MULANYA dari sebuah acara dengar-pendapat di Komisi A/DPRD Prop.
Jawa Barat minggu kedua bulan lalu. Di sana PD (Perusahaan
Daerah) Hiburan dan Pariwisata menyatakan kekesalannya. Betapa
tidak. Sengketa di pengadilan sudah jelas dimenangkannya: CV
Haruman harus menyerahkan kembali Grand Hotel Preanger di
Bandung -- yang 5 tahun dikelolanya -- dan membayar Rp 85 juta
lebih. Keputusan tersebut, menurut Pengadilan Negeri Bandung,
dapat dilaksanakan lebih dulu walaupun pihak yang kalah, CV
Haruman, mengadakan perlawanan maupun naik banding.
Tapi, apa mau dikata, pelaksanaan keputusan pengadilan 18
September tersebut ternyata macet. Sebab Mahkamah Agung, melalui
telepon, minta agar pengadilan menangguhkan pelaksanaan
keputusannya. Yang demikian itu menurut pengacara PD Hiburan dan
Pariwisata, Hoesen Soemadiredja SH, tidak dapat dibenarkan.
Sebab, katanya, perkara yang masih di meja banding belumlah jadi
urusan Mahkamah Agung. Kalau konsekuen, lanjut pengacara ini,
pengadilan harus tetap melaksanakan keputusannya -- bukankah
undang-undang ada membenarkan sebuah keputusan yang dapat
dijalankan lebih dulu walaupun ada perlawanan atau bandingan
(pasal 180 HIR).
Perihal perintah penundaan melalui telepon memang bukan praktek
peradilan yang aneh. Kabarnya hal itu sudah biasa. Itulah
sebabnya pejabat di Mahkamah Agung tak ada yang bersedia
menjelaskan walaupun dipertanyakan: adakah perintah pertelepon
punya dasar hukum? Ketua Pengadilan Negeri Bandung, Sudarko SH,
mencoba mendudukkan persoalan secara sederhana: "Mahkamah Agung
hanya ingin cepat saja, sebab melalui surat mungkin terlalu lama
di perjalanan." Toh, lanjutnya, perintah telepon itupun akhirnya
disusul dengan surat resmi.
Keterlaluan
Yang lebih menarik adalah kisah utang-piutang antara CV Haruman
dengan pemerintah itu sendiri. CV Haruman, milik pengusaha
terkenal di Jawa Barat, Idji Hatadji, sejak 1974 mengelola Grand
Hotel Preanger berdasarkan kontrak 20 tahun dengan Pemda Tahun
pertama Pemda menerima uang sewa Rp 1,25 juta setiap bulan.
Tahun berikutnya, sampai Februari tahun ini, setiap bulan
Haruman harus setor Rp 1,5 juta. Di samping itu, untuk menyambut
PATA (1974), Haruman punya kewajiban memperbaiki wajah hotel tua
(dibangun 1907) dengan biaya sedikitnya Rp 200 juta.
Tapi seperti terbukti di pengadilan, Haruman ingkar janji. Sewa
hanya dibayar pada tahun pertama -- selebihnya ditunggak.
Perbaikan yang dijanjikan menjelang PATA ternyata juga tak ada.
Oleh karena itu Idji diundang PD Hiburan dan Pariwisata untuk
serah terima Preanger.
Idji menolak. Pengusaha ini terus-terang mengakui tidak memenuhi
kewajibannya membayar sewa hotel. Alasannya dia merasa
pemerintah pusat masih mempunyai utang kepadanya "lebih dari
seratus kali - utang saya kepada Pemda," katanya.
CV Haruman didirikan Idji (1959) untuk membangun gedung-gedung
sekolah berikut perlengkapannya dan asrama guru proyek P & K di
Jawa dan Sumatera. Pemerinah menjanjikan akan membereskan
pembayaran paling lambat 1967. Pembangunan sudah mulai
dilaksanakan, tapi belakangan, dengan alasan yang tak begitu
jelas, pemerintah membatalkan kontraknya dengan Haruman.
Pembayaran juga macet. Itulah piutang Idji terhadap pemerintah
pusat. Jumlahnya tak disebutkannya.
Sudah lama Idji mencoba menagih. Bahkan belakangan dikatakannya
Presiden Soeharto sendiri sudah menurunkan tim untuk membereskan
utang negara kepadanya. "Utang kepada luar negeri saja dibayar,
masak kepada rakyat sendiri tidak?" katanya. Tapi ia tak tahu
kapan semuanya akan beres. "Mungkin saya sendiri tidak sempat
mengalami menerima pembayaran itu sendiri," kata pengusaha (52
tahun) dengan 22 anak dari 4 istri tersebut.
Urusannya dengan Pemda Ja-Bar, katanya, keterlaluan. "Saya tidak
membayar sewa baru 4 tahun sudah diperkarakan, padahal
pemerintah sendiri punya utang sudah 15 tahun lamanya belum juga
diselesaikan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini