Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati sempat lama diendapkan, kasus peristiwa 27 Juli 1996 memang belum pernah ditutup dan setiap saat bisa digulirkan. Dan sekarang hal itu terjadi. Tim koneksitas—polisi dan polisi militer—segera melimpahkan sebagian berkas perkara tersebut ke kejaksaan.
Kepastian itu datang dari Markas Besar Kepolisian RI. "Tim koneksitas akan mengirimkan kelengkapan berkas tersebut Senin pekan ini," ujar Inspektur Jenderal Polisi Dadang Garnida, Wakil Kepala Badan Reserse dan Kriminal.
Tersangkanya? Dalam berkas itu ada nama Letjen (Purn.) Sutiyoso (bekas Pangdam Jaya), Kolonel Haryanto (bekas Asintel Kodam Jaya) dan Kolonel Tri Tamtomo (bekas Komandan Brigif 1 Pengamanan Ibu Kota Jaya Sakti). (Lihat, Tersangka dan Perannya.)
Sebenarnya Sutiyoso sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak empat tahun silam. Hanya, pada Agustus 2002 Kejaksaan Agung mengembalikan lagi berkas pemeriksaan ke polisi karena dinilai kurang lengkap. Tim penuntut juga meminta agar berkas Sutiyoso dan kawan-kawan dipisahkan dengan berkas tersangka sipil seperti Soerjadi (bekas Ketua PDI) dan Buttu Hutapea (bekas Sekjen PDI).
Tuduhan terhadap bekas Pangdam amat jelas. Dijerat dengan Pasal 170 (Ayat 2) KUHP, Sutiyoso diduga melakukan tindakan kekerasan bersama-sama, menyerang orang dan/atau barang. "Ini tindak pidana koneksitas, bukan kasus pelanggaran hak asasi manusia" kata I Ketut Murtika, Direktur Penanganan Pelanggaran HAM Kejaksaan Agung.
Meletup pada Sabtu pagi, 27 Juli 1996, peristiwa itu dipicu oleh perebutan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta, antara kelompok pendukung Soerjadi dan pendukung Megawati Soekarnoputri. Kelompok pendukung Megawati, yang menguasai kantor, akhirnya diserbu oleh orang-orang yang diduga digerakkan oleh aparat keamanan. Keributan lalu berbuntut pada pembakaran sejumlah gedung di Ibu Kota yang menyebabkan 5 orang tewas, 17 orang hilang, dan ratusan luka-luka.
Di mata tim koneksitas, diduga Sutiyoso mengerahkan aparatnya untuk mengumpulkan massa dan memerintahkan "menyerbu" ke kantor PDI. Dia juga dituduh menyuruh massa yang berada di kawasan kantor Gedung Artha Graha di Semanggi naik truk sipil menuju Jalan Diponegoro.
Kerusuhan delapan tahun silam itu diduga sarat dengan muatan politik. Menurut kesaksian Letjen (Purn.) Suyono (bekas Kasum ABRI), sebelum peristiwa itu meletup pernah diadakan pertemuan di rumah Presiden Soeharto di Jalan Cendana pada 19 Juli. Saat itu Presiden Soeharto di hadapan beberapa petinggi militer dan Polri mengungkapkan keresahannya setelah Megawati Soekarnoputri terpi- lih sebagai Ketua Umum PDI lewat musyawarah nasional.
Pada saat penyerangan, Sutiyoso tampak berada di lokasi dengan pakaian sipil. Hanya, ia membantah berada di tempat tersebut untuk memberi komando penyerbuan. Menurut Sutiyoso, sebagai Pangdam ia wajib berada di lokasi kerusuhan untuk tahu permasalahan.
Terkait dengan peristiwa tersebut, sejumlah anak buah Sutiyoso sebenarnya telah diadili. Mereka adalah Kolonel CZI Budi Purnama (bekas Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Kapten Inf. Suharto (bekas Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya). Bersama dua tersangka dari sipil, mereka dinyatakan tidak bersalah dan diputus bebas oleh Pengadilan Jakarta Pusat pada Januari lalu. Hanya seorang sipil, Jonathan Marpaung Panahatan, yang dihukum dua bulan sepuluh hari. Dia dinyatakan terbukti mengumpulkan massa di Pasar Induk Cipinang, lalu membawanya ke Artha Graha dan ikut melempar batu ke kantor PDI.
Kendati sejumlah tersangka telah diadili, orang tidak menyangka berkas Sutiyoso bakal dibuka lagi. Apalagi, momennya bersamaan dengan kampanye calon presiden. Muncul dugaan, digelindingkannya berkas tersebut untuk "menyudutkan" Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, seorang calon presiden. Maklum, saat kejadian, ia menjabat Kasdam Jaya.
SBY, yang dalam kasus ini diperiksa sebagai saksi, pun bereaksi. "Saya tak keberatan diperiksa lagi, selama tidak bermuatan politik. Saya tahu ini keinginan dari pusat kekuasaan. Silakan," ujarnya kepada pers.
Hanya, menurut Dwi Ria Latifa dari Fraksi PDIP di DPR, SBY tidak boleh ge-er (gede rasa) dulu. "Enggak ada untungnya buat kami membuka kasus ini pada saat seperti ini," ujarnya. Apalagi, ia mengaku sudah berkali-kali menanyakan kasus tersebut ke Kapolri saat dengar pendapat di parlemen, tapi selalu dinyatakan belum ada perkembangan. "Saya juga heran, ujug-ujug menjelang pemilihan presiden malah muncul. Ini tentu saja tak menguntungkan kandidat presiden kami (Megawati—Red.)," kata Ria.
Diakui oleh Ketua Pelaksana Tim Koneksitas Kasus 27 Juli, Brigadir Jenderal Aryanto Sutadi, banyak orang menyangka kasus tersebut telah dipeti-eskan. Padahal masalah ini cuma menyangkut teknis penyidikan. Dia mengungkapkan bahwa berkas tersebut memang perlu dikembalikan lagi ke kejaksaan setelah disempurnakan. Jadi, "Ini murni tugas rutin saya, enggak ada urusannya dengan politik," ujarnya.
Menurut Aryanto, dari 9 berkas yang diajukan penyidik polisi, 6 dikembalikan, dan 3 berkas sudah disidangkan di pengadilan. Dia juga menjelaskan, penyempurnaan berkas yang dikembalikan tersendat lantaran sebagian anggota tim koneksitas telah dimutasi dari jabatannya.
Menghadapi langkah yang dilakukan oleh tim koneksitas, Sutiyoso sendiri tampak tidak gentar. Dia berjanji akan memenuhi proses hukum. "Untuk porsi tingkat Kodam, saya sebagai panglima yang bertanggung jawab. Saya tidak akan lari dari itu, saya akan ambil alih tanggung jawab itu," tuturnya Rabu pekan lalu. Hanya, Sutiyoso meminta pengadilan dilakukan secara fair. "Jangan ada unsur-unsur kepentingan lain," ujarnya.
Permintaan Sutiyoso ini bisa jadi akan dilaksanakan setelah pemilihan presiden nanti 2004 selesai. Sebab Jumat pekan lalu, Presiden Megawati melalui wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung mengkhawatirkan pengusutan kasus 27 Juli 1996 bisa mengganggu proses pemilihan presiden.
Ahmad Taufik, Mawar Martha, Sutarto, dan Sapto Pradityo (TNR)
Tersangka dan Perannya
Tim Koneksitas sebenarnya telah menuntaskan penyidikan pada April 2000. Sebanyak 106 saksi sudah diperiksa dalam kasus 27 Juli. Tersangkanya? Bisa dikelompokkan sebagai berikut:
Politisi PDI.
Mereka antara lain Soerjadi (bekas Ketua Umum PDI), Buttu Hutapea (bekas Sekjen PDI), dan sejumlah politisi seperti Alex Widya Siregar, Harsoko Sudiro, Romulus Sihombing, dan Lukman Mokoginta. Peran mereka: merencanakan merebut kembali kantor PDI dan mengumpulkan massa.
Sipil di luar PDI.
Termasuk dalam kelompok ini, misalnya, Yorrys Raweyai (tokoh Pemuda Pancasila), Yan Rumbia, dan Bram Raweyai.
Mereka diduga bertugas mengkoordinasi massa sipil. Ada juga orang yang berperan mengumpulkan massa di daerahnya masing-masing.
Militer di Cilangkap.
Letjen (Purn.) Syarwan Hamid (bekas Kasospol ABRI) dan Mayjen (Purn.) Zacky Anwar Makarim (bekas Direktur A BIA) termasuk yang dijerat. Mereka dituduh melakukan rapat-rapat perencanaan strategis.
Militer di Kodam Jaya.
Selain Letjen (Purn.) Sutiyoso (bekas Pangdam Jaya), sejumlah nama lain adalah Lettu Inf. Suharto, Kolonel Inf. Haryanto (bekas Asintel Kodam Jaya), dan Kolonel Inf. Tri Tamtomo (bekas Komandan Brigif 1 Pengamanan Ibu Kota Jaya Sakti). Mereka diduga berperan memerintahkan penyerangan, mengumpulkan massa, dan menjaga keamanan penyerangan.
Jajaran Polda Metro Jaya.
Mereka antara lain bekas Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol. Hamaminata (sudah mening-gal), Brigjen Pol. Indro Wasisto (bekas Kapuskodalops Polda Metro Jaya), dan Brigjen Pol. Abubakar Nataprawira (bekas Kapolres Jakarta Pusat). Diduga, mereka berperan mengamankan jalannya penye-rangan dan pengambilalihan kantor PDI.
Sumber: Tim Koneksitas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo