DOKTER-DOKTER di RRC membuat kejutan. Di Shanghai mereka
berhasil mencangkok lutut seorang laki-laki dengan lutut mayat.
Operasi pencangkokan itu sendiri berlangsung bulan September
1977, tapi laporan terperinci mengenai sukses itu baru
diceritakan dalam majalah kedokteran Modern Medicine of Asia,
November yang baru lalu.
Seorang buruh berusia 34, Januari 1974 remuk lututnya dalam
suatu kecelakaan. Tak begitu dijelaskan bagaimana keadaan si
pasien ketika itu. Diceritakan setahun setelah mendapat
perawatan lutut itu tetap nyeri, tak bisa leluasa digerakkan dan
si buruh tak dapat memikul beban. Lantas sendi lututnya diganti
dengan yang palsu terbuat dari acrylic. Namun lutut itu tetap
sakit nyut-nyutan. Tak lama kemudian lutut tadi dibongkar lagi.
Acrylic dikeluarkan dan diganti dengan fibreglass.
"Pada tahun 1977 ketika pasien itu datang ke rumahsakit kami
untuk minta pertolongan lebih lanjut, lututnya sudah membengkak
dan hanya bisa berjalan dengan tongkat-ketiak," kata trio ahli
bedah tulang Yang Dongyue, Jiang Zhijie dan Li Hongru dari
rumahsakit Shanghai Hua-Shan dalam majalah kedokteran yang
terbit di Hongkong itu.
Satu-satunya jalan untuk menolong si buruh adalah amputasi. Tapi
dia menolak kakinya dipotong. Dia lantas memutuskan untuk
menerima tawaran pencangkokan sendi lutut. Segera dibentuk 2 tim
dokter. Yang satu melaksanakan pengambilan sendi lutut dari
mayat seorang anak muda. Sedangkan yang satu lagi memotong sendi
lutut si pasien dan menyediakan "tempat" untuk menerima lutut
donor.
Pekerjaan menjadi sangat rumit ketika dokter harus memotong dan
mengeluarkan lutut si pasien dengan memotong bagian bawah tulang
paha dan bagian atas tulang betis. Mereka mengeluarkan tulang
lutut itu seraya meninggalkan pembuluh darah dan jaringan saraf
di sana dalam keadaan terputus.
Setelah bagian dari tulang lulut itu dikeluarkan, kaki si pasien
yang sudah kehilangan lutut itu lantas ditarik ke bawah hingga
mencapai panjang kaki normal. "Kekurangan dari panjang kaki
segera diukur dan hasilnya disampaikan kepada tim dokter yang
melakukan pembedahan terhadap lutut donor," kata dokter-dokter
RRC dalam laporannya. Lutut dari donor itu kemudian dipasangkan
kepada si pasien.
Untuk memudahkan penyambungan saraf yang putus tadi dipergunakan
mikroskop yang bisa memperbesar 6 kali. Otot tulang betis dari
donor dijahitkan dengan saksama pada bagian tubuh si pasien.
Obat-obatan immuno-suppessive digunakan selama setahun untuk
mencegah daya tolak tubuh si pasien terhadap organ yang datang
dari si donor. Sinar X juga dipergunakan. Untuk memperkuat daya
kerja obat tersebut ramu-ramuan asli Tiongkok juga dipergunakan.
Selama pengobatan itu si pasien terserang demam dan lutut
barunya itu terasa nyeri.
Tapi 6 bulan setelah pencangkokan, menurut laporan dokter RRC
tadi, si pasien sudah bisa berjalan dan melakukan latihan untuk
memperkuat lutut baru itu. Sembilan bulan setelah operasi yang
berhasil itu ia malahan sudah mampu menekukkan lututnya itu
tanpa susah payah.
Yang Gagal
Sudah hampir 2 tahun pencangkokan itu berlangsung, namun ketiga
dokter RRC tadi belum bisa menganggap tekerjaan mereka telah
selesai dan sepenuhnya berhasil. "Hasil yang pasti baru bisa
dikemukakan setelah pengamatan yang lebih lama," kata mereka.
Sekalipun lutut itu sudah bisa dipergunakan hampir sempurna,
namun belum bisa diketahui apakah jaringan saraf si pasien sudah
tumbuh dan bersatu dengan saraf donor. Sedang lulut baru itu
normal, tak ada tanda kerusakan.
Sebelumnya pencangkokan yang sama sudah pernah dilakukan
terhadap seorang wanita berusia 38, tapi gagal karena infeksi
setelah operasi. Keberhasilan dokter RRC sekali ini nampaknya
memperkokoh kedudukan mereka dalam dunia bedah tulang, terutama
setelah mereka berhasil menyambung kembali tangan yang sudah
putus beberapa tahun yang lalu.
Chehab Rukni Hilmy, dokter ahli bedah tulang dari RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, menyebutkan pencangkokan di Shanghai itu
sebagai "sukses yang luar biasa." Katanya "Sebenarnya
pencangkokan itu sendiri tidaklah rumit mengerjakannya. Yang
jadi soal terbesar dalam tranplantasi semacam itu adalah masalah
daya tolak tubuh dan apakah lutut yang dicangkokkan itu bisa
tumbuh.
Pencangkokan lutut memang sudah dilakukan sejak tahun 1955 oleh
para dokter di Inggris. Namun sampai sekarang yang dicangkokkan
itu adalah lutut buatan, bukan asli dari manusia. Lutut buatan
itu lebih kasar dan kalau ditekuk kadang-kadang terdengar
gemeretak. Jakarta sudah melaksanakannya sejak 1976. Sudah 7
lutut palsu yang dikerjakan di sini. Satu di Surabaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini