Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tewasnya homo

Ian Kenneth, warga Australia yang diduga homo, ditemukan tewas di bungalo ayodya, Karangasem, Bali. Korban sering berganti teman kencan. Terakhir dengan Iwan yang kini menghilang. Korban mengidap AIDS stadium tiga.

23 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN lebat mengguyur, Candidasa, kawasan wisata di Karangasem, 60 kilometer dari Denpasar, Bali. Cuaca dingin rupanya tak mampu meredam kecurigaan I Gusti Nyoman Rajeg, pemilik 16 Bungalo Ayodya, sekitar 50 meter dari pantai itu. Siang, Sabtu 9 Januari lalu, ia mencurigai tamunya yang menghuni bungalo nomor 1 yang letaknya agak terpencil, tapi dekat pantai. Sudah dua hari tamunya tak keluar mengambil sarapan pagi berupa telur rebus dan salad. Ia menyuruh pembantunya mengintip. Astaga, di bungalo terbu~jur seseorang berselimutkan kain hingga menutup kepalanya. Rajeg segera memanggil Satpam Ketut Griya. Di sana juga ada Serda. Karang, dari Polsek Candidasa. Pintu bungalo nomor I itu dibuka dengan kunci cadangan. Kamar tampak rapi. Tubuh Ian Kenneth, tak bernyawa, ditutup selimut di tempat tidur. Ada sandal karet warna hitam, botol sari buah jeruk, tas kecil kosong, dan sebuah paspor. Pemilik paspor bernomor G.709928 itu adalah Ian Kenneth Beattie, 43 tahun, turis Australia. Sumber imigrasi dan kepolisian mengungkapkan, Kenneth yang tiba di Bali pada 21 Desember lalu itu suka gonta ganti kencan dengan pemandu wisata. Dalam kamar itu juga ada foto Kenneth berkemeja dan celana dalam -- berangkulan mesra dengan seorang lelaki Indonesia, seperti seorang pemandu wisata, berkaca mata hitam. Dari foto yang dipajang di meja itu muncul kesan: Kenneth homoseksual. Setelah selimut itu dibuka oleh penyidik dari Polres Karangasem, bau busuk menyeruak dari tubuh bugil itu. Kenneth tingginya 185 cm dan berbibir tebal. Kedua tangannya diikat dengan selendang biru tua berbunga-bunga merah. Lehernya terikat kuat dengan sarung tenun Gianyar berwarna abu-abu. Di tangan kanan tampak luka bekas gigitan. Wajah dan urat-urat di tubuhnya membiru, darah mengental di mulut, hidung, telinga. Perut dan alat vitalnya menggelembung. "Mayat ini sudah berumur lebih dari 20 jam," kata Dokter Gunawan, yang ikut memeriksa ke bungalo itu. Kadispen Polda Nusra, Letkol. I Gusti Ayu Ketut Suryati, menduga bahwa pembunuhan itu berlatar perampokan, karena dompet berisi ua~ng dan kamera korban lenyap. Sebelum dibunuh, diduga korban dibikin teler. Di situ ada tujuh botol minuman keras. Menurut Rajeg, pemilik Bungalo Ayodya, Kenneth datang ke bungalonya pada 3 Januari lalu bersama pasangan Australia lainnya, Stephen Auburn, 35 tahun, dan Michele Vernon, 27 tahun. Mereka diantar Iwan Supriatna, 24 tahun, seorang pemandu wisata. Sebelumnya mereka menginap di Anggrek Inn, Kuta. Stephen dan Michele di bungalo nomor 4, Kenneth dan Iwan di bungalo nomor 1. Tiga hari kemudian Stephen dan pasangannya ke Lombok. Mereka diantar Iwan sampai ke Padangbai, tempat penyeberangan ke Nusa Tenggara Barat. Iwan, yang bertubuh besar itu, berkulit hitam dan berambut panjang, dikuncir. Ia tak kembali ke Denpasar, tapi ke Candidasa. "Bahkan ia bermesraan dengan Kenneth di pantai. Dan itulah terakhir saya melihat Iwan," tutur Satpam Ketut Griya. Di buku tamu, Iwan mengaku sebagai pelajar. Dalam KTP alamatnya Jalan Cempaka, Banjar Pemamoran, Kuta. Setelah dicek, palsu. Iwan menghilang, walau polisi masih terus mencari dia. Mayat Kenneth ngendon dua hari di kamar pendingin RSU Sanglah, Denpasar. Gawat. Karena ada kabar dari AIDS Council of New South Wales - via Konsulat Australia di Denpasar -- Kenneth mengidap AIDS stadium tiga. "Memang ia belum menampakkan gejala mengidap AIDS. Tubuhnya masih kekar," ujar dr. I Made Maker, yang memimpin tim dokter membedah mayat Kenneth. Kematian Kenneth bukan lantaran AIDS. Jadi? Ia dibunuh. Mayat Kenneth memang sudah dibakar di Pekuburan Badung, 12 Januari lalu. Tapi tak mustahil bila virus AIDS telanjur menyusup ke tubuh Iwan. Pemandu wisata itu tampak mesra berfoto bersama Kenneth. "Dan para penderita AIDS stadium tiga itu tampak sehat-sehat saja, tetap ceria. Dan itu pula bahayanya," kata dr. Dwi Sutanegara, dari Bagian Penyakit Dalam RSUP Sanglah. Dua hari setelah tewasnya Kenneth, terjadi pula pembunuhan terhadap seorang gay di Jalan Rambutan 24-A, Banjar Kaliungu Kelod, Denpasar. I Komang Adi Parwata alias Engkig, 18 tahun, yang bersinglet, ditemukan meninggal di kamarnya. Darah berceceran di sprei. Di kamar itu pula Made Rinu, 60 tahun, ayah korban, mati terduduk. Luka empat sentimeter menganga di dada kirinya. Mulutnya menyemburkan darah segar. Sedang ibunya, Ni Wayan Renes, 39 tahun, luka parah. Renes, yang tiga hari dirawat di RSUP Sanglah itu, bercerita. Dinihari, sekitar pukul 02.00, ia mendengar jeritan Engkig, "Aduh, aduh. Ada penjahat." Bersama suaminya, ia menghambur ke kamar Engkig. Tapi pintu terkunci dari dalam. Rinu melompat masuk melalui jendela, gagal, karena didorong oleh pembunuh itu. Dicobanya sekali lagi. Berhasil. Tapi sebilah belati menancap di dada kirinya. Kepada Engkog, abang Engkig, yang belakangan masuk kamar, sebelum meninggal Rinu sempat menyebut pembunuhnya: kawan karib Engkig sendiri. Di luar, pembunuh itu berjumpa dengan Renes, dan belatinya disabetkan ke lambung perempuan itu. Menurut Renes, pembunuh itu seusia Engkig, berbadan kekar, tinggi, berambut lurus. berkaus biru tua. Tak ada barang berharga yang hilang. Kamar masih rapi, kecuali sprei yang acak-acakan. Ditemukan sarung belati dari kulit dan sepasang sandal cokelat kehitaman merk Bella -- penuh rumput di telapaknya. Juga tas berisi beberapa buku. Semuanya diduga milik pembunuh. Polisi menduga, pembunuhan ini berkait dengan kehidupan kaum gay. Menurut seorang guru SMA Kerta Wisata Denpasar, Engkig, kelas II SMA, suka berdandan bak wanita. Salah seorang anggota keluarganya menyatakan bahwa Engkig -- yang suka pulang larut malam dan dibiarkan oleh keluarganya -- juga sering mengajak teman-temannya tidur di kamarnya. Teman-teman Engkig umumnya para pemuda yang kewanita-wanitaan. Ia anak keenam dari tujuh bersaudara, tiga dari ibu pertama, empat dari ibu kandung. Polisi sudah memeriksa tiga karib Engkig, salah satunya seorang mahasiswa. Tapi sampai akhir pekan lalu kasus ini belum terungkap. Dan pembunuhnya masih buron. B.S.H., I.N. W~edja, Joko Daryanto (Denpasar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus