Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENDEKAM di dalam sel tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya tak menghentikan Antasari Azhar, 56 tahun, membuat cerita. Pekan lalu empat lembar pengakuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi non-aktif ini beredar. Pengakuan itu dituangkan dalam tulisan tangan tertanggal 16 Mei 2009 dan diberi judul ”Testimoni”. Isinya soal pengakuan Anggoro Widjojo, Direktur PT Masaro Radikom, telah memberikan uang kepada dua anggota pimpinan dan satu staf KPK. ”Bahkan ada penyerahan tahap ke-2 kepada salah satu pimpinan,” demikian tulis Antasari dalam testimoninya itu.
Ada banyak versi beredar seputar testimoni Antasari ini. Pengakuan itu sekaligus semakin membuat terang-benderang adanya pertemuan rahasia yang terjadi antara Antasari dan Anggoro di Singapura pada Oktober lalu (Tempo, 3 Agustus 2009). Dalam pertemuan itu, seperti yang direkam oleh Antasari sendiri, Anggoro mengaku memberikan Rp 6 miliar kepada Mochammad Jasin, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, dan Ade Rahardja, Deputi Direktur Penindakan.
Menurut Juniver Girsang, pengacara Antasari, testimoni itu memang mengkonfirmasi isi rekaman yang diambil dari laptop Antasari. Pengakuan Antasari itu, ujar Juniver, dibuat atas permintaan polisi untuk pengembangan perkara dugaan suap kepada pimpinan KPK. Menurut Juniver, testimoni itu dibuat pada Juni, bukan 16 Mei seperti tertulis dalam testimoni tersebut. ”Jauh hari setelah polisi menggeledah kantor Pak Antasari,” kata Juniver.
Juniver menyatakan tidak tahu di mana testimoni itu dibuat. Tapi, sumber Tempo menyebut, pengakuan tertulis itu dibuat Antasari di dalam sel tahanan. ”Malam-malam,” ujar sumber itu. Saat itu, ia didatangi beberapa polisi dari Markas Besar Polri dan Polda Metro. Dua di antaranya berpangkat komisaris besar. Mereka meminta Antasari memastikan sebuah rekaman percakapan yang ada suaranya. ”Pak Antasari membenarkan isi rekaman itu,” tutur sumber itu, Kamis pekan lalu.
Di dalam sel Antasari itulah polisi meminta Ketua KPK tersebut menyampaikan konfirmasinya dalam bentuk tertulis dan melaporkannya ke polisi. Nah, ”laporan” Antasari itu, seperti dalam dokumen yang diperoleh Tempo, diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Polda Metro Jaya pada Senin 6 Juli 2009 pukul 22.55. Di situ disebutkan, telah terjadi tindak pidana korupsi (suap) kepada pegawai KPK, pada pertengahan 2008 di kantor KPK dan sekitarnya dengan saksi Ari dan Anggoro. ”Jadi, testimoni dan laporan polisi itu dibuat di ruang tahanan dalam waktu bersamaan, hampir tengah malam,” sumber ini menegaskan. Apakah testimoni itu dibuat secara sukarela atau di bawah tekanan? Kepada Tempo, Ari Yusuf Amir, pengacara Antasari lainnya, mengingatkan posisi Antasari sebagai tahanan. ”Kondisi orang dalam tahanan sangat berbeda dengan orang bebas, cara berpikir maupun bertindaknya,” katanya.
Sumber Tempo yang lain membenarkan, testimoni itu dibuat pada Sabtu, 16 Mei 2009, sekitar dua pekan setelah Antasari ditahan. Sebetulnya, kata sumber ini, bapak dua putri ini enggan membuat laporan ke polisi karena sadar cerita dugaan penyuapan itu tidak kuat. ”Tapi polisinya ngotot,” ujar sumber ini.
Bagi polisi, sumber ini menuturkan, testimoni Antasari memang menambah ”peluru” untuk berhadapan dengan KPK. Maklum, hubungan polisi dan KPK tengah tidak harmonis. Adapun bagi Antasari, yang menjadi tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, testimoni ini bisa ”ditukar” dengan keringanan hukuman. ”Malah kalau bisa bebas,” sumber itu melanjutkan.
Sebulan setelah testimoni dibuat, masih kata sumber ini, untuk kedua kalinya polisi datang ke kantor KPK untuk mengambil rekaman itu. Menurut sumber ini, polisi saat itu tidak begitu ”bergairah” mengambil rekaman setelah mendengar isinya ternyata tak ada kaitannya dengan pembunuhan Nasrudin. Adapun pihak KPK bersikap ”isi” laptop itu tak boleh diambil karena tak berhubungan dengan kasus pembunuhan Nasrudin. Tapi Antasari, yang saat itu ikut datang ke KPK, justru ngotot meminta rekaman itu diambil. Kala itu, ia menekankan kepada koleganya, dia masih berstatus Ketua KPK. ”Hormati saya!” kata Antasari seperti ditirukan sumber Tempo. Alhasil, rekaman percakapan Antasari-Anggoro pun akhirnya berpindah dari laptop dinas Antasari ke tangan polisi.
Saat ini kasus dugaan penyuapan pimpinan KPK itu sudah ditangani penyidik Mabes Polri. Menurut juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Nanan Soekarno, testimoni ini masih dalam tahap penyelidikan. ”Apakah bisa menjadi alat bukti atau tidak,” ujarnya. Sedikitnya empat orang yang terkait dengan ”cerita” Antasari telah diperiksa. ”Tapi namanya tidak bisa saya sebutkan,” katanya.
SELAIN testimoni dan rekaman percakapan Antasari Azhar dengan Anggoro Widjojo, polisi juga diketahui memegang surat pencabutan cekal terhadap Anggoro dan tiga petinggi PT Masaro lainnya, yakni Presiden Direktur Putranefo A. Prayugo, Presiden Komisaris Anggono Widjojo, dan Direktur Keuangan David Angka Wijaya. Surat pencabutan pencekalan yang ditandatangani Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan, Chandra Hamzah, itu tertanggal 5 Juni 2009. Ketiga barang bukti ini seolah menguatkan dugaan penyuapan kepada pimpinan KPK sebesar Rp 6 miliar.
”Suap” itu, menurut Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Bibit Samad Rianto, bertujuan, pertama, agar KPK mengembalikan seluruh barang bukti yang disita dari kantor PT Masaro. Kedua, pelarangan bepergian ke luar negeri (cekal) terhadap Anggoro dan kawan-kawan dicabut, dan ketiga, penyidikan kasus PT Masaro dihentikan. ”Ini menurut klarifikasi polisi ke Pak Ade,” kata Bibit. Ade yang dimaksud Bibit adalah Ade Rahardja, Deputi Direktur Penindakan KPK.
Para pimpinan KPK sendiri langsung bereaksi tatkala testimoni Antasari itu beredar ke mana-mana. Kamis pekan lalu, bersama Chandra Hamzah dan Wakil Ketua Bidang Pencegahan Mochammad Jasin, Bibit mengadakan pertemuan dengan Kepala Polri Bambang Hendarso Danuri di Mabes Polri. Sepulang dari pertemuan, ketiga anggota pimpinan ini menggelar jumpa pers, mengirim serangan balik ke Antasari.
”Tidak benar pimpinan KPK menerima suap dari tersangka Anggoro,” kata Jasin. Buktinya, kata Jasin, penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat Sistem Komunikasi dan Radio Terpadu Departemen Kehutanan oleh PT Masaro masih terus berlangsung. ”Barang bukti yang disita dari kantor PT Masaro juga masih di tangan kami,” tutur Jasin. KPK, kata Jasin, juga belum pernah mencabut pencekalan terhadap Anggoro dan petinggi Masaro lainnya.
Chandra Hamzah menegaskan surat pencabutan pencekalan Anggoro yang kini ada di tangan polisi itu palsu. Ia menunjuk sejumlah kejanggalan dalam surat pencekalan milik Anggoro tersebut. ”Tanda tangan saya juga dipalsukan,” katanya.
Tentang dugaan pemalsuan surat pencabutan cekal itu sudah pula disampaikan KPK ke Kapolri. ”Kami berharap Kapolri menindaklanjuti masalah ini, termasuk mencari pemalsunya,” kata Chandra. Menurut Chandra, testimoni yang ditulis Antasari merupakan testimonium de auditu atau keterangan yang diperoleh orang lain. Menurut Chandra, mengacu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, testimoni seperti itu tidak bisa dijadikan alat bukti. ”Keterangan yang katanya ini, katanya itu, nggak bisa jadi barang bukti,” ujarnya.
TAK hanya polisi yang memegang rekaman percakapan Antasari dan Anggoro. Menurut sumber Tempo, begitu Antasari berhasil ”mengambil” rekaman pembicaraannya yang tersimpan dalam laptop kerjanya, sejumlah penyidik KPK lalu melacak alat perekam yang dipakai Antasari saat bertemu dengan Anggoro. Menurut Jasin, rekaman asli Antasari-Anggoro tersimpan di dalam alat perekam Olympus DM-20. Dari perekam itulah KPK mengetahui isi percakapan Antasari dengan Anggoro. ”Menurut catatan, perekam itu dipinjam pada 8 Oktober 2008,” kata Jasin.
Menurut Jasin, sehari setelah meminjam Olympus DM-20 itu, Antasari terbang ke Singapura. Tak ada satu pun pimpinan KPK yang tahu untuk urusan apa sesungguhnya kepergian Antasari ke Negeri Singa. ”Gelap,” ujar Jasin. Penelusuran pengawas internal KPK menemukan petunjuk, pertemuan Antasari dengan Anggoro dilakukan di sebuah hotel pada 10 Oktober. Tiga hari kemudian Antasari terbang ke Malang, menjenguk istri Jasin yang saat itu tengah sakit.
Sumber Tempo menyebut, saat itulah Antasari memberi Jasin duit S$ 10.000. Jasin terkejut ketika Tempo meminta klarifikasi pemberian duit Rp 70 juta tersebut. ”Uang itu langsung dimasukkan ke kantong kemeja saya. Terus saya bilang, Pak, ini gratifikasi,” kata Jasin. Menurut Jasin, ketika di Jakarta, uang dari Antasari itu ia serahkan kepada Direktorat Gratifikasi KPK.
Di dalam testimoninya, Antasari menyebutkan di Hotel Tugu, Malang, dia bertemu seseorang bernama Ari yang menceritakan secara rinci proses penyerahan duit kepada pimpinan KPK. Jasin menekankan, testimoni maupun laporan Antasari belum tentu benar. Begitu pula pengakuan Anggoro kepada Antasari. ”Mungkin saja Anggoro menipu Antasari,” katanya.
Ade Rahardja, yang juga disebut-sebut mendapat bagian dari Rp 6 miliar, seperti yang dikatakan Anggoro kepada Antasari, menutup mulutnya rapat-rapat saat Tempo meminta konfirmasi soal duit itu. ”Cukup dari Pak Jasin saja,” katanya. Menurut Bibit Samad Rianto, Ade sudah dipanggil penyidik Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan perihal suap dan surat palsu itu. ”Bukan diperiksa, cuma dimintai klarifikasi,” ujar Bibit.
Jasin tak terkejut ketika Tempo memperlihatkan transkrip percakapan Antasari dengan Anggoro. ”Sudah lama saya tahu itu,” katanya. Dia malah menunjukkan beberapa percakapan yang memberikan indikasi ”permainan” Antasari dengan Anggoro. Jasin menunjuk bagian akhir dialog antara Anggoro dan Antasari di Singapura itu. Di situ Anggoro berkata, ”Sebelumnya saya matur sembah nuwun” (terima kasih). Adapun Antasari menjawab, ”Tolong, tolong, itu nanti, oke.” Menurut Jasin, ini seperti ada janji. ”Kalau dia pejabat, kan harusnya menolak.”
Menurut Bibit, yang paling disesalkan pimpinan KPK lainnya, kenapa Antasari tidak pernah menyampaikan pertemuannya dengan Anggoro, yang ketika itu sudah berstatus dicekal. Anggoro, ujar Bibit, saat itu merupakan saksi yang sedang dicari KPK. ”Bolak-balik dipanggil tidak pernah datang,” kata Bibit. Antasari juga kemudian ”menyembunyikan” rekaman itu. ”Ini kan soal kejujuran,” ucapnya.
Pengacara Antasari, Maqdir Ismail, melihat yang dilakukan kliennya itu dalam rangka mendapatkan kebenaran material sebuah masalah. Dia juga membantah Antasari mendiamkan bukti rekaman itu. ”Menurut Pak Antasari, dia sudah cerita kepada Chandra dan Haryono Umar (wakil ketua),” ujar Maqdir. Untuk soal ini, baik Chandra maupun Haryono tidak bisa dimintai konfirmasi. Telepon genggam dan pesan singkat yang dikirim Tempo tidak mendapat balasan.
Di mata bekas Wakil Ketua KPK, Erry Riyana Hardjapamekas, yang dilakukan Antasari itu jelas melanggar Pasal 36 Undang-Undang KPK, yang melarang pimpinan KPK bertemu dengan orang beperkara. Menurut Erry, pertemuan dan testimoni Antasari harus diinvestigasi lebih lanjut oleh KPK. Apabila bukti pelanggaran itu cukup, KPK, ujar Erry, bisa melaporkan Antasari ke polisi. ”Dugaan tindak pidananya jelas, sebagai ketua, dia bertemu orang yang beperkara.” Menurut Pasal 65 Undang-Undang KPK, Antasari bisa dihukum lima tahun penjara karena tindakannya tersebut.
Bagi Maqdir, testimoni maupun bukti rekaman kliennya itu tidak menguntungkan sama sekali untuk Antasari sendiri. ”Yang pasti, menambah perkara kalau dilihat sudah melanggar Undang-Undang KPK,” katanya.
Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Riky Ferdianto, Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo