Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan Sekretaris MA Nurhadi diduga menerima suap dan gratifikasi hingga puluhan miliar rupiah.
Terbongkar akibat sengketa kolega menantunya dengan seorang pengusaha.
Pengusaha itu didepak pegawainya yang ia angkat sebagai direktur.
MANTAN Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi Abdurachman, menerima kabar itu dari menantunya pada pekan kedua Desember lalu. Sang menantu, Rezky Herbiyono, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mereka sebagai tersangka penyuapan. “Beliau terkejut dan langsung menghubungi saya,” kata Maqdir Ismail, pengacara Nurhadi, Senin, 23 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rezky menerima kabar tersebut dari Hiendra Soenjoto, koleganya. Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal itu juga menjadi tersangka penyuapan bersama Nurhadi dan Rezky. Menurut Maqdir, Hiendra mengetahui dirinya menjadi tersangka setelah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dari lembaga antirasuah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KPK kemudian mengumumkan status Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ke publik pada Senin, 16 Desember lalu. Nurhadi menjadi tersangka suap dan gratifikasi terkait dengan penanganan perkara di pengadilan dan Mahkamah Agung sepanjang 2011-2016. Rezky diduga berperan sebagai perantara, sedangkan Hiendra adalah pemberi suap. “Nilai suap dan gratifikasi itu totalnya sekitar Rp 46 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK kala itu, Saut Situmorang, saat mengumumkan status ketiganya.
Ini kasus yang berbeda dengan perkara yang diusut KPK sebelumnya. Sejak 2016, KPK menelisik peran Nurhadi setelah menangkap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, yang menerima suap Rp 50 juta dari Doddy Aryanto Supeno, pegawai PT Artha Pratama Anugerah. KPK menduga Nurhadi berperan dalam penyuapan tersebut. Penyelidikan berjalan lambat karena sejumlah saksi kunci mangkir dari pemeriksaan. Mereka di antaranya empat pengawal Nurhadi yang berasal dari kepolisian.
KPK menemukan informasi baru setelah bertemu dengan seorang pengusaha yang pernah berkonflik dengan Hiendra Soenjoto. Ia bekas pemilik PT Multicon Indrajaya Terminal, perusahaan terminal peti kemas. Nama sang pengusaha tersimpan di laci penyidik. Dalam konflik itulah menyeruak nama Nurhadi. Sengketa itu pula yang akhirnya menyeretnya menjadi tersangka.
Di PT Multicon, menurut seorang penegak hukum, Hiendra awalnya berstatus pegawai. Percaya terhadap pengalaman Hiendra dalam bisnis peti kemas, pemilik perusahaan kemudian mengangkatnya sebagai direktur utama. Sang pengusaha sendiri menjadi komisaris di perusahaan yang ada sejak 2002 itu.
Konflik terjadi pada 2014. Hiendra mendepak pengusaha tadi lewat rapat umum pemegang saham yang diduga fiktif. Sang pengusaha menggugat keputusan tersebut ke pengadilan, tapi selalu kandas. Hiendra memenangi perkara itu di Pengadilan Negeri Jakarta Utara hingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Usahanya mendepak Hiendra lewat rapat umum pemegang saham luar biasa juga tak berhasil. Hiendra balik menggugat putusan rapat tersebut.
Menurut Saut Situmorang, Nurhadi diduga menyetel kemenangan Hiendra di pengadilan. Untuk itu, ia mendapatkan imbalan. Pada Juli 2015-Januari 2016, Hiendra diduga menyetorkan uang untuk Nurhadi melalui Rezky Herbiyono, menantunya. “Uang itu sejumlah total Rp 33,1 miliar,” kata Saut, Senin, 16 Desember lalu.
Pemberian tersebut dilakukan dalam 45 kali transaksi. Menurut Saut, mereka memecah transaksi hingga 45 kali untuk mengecoh pengawasan lembaga hukum. “Beberapa transaksi terkirim melalui salah satu anggota staf tersangka,” ujar Saut.
“Untuk membiayai pengurusan perkara, tersangka menjaminkan delapan lembar cek milik perusahaan dan tiga lembar cek lain dengan uang tunai sejumlah Rp 14 miliar,” kata Saut.
Nama Nurhadi juga ada dalam sengketa PT Multicon dengan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN). Pada 2010, PT Multicon menggugat PT KBN secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara terkait dengan sewa dua lahan seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi milik PT KBN di Kaveling C3-4, Marunda, Jakarta Utara. Nilai gugatannya Rp 480 miliar.
PT Multicon beralasan PT KBN mengingkari perjanjian sewa. Sejak 2003, PT Multicon menyewa lahan di PT KBN. Pada 2010, mereka diduga menunggak sewa sebesar Rp 1,5 miliar. Karena tunggakan ini, PT KBN memutus kontrak sewa PT Multicon.
PT Multicon memenangi gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, tapi kalah di tingkat kasasi. Nama Nurhadi muncul setelah putusan kasasi. Hiendra diduga meminta bantuan Rezky untuk mengurus peninjauan kembali di Mahkamah Agung pada awal 2015. Rezky menyampaikan permintaan Hiendra tersebut kepada mertuanya.
Saut Situmorang mengatakan Hiendra dan Rezky juga meminta Nurhadi mengurus penangguhan eksekusi lahan PT Multicon di area PT KBN. Eksekusi itu untuk menjalankan putusan kasasi. “Untuk membiayai pengurusan perkara, tersangka menjaminkan delapan lembar cek milik perusahaan dan tiga lembar cek lain dengan uang tunai sejumlah Rp 14 miliar,” kata Saut.
Saut Situmorang dan Laode M. Syarif (kanan) di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 16 Desember 2019./TEMPO/Imam Sukamto
Pengajuan permohonan peninjauan kembali PT Multicon kandas. Mahkamah Agung tetap memenangkan PT KBN. Karena pengurusan perkara itu gagal, Hiendra menagih pengembalian cek. Si pengusaha bekas pemilik PT Multicon mengetahui seluk-beluk perkara dan keributan seusai kekalahan di Mahkamah Agung. Inilah yang mula-mula ia ceritakan kepada petugas KPK.
Komisi antikorupsi akhirnya menjerat Nurhadi dengan tiga kasus sekaligus. Selain disangka menerima suap dalam dua kasus PT Multicon, Nurhadi diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 12,89 miliar selama menjabat Sekretaris Mahkamah Agung pada 2011-2016.
Pemberian itu diduga terkait dengan penanganan perkara sengketa di tingkat kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Pemberian gratifikasi itu juga imbalan atas pengurusan permohonan perwalian anak dalam sidang perceraian. “Penerimaan itu tidak pernah dilaporkan ke KPK sebagai gratifikasi,” ujar Saut Situmorang.
Peran Nurhadi dalam dugaan pengurusan perkara tak lepas dari posisinya sebagai Sekretaris MA. Seorang penegak hukum lain yang ditemui secara terpisah mengatakan berkat posisi itulah Nurhadi, yang biasa dipanggil Pak Wu, mampu mengakses berkas perkara hingga ke meja para panitera.
Maqdir Ismail, pengacara Nurhadi yang juga pengacara Rezky dan Hiendra, membantah jika ketiga kliennya disebut terlibat penyuapan. Ia mengatakan Nurhadi hanya berwenang mengurus administrasi di Mahkamah Agung dan tak punya kemampuan mengurus perkara. “Kalau dilihat dari kewenangannya itu kan jauh,” tutur Maqdir.
Maqdir Ismail./Dok. TEMPO/ Aditia Noviansyah
Ia membenarkan kabar bahwa Rezky pernah menerima uang sekitar Rp 32 miliar dari Hiendra. Namun, kata dia, duit tersebut merupakan investasi Hiendra di bisnis pembangkit listrik tenaga mikrohidro milik Rezky. “Apakah menantu pejabat tidak boleh berbisnis?” ucapnya.
Menurut Maqdir, Rezky juga telah mengembalikan duit tersebut kepada Hiendra baru-baru ini. Ia mengaku rencana pembangunan pembangkit listrik di empat waduk tersebut gagal lantaran harga listrik yang sangat murah. Investasi tersebut berpotensi tak menguntungkan. “Pengembalian uang itu dalam bentuk lahan sawit di beberapa lokasi,” kata Maqdir.
Menurut Maqdir, KPK semestinya memeriksa kliennya dalam penyelidikan sebelum menetapkan mereka sebagai tersangka. “Supaya bisa memberikan penjelasan.”
Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK Febri Diansyah memastikan penyidik sudah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Nurhadi dan Rezky. Ia tak menyebutkan alamat pengiriman surat itu. “Surat pasti sudah dikirim karena itu hak tersangka,” ujar Febri. Ia enggan mengomentari ihwal tak ada pemanggilan dan pemeriksaan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra sebagai calon tersangka saat penyelidikan suap PT Multicon.
Ketua KPK baru periode 2019-2023, Firli Bahuri, enggan berkomentar mengenai kasus yang menjerat Nurhadi. “Jangan bahas soal kasus atau kejadian yang sudah berlalu. Saya juga tidak mau membandingkan dengan yang lama,” kata Firli kepada Tempo, Sabtu, 20 Desember lalu.
LINDA TRIANITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo