Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan sedikit waswas Yusril Ihza Mahendra menjejak ambang Hotel Oasis Amir. Malam sudah lama turun, sekitar pukul 22.00 WIB. Dari lobi hotel, dia berbelok menuju kamar 1021. Tidak terkunci. Yusril melenggang masuk. Selang beberapa menit, dia keluar.
Baru beberapa langkah, satpam hotel mencegatnya. Lalu bersama beberapa polisi mereka menggeledah sekujur tubuhnya. Ini dia! Dari balik celana dalam Yusril, mereka meraih bungkusan merah berisi 26,7 gram heroin. Aparat memang sudah lama mengendus tingkah-pola si Yusril. Dari hotel di kawasan Senen, Jakarta Pusat, polisi langsung menggelandangnya ke kantor Polsek Senen.
”Lagi apes,” kata Yusril saat ditemui dua pekan lalu di tahanan Polda Metro Jaya. Dia meladeni percakapan dengan wajah kuyu. Tubuhnya berbalut celana pendek dan kaus tahanan berwarna biru. Kepada Tempo dia mengakui, tidak menyangka aksinya malam itu bakal terbongkar. Apalagi ini bukan pengalaman pertama. Sebelumnya, dia berhasil menyelundupkan narkoba untuk seorang bandar di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Oya, Yusril di dalam cerita kriminal ini tak ada pertautan apa pun dengan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra. Tokoh kita dalam kisah ini adalah sipir Lembaga Pemasyarakatan Cipinang kelas 1 yang sudah bertugas lima tahun di sana. Kebetulan saja nama mereka sama.
Nahas yang menimpa sipir Yusril, 24 tahun, bermula pada 11 Januari lalu. Hari itu dia mengawali peran sebagai kurir Jefry Hutapea alias Ucok, seorang narapidana Cipinang. Tugasnya adalah mengambil amplop merah berbungkus plastik bening berisi narkoba dari kamar sebuah hotel di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Saat melakukan aksinya, Ucok terus membimbingnya lewat telepon genggam dari dalam penjara, termasuk di sudut kamar mana ia bisa menemukan bungkusan tersebut. ”Ucok terus membimbing dan menenangkan saya,” ujar Yusril. Dia menerima upah Rp 500 ribu setelah bungkusan itu sampai di tangan Ucok.
Sukses di Matraman membikin Yusril ketagihan. Begitu benda haram itu di tangannya, maka mudah saja memasukkannya ke dalam penjara. Karena posisinya sebagai sipir, tak seorang pun yang akan memeriksa dirinya. Begitu sampai di tangan Ucok, ia mendapat ganjarannya. ”Saya diberi Rp 500 ribu,” ujar bapak satu anak itu. Yusril mengaku menerima tawaran menjadi kurir narkoba lantaran tergiur bayarannya. Ia mengaku gajinya Rp 1, 6 juta tak bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. ”Apalagi, sekarang saya harus membayar cicilan motor,” ujarnya kepada Tempo.
Yusril Ihza Mahendra bukan satu-satunya sipir penjara yang terpeleset menjadi kurir narkoba. Maret 2006, Budi Sulistiyono, 24 tahun, yang bertugas di LP Cipinang kelas 1 menyelundupkan dua kilogram ganja kering. Barang haram itu dia bungkus dalam tiga kardus minuman kemasan merek 2 Tang ke blok II F kamar 13. Modus ini terbongkar setelah Sutardjo, teman sejawat Budi yang sedang bertugas menjaga blok menaruh curiga. Kasus serupa terulang pada Juni 2006. Zaenudin, 23 tahun, dan Nusantara Ariyanto, 27 tahun, dua sipir Cipinang lain, menjadi kurir bagi Kamir Santosa, seorang narapidana dengan masa hukuman lima tahun. Kedua sipir itu pun diringkus polisi.
Kepada Tempo Yusril mengatakan, untuk menjadi kurir seorang sipir terlebih dulu harus memiliki hubungan personal yang baik dengan bandar. Hubungan ini biasanya tercipta setelah bandar memberi sejumlah bantuan, baik uang maupun barang. Dari sini tumbuh rasa saling percaya yang berlanjut pada ”kerja sama” di bidang kejahatan narkoba tadi.
Penjelasan di atas diperkuat oleh Dewo (bukan nama sebenarnya) 34 tahun. Dia pengedar narkoba yang pernah ditahan di LP Cipinang kelas satu dan dibebaskan pada Juli 2006. Dewo bercerita, sebelum memulai aksi, bandar terlebih dulu harus mengontak temannya di luar penjara melalui telepon seluler. Orang tersebut diminta datang menjenguk sekaligus berkenalan dengan sipir yang akan ditugaskan sebagai kurir.
Setelah itu, mereka membuat kesepakatan kapan dan di mana narkoba diambil. ”Bisa di hotel atau di rumah makan,” ujar Dewo yang pernah ditahan bersama enam narapidana narkotik dalam satu kamar. Upah yang tinggi adalah daya tarik utama bagi para sipir—setidaknya itulah pengalaman Dewo. Untuk memasukkan satu gram narkoba jenis putaw mereka dibayar kontan minimal Rp 100 ribu. Harga ini melambung sampai lima kali lipat jika dimasukkan jenis sabu-sabu. Di penjara harga satu paket putaw antara Rp 20 ribu sampai 50 ribu. Satu gram putaw bisa ”dimekarkan” jadi sekitar 20-an paket putaw.
Seberapa meriah pasar narkoba di Cipinang? Inilah pengakuan Dewo: selama sembilan bulan di penjara. Dia tidak pernah melihat stok narkoba kosong. Pembeli pun selalu antre. ”Di kamar masing-masing,” dia menjelaskan lokasi para penikmat narkoba beraksi. Para bandar biasa ”buka warung pada pagi dan malam hari”. Kamar dia pernah digunakan sebagai tempat menyimpan ganja selama beberapa waktu.
Dia menambahkan, napi sebenarnya lebih gampang mengkonsumsi narkoba di penjara ketimbang di luar: ”Asal tidak diketahui sipir,” ujarnya. Beberapa sipir bahkan dapat diajak ”salam tempel” jika ada napi yang dipergoki tengah menikmati hajat haram itu. Jarum suntik adalah salah satu media menyuntikkan barang haram itu ke tubuh pemakai. Alhasil, jarum narkoba pun menempati posisi penting dalam ”pasar” narkoba di bui. Satu jarum suntik harganya Rp 20 ribu. Napi yang tidak punya uang tapi hasratnya berkobar-kobar, silakan menyewa, Rp 1.000 sekali suntik.
Kepala LP Cipinang Kelas 1 Gunadi mengatakan, selama narkoba masih beredar di luar penjara, sulit bagi dia untuk menghilangkan narkoba di dalam bui. ”Saya tidak kurang-kurangnya menasihati dan membina pegawai-pegawai saya. Tapi kan kembali ke pribadi masing-masing,” begitu Gunadi menjawab konfirmasi majalah ini. Dia mengakui iming-iming upah adalah godaan terbesar bagi setiap pegawai. ”Apalagi dengan tuntutan hidup di Jakarta yang luar biasa mahal. Padahal gaji hanya Rp 1,6 juta,” ujarnya. .
Wibowo Joko Harjono, Kepala LP Narkoba Cipinang mengakui ada berbagai modus penyelundupan narkoba ke penjara, di antaranya dengan menyelipkan dalam batangan rokok, mi instan atau kemasan air mineral. ”Dari luar seperti air mineral biasa tapi setelah di dalam dipadatkan lagi,” ujar Joko.
Tidak mudah mencegah narkoba masuk ke dalam bui. Selain upah yang besar, atasan juga tidak bisa memantau secara langsung sepak terjang para anak buah yang gandrung berbisnis haram. ”Sulit sekali,” ujar Gunadi. Saat ini LP Cipinang dihuni lebih dari 1.500 orang. Pegawainya, termasuk Kepala Penjara hanya 400 orang. ”Jadi satu sipir mengawasi 250 hingga 500 orang napi,” dia menambahkan.
Razia rutin, menurut Gunadi, adalah salah satu cara untuk mengikis bisnis haram tersebut.
Sialnya, narapidana sering mendapat bocoran soal razia sehingga belum-belum mereka sudah mengungsikan narkobanya ke sel-sel yang lebih aman. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, jumlah sipir di seluruh Indonesia yang terlibat narkoba pada 2006 15 orang. Tujuh di antaranya bertugas di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan dalam wilayah DKI Jakarta.
Kepada Tempo Kepala Bimbingan Pemasyarakatan dan Perawatan Penjara Narkoba Cipinang Eka Priyatna menyatakan, salah satu kesulitan utama mencegah penyelundupan narkoba melalui pembesuk adalah soal etika. ”Kalau kita memeriksa celana dalamnya dan dia bilang sedang datang bulan, bagaimana? ” ujarnya. Sama halnya bila menyuruh orang bertelanjang karena dicurigai membawa narkoba. Padahal, menurut Eka, ”Para bandar selalu menghalalkan segala cara.”
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo