Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Telepon untuk hotel Preanger

Pn bandung memutuskan cv haruman, milik idji hatadji harus menyerahkan grand hotel preanger, bandung, kepada pemda ja-bar tapi ditangguhkan ma karena hutang pemerintah lebih besar daripada hutang idji. (hk)

1 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MULANYA dari sebuah acara dengar-pendapat di Komisi A/DPRD Prop. Jawa Barat minggu kedua bulan lalu. Di sana PD (Perusahaan Daerah) Hiburan dan Pariwisata menyatakan kekesalannya. Betapa tidak. Sengketa di pengadilan sudah jelas dimenangkannya: CV Haruman harus menyerahkan kembali Grand Hotel Preanger di Bandung -- yang 5 tahun dikelolanya -- dan membayar Rp 85 juta lebih. Keputusan tersebut, menurut Pengadilan Negeri Bandung, dapat dilaksanakan lebih dulu walaupun pihak yang kalah, CV Haruman, mengadakan perlawanan maupun naik banding. Tapi, apa mau dikata, pelaksanaan keputusan pengadilan 18 September tersebut ternyata macet. Sebab Mahkamah Agung, melalui telepon, minta agar pengadilan menangguhkan pelaksanaan keputusannya. Yang demikian itu menurut pengacara PD Hiburan dan Pariwisata, Hoesen Soemadiredja SH, tidak dapat dibenarkan. Sebab, katanya, perkara yang masih di meja banding belumlah jadi urusan Mahkamah Agung. Kalau konsekuen, lanjut pengacara ini, pengadilan harus tetap melaksanakan keputusannya -- bukankah undang-undang ada membenarkan sebuah keputusan yang dapat dijalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan atau bandingan (pasal 180 HIR). Perihal perintah penundaan melalui telepon memang bukan praktek peradilan yang aneh. Kabarnya hal itu sudah biasa. Itulah sebabnya pejabat di Mahkamah Agung tak ada yang bersedia menjelaskan walaupun dipertanyakan: adakah perintah pertelepon punya dasar hukum? Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Sudarko SH, mencoba mendudukkan persoalan secara sederhana: "Mahkamah Agung hanya ingin cepat saja, sebab melalui surat mungkin terlalu lama di perjalanan." Toh, lanjutnya, perintah telepon itupun akhirnya disusul dengan surat resmi. Keterlaluan Yang lebih menarik adalah kisah utang-piutang antara CV Haruman dengan pemerintah itu sendiri. CV Haruman, milik pengusaha terkenal di Jawa Barat, Idji Hatadji, sejak 1974 mengelola Grand Hotel Preanger berdasarkan kontrak 20 tahun dengan Pemda Tahun pertama Pemda menerima uang sewa Rp 1,25 juta setiap bulan. Tahun berikutnya, sampai Februari tahun ini, setiap bulan Haruman harus setor Rp 1,5 juta. Di samping itu, untuk menyambut PATA (1974), Haruman punya kewajiban memperbaiki wajah hotel tua (dibangun 1907) dengan biaya sedikitnya Rp 200 juta. Tapi seperti terbukti di pengadilan, Haruman ingkar janji. Sewa hanya dibayar pada tahun pertama -- selebihnya ditunggak. Perbaikan yang dijanjikan menjelang PATA ternyata juga tak ada. Oleh karena itu Idji diundang PD Hiburan dan Pariwisata untuk serah terima Preanger. Idji menolak. Pengusaha ini terus-terang mengakui tidak memenuhi kewajibannya membayar sewa hotel. Alasannya dia merasa pemerintah pusat masih mempunyai utang kepadanya "lebih dari seratus kali - utang saya kepada Pemda," katanya. CV Haruman didirikan Idji (1959) untuk membangun gedung-gedung sekolah berikut perlengkapannya dan asrama guru proyek P & K di Jawa dan Sumatera. Pemerinah menjanjikan akan membereskan pembayaran paling lambat 1967. Pembangunan sudah mulai dilaksanakan, tapi belakangan, dengan alasan yang tak begitu jelas, pemerintah membatalkan kontraknya dengan Haruman. Pembayaran juga macet. Itulah piutang Idji terhadap pemerintah pusat. Jumlahnya tak disebutkannya. Sudah lama Idji mencoba menagih. Bahkan belakangan dikatakannya Presiden Soeharto sendiri sudah menurunkan tim untuk membereskan utang negara kepadanya. "Utang kepada luar negeri saja dibayar, masak kepada rakyat sendiri tidak?" katanya. Tapi ia tak tahu kapan semuanya akan beres. "Mungkin saya sendiri tidak sempat mengalami menerima pembayaran itu sendiri," kata pengusaha (52 tahun) dengan 22 anak dari 4 istri tersebut. Urusannya dengan Pemda Ja-Bar, katanya, keterlaluan. "Saya tidak membayar sewa baru 4 tahun sudah diperkarakan, padahal pemerintah sendiri punya utang sudah 15 tahun lamanya belum juga diselesaikan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus