SEORANG bertanya kepada Confucius: bila orang telah sejahtera, apa lagi yang dapat diberikan kepadanya? "Buatlah agar dia menjadi kaya," kata Confucius. Dan kalau orang itu sudah kaya, apa lagi yang dapat diberikan kepadanya? "Didiklah dia," kata Confucius. Menjadi orang kaya yang terdidik, itulah agaknya gambaran ideal dalam paham Confucius. Menjadi kaya, karenanya, adalah sah. Konosuke Matsushita yang arif bahkan tak segan memakai semboyan peace and happiness through prosperity untuk majalahnya. Pikirnya, mustahil seorang merasa tenteram dan bahagia tanpa dukungan kecukupan harta secara layak. Tetapi, orang kaya selalu ingin lebih kaya dan lebih kaya lagi. Ia tidak akan berkesempatan lagi mendidik dirinya. Ketamakan telah mengungkung dirinya. Batas kebahagiaan pun menjadi kabur. Seorang teman duduk tercenung pada awal tahun ini. Ada awan kelabu menggantung di depan matanya. Beberapa staf inti di perusahaannya secara serentak menuntut perbaikan gaji dan paket remunerasi. Tentu ada ancaman menyertai tuntutan itu: keluar. Dan keluarnya tenaga-tenaga senior itu besar kemungkinannya akan berarti lahirnya pesaing-pesaing baru dalam situasi bisnis yang tak menentu ini. That sinking feeling, kata orang Inggris, memang akan membuat semua orang merasa gamang. "Tiba-tiba saya merasa sepi dan ditinggalkan sendiri," keluh teman itu dalam helaan napas yang berat. Dan memang demikianlah seharusnya. Semakin tinggi seorang mendaki, semakin sendiri ia berada. It's lonely at the top, keluhan yang sama ini selalu terdengar di kalangan eksekutif puncak. Keluarnya staf kunci yang merupakan orang-orang terbaik memang mahal dan akibatnya sangat mengganggu. Apalagi bila jumlah yang pergi cukup banyak, hal itu bisa mengeringkan sumber daya manusia sebuah perusahaan yang sangat diperlukan dalam situasi persaingan yang semakin ketat. Pada dasarnya, turnover (keluarnya pegawai dan digantikan dengan pegawai baru) justru dperlukan dalam sistem pembinaan sumber daya manusia. Pada birokrasi saja dikenal sistem tour of duty untuk mencegah agar seseorang tidak menjadi berkarat dan mati kreativitasnya di satu posisi. Turnover yang tinggi tidak diinginkan. Tetapi, turnover yang rendah pun akan sama buruknya. Jangan dulu berbangga bila di kantor kita tak ada seorang pun yang keluar dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Bisa-bisa kantor itu sudah merupakan deadwood, hutan yang dipenuhi kayu mati. Orang-orang sudah telanjur keenakan mendekam di sana dan tidak merasa tertantang untuk berbuat lebih baik lagi. Bagaimanapun baiknya kita mengelola sumber daya manusia, kita akan tetap kehilangan staf terbaik kita. Dan untuk itu kita tidak perlu menyalahkan siapa-siapa. Sudah diberi saham, keluar juga. Sudah diberi kesempatan cuti ke luar negeri, diberi tunjangan pensiun, diberi jabatan yang baik, tetap saia seseorang bisa menemukan ladang rumput yang lebih hijau. Apalagi adanya kecenderungan di kalangan manajer muda yang lebih mementingkan besarnya gaji yang dibawa pulang setiap bulan ketimbang berbagai macam tunjangan. Banyak cara yang bisa dipakai untuk mencegah keluarnya staf inti. Dan cara-cara itu tidak bisa berlaku umum. Diperlukan keluwesan dan banyak perlakuan khusus. Tetapi, yang lebih penting sebenarnya adalah persiapan kita sendiri untuk menggantikan staf yang pergi itu. Bila staf inti pergi, masalah yang ditinggalkannya ada dua: mencari penggantinya, dan mendidiknya agar dapat melaksanakan pekerjaan secara kompeten. Seorang staf yang akan keluar biasanya sudah dapat dideteksi sikap dan kebiasaannya jauh-jauh hari. Bila hal itu sudah dideteksi, maka perlu disiapkan sedemikian rupa agar orang lain dapat melakukan pekerjaannya. Misalnya: dengan melakukan cross training. Bila staf yang satu pergi cuti, tugasi seorang staf yang lain untuk mengisi kekosongannya. Ia harus diberi wewenang sepenuhnya agar apa yang dilakukannya sebagai pejabat sementara itu tidak diubah lagi bila pejabat yang sebenarnya kembali dari cuti. Seorang dari eselon di bawahnya pun dapat dicoba untuk memakai "sepatu" yang lebih besar itu selama atasannya cuti atau dinas luar dalam jangka waktu lama. Kita memang tak dapat sama sekali menghapus kemungkinan ban pecah di dalam perjalanan. Karena itu, haruslah dipastikan bahwa kita membawa ban cadangan dan mempunyai kemampuan untuk mengganti ban itu dalam waktu singkat. Sebab, perjalanan tak boleh berhenti. Bondan Winarno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini