. Suatu hari polisi menangkap Frendys di tempat persembunyian di sebuah hotel kecil. Ia dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Sei Raya di pinggiran Pontianak dan bebas bersyarat pada Juli 2010. "Sampai sekarang saya tidak tahu pemalsuan surat apa yang saya lakukan, karena selama itu saya di penjara," katanya.
Mentok di jalur pidana, Frendys mengajukan gugatan perdata terhadap Erwin Teja. Tapi Erwin melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan balik. Hasilnya, pengadilan menghukum Frendys membayar ganti rugi kepada Erwin Rp 100 juta. Merasa pengadilan negeri tak berlaku adil, Frendys mengajukan permohonan banding. Di sini, lagi-lagi perkaranya dipegang majelis hakim yang diketuai Arsjad Iman. Arsjad bahkan menambah hukuman Frendys, yakni harus membayar Rp 500 juta. Di tingkat kasasi, Frendys kembali kalah. Dia tetap dihukum, diperintahkan membayar ganti rugi Rp 500 juta.
Merasa di atas angin, Erwin mengajukan permohonan eksekusi—dan kemudian lelang—terhadap rumah Frendys sebagai pengganti pembayaran denda. Tapi inilah yang terjadi: dokumen perintah eksekusi menunjuk bangunan rumah yang ada batas-batasnya, tapi yang disita tanah kosong milik anak Frendys, Eka Luky. "Penyitaan itu sangat melawan hukum. Itu tanah saya sendiri yang saya beli pada 2003," ujar Eka Luky atas penyitaan tanahnya yang dilakukan pada 10 Oktober 2006. "Dokumen tanah itu juga saya pegang," katanya.
Puncak penyitaan berujung pada lelang tanah itu, yang digelar di Pengadilan Negeri Pontianak pada 2 April lalu. Pemenang lelangnya: Sudarso Luslim, karyawan PT Alas Kusuma, perusahaan kayu milik Imran Susanto, ayah Erwin Teja, yang membeli tanah itu dengan harga Rp 2,5 miliar. Frendys, yang datang ke acara lelang membawa uang Rp 500 juta dengan niat membayar denda, hanya bisa menitikkan air mata melihat tanah anaknya beralih ke orang lain.
Kezaliman yang menimpanya itulah yang kini digugatnya. Sejak sebulan lalu, ia wira-wiri Pontianak-Jakarta untuk mengadukan kasusnya ke sejumlah lembaga hukum. Tiga pekan lalu, misalnya, ia melapor ke Komisi Yudisial. "Saya sudah dianiaya secara hukum," ujarnya. Menurut Frendys, eksekusi terhadap tanah milik anaknya juga menempatkan seolah-olah anaknya pelanggar hukum. "Ini juga merugikan namanya," ucapnya.
Dihubungi dua pekan lalu, Sudarso Luslim menyatakan mengikuti lelang atas inisiatif sendiri. "Ini soal pribadi, tidak ada kaitannya dengan Pak Imran seperti disebut-sebut orang," kata Kepala Tata Usaha Perkayuan PT Alas Kusuma ini.
Pengacara Erwin Teja, Ida Bagus Made, menegaskan pihaknya sudah bertemu dengan Frendys sepekan sebelum lelang. "Tapi dia hanya berjanji saja mau membayar," ujar Ida Bagus, yang juga pengacara Sudarso. Menurut dia, Eka Luky pernah menggugat soal tanahnya, tapi sudah dikalahkan pengadilan.
Kepada Tempo, Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Samsuddin menyatakan pihaknya sebenarnya bermaksud menunda lelang itu. Tapi para peserta lelang mendesak lelang segera dilaksanakan. "Saya juga tidak tahu bahwa yang menang ternyata memiliki hubungan dekat dengan Imran Susanto atau Erwin Teja," katanya. Saat itu, ada 13 peserta lelang.
Sebenarnya Samsuddin juga prihatin terhadap kasus ini. "Tapi kami hanya pelaksana. Soal adanya keberatan pihak yang dirugikan, itu urusan pengadilan," ujarnya.
Hari Daya (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo