Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Target kunjungan wisatawan mancanegara diprediksi tak tercapai.
Harga tiket penerbangan domestik yang tak kunjung turun sejak Natal 2018 dianggap jadi pemicu.
Maskapai menuntut insentif dari pemerintah.
TAHUN belum berakhir, tapi Wishnutama Kusubandio telah menunjukkan sinyal bakal mengangkat bendera putih. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu menyatakan tak sanggup lagi mengungkit jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Nusantara untuk mencapai target kunjungan 18 juta turis asing pada 2019. “Saya perkirakan 16,4 juta sampai akhir tahun,” kata Wishnutama kepada Tempo, awal Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Target kunjungan 18 juta wisatawan mancanegara sebenarnya angka baru. Semula pemerintah bahkan ambisius menargetkan 20 juta pelancong luar negeri. Toh, sulitnya mencapai sasaran baru tersebut mulai dirasakan Wishnutama tak lama setelah Presiden Joko Widodo melantiknya pada 23 Oktober lalu. Pasalnya, jumlah pelancong dari luar negeri yang berkunjung ke Indonesia sepanjang Januari-September 2019 baru mencapai 68 persen dari target.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keraguan meningkat awal Desember lalu, ketika Badan Pusat Statistik merilis angka baru. Jumlah kunjungan turis asing sepanjang tahun hingga Oktober mencapai 13,6 juta. Jika dibanding periode yang sama tahun lalu, capaian ini masih tumbuh 2,85 persen. Namun yang mengkhawatirkan justru kunjungan sepanjang bulan itu, yang hanya sebanyak 1,35 juta wisatawan asing atau turun drastis dibanding September 2019.
Wishnutama Kusubandio
Wishnutama mengatakan seretnya jumlah kunjungan turis asing dipicu oleh penyelenggaraan pemilihan umum, larangan bepergian (travel warning) sejumlah negara, hingga bencana alam. Namun, meski tak utama, mahalnya tiket pesawat domestik juga berpengaruh.
Meski harga tiket penerbangan internasional tak melonjak, mahalnya layanan pesawat dalam negeri dinilai telah menyebabkan Indonesia kehilangan kesempatan menarik turis-turis itu ke banyak destinasi. Pelancong dari luar negeri biasanya merencanakan perjalanan jauh hari, termasuk jika harus menghitung biaya penerbangan domestik untuk menuju destinasi yang belum bisa diakses langsung dari negara asal. Wishnutama mengaku mendengarkan keluhan dari calon wisatawan luar negeri. “Ini kok tiket pesawat domestik mahal?” ujar Wishnutama, menirukan ucapan turis asing tersebut.
Tak hanya membuat peluang menggaet petandang asing hilang, mahalnya tiket penerbangan domestik juga memicu turis lokal memilih pelesiran ke luar negeri. Tidak seperti penerbangan di Indonesia, penerbangan internasional tak mengenal tarif batas bawah—acuan harga terendah untuk setiap rute yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Walhasil, maskapai luar negeri bisa menjual tiket semurah mungkin sesuai dengan kondisi pasar. Sedangkan di sini tarif termurah dibatasi 35 persen dari tarif batas atas atau termahal untuk setiap rute penerbangan.
Kaburnya turis lokal itu terlihat jelas dalam statistik. Kementerian Pariwisata mencatat, jumlah turis Malaysia yang datang ke Indonesia hanya 2,58 juta sepanjang Januari-Oktober 2019. Sedangkan jumlah warga negara Indonesia yang berpelesir ke Malaysia justru mencapai 3,2 juta orang. “Jangan sampai wisatawan kita ke luar negeri dan devisa keluar. Sama saja bohong,” tutur Wishnutama.
Pesawat Garuda Indonesia di Terminal 3 Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, 14 November 2019. Tempo/Tony Hartawan
Tiket pesawat mahal bukan isu baru. Masalah ini mencuat sejak Natal 2018. Kala itu, harga tiket melambung tinggi. Publik mengira kenaikan hanya disebabkan oleh musim ramai penumpang alias peak season, yang berlangsung hingga perayaan tahun baru. Biasanya, setelah itu harga kembali turun.
Tapi anomali terjadi pada awal 2019. Harga tiket pesawat tak pernah turun lagi. Duo grup maskapai penerbangan yang menguasai lebih dari 90 persen pasar penerbangan domestik, yakni Garuda Indonesia dan Lion Air, kompak tidak mengembalikan harga ke rentang sebelum Natal 2018.
Kekompakan ini sempat memantik kecurigaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa telah terbentuk kartel di industri penerbangan. Apalagi pada waktu bersamaan tiket pesawat AirAsia, satu-satunya pesaing duo Garuda-Lion yang menawarkan harga lebih miring, justru menghilang dari dua agen penjualan tiket online terbesar di Indonesia, Traveloka dan Tiket. KPPU menemukan tiket AirAsia tak bisa ditemukan lagi di 15 kanal penjualan online. Perkara yang mulai diselidiki Januari lalu ini kini telah beralih ke tahap persidangan di komisi antimonopoli. Garuda dan Lion sejak awal menampik tudingan tersebut.
Lebih dari urusan dugaan kartel, pemerintah sejak awal 2019 sebenarnya juga dipusingkan oleh mahalnya harga tiket. Sebab, devisa dari jasa pariwisata digadang-gadang menjadi senjata untuk menahan defisit transaksi berjalan yang sempat melampaui batas aman 3 persen dari produk domestik bruto pada 2018.
Di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian, kabinet ekonomi periode pertama Presiden Joko Widodo meramu strategi agar harga tiket pesawat bisa diturunkan. Kementerian Perhubungan pada Mei lalu telah menurunkan tarif batas atas. Maskapai juga sepakat memberikan potongan harga sebesar 50 persen setiap Senin, Rabu, dan Jumat pada jam serta rute tertentu.
Masalahnya, cita-cita mengail devisa sebanyak-banyaknya dari turis asing tak sejalan dengan kepentingan bisnis penerbangan dalam negeri. Maskapai domestik memilih menaikkan harga. Maskapai pelat merah, Grup Garuda Indonesia, salah satunya. “Kami menyesuaikan harga ke level tarif batas atas,” ujar pelaksana tugas Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Fuad Rizal, dalam paparan publik perusahaan di Cengkareng, Tangerang, Banten, Jumat, 27 Desember lalu.
Sepanjang 2016-2017, Garuda Indonesia bermain di level 60 persen dari harga termahal di kelas layanan penuh. Pada periode yang sama, Citilink Indonesia—anak usaha Garuda—menjual tiket di level batas bawah. Tapi, sejak akhir tahun lalu, Garuda terus menaikkan harga jual tiketnya hingga saat ini di level 85 persen dari harga termahal. Sedangkan tiket Citilink naik menjadi 70 persen dari harga termahal di kelas low-cost carrier.
Kebijakan tarif itu membuat jumlah penumpang kedua maskapai anjlok. Selama sembilan bulan pertama tahun ini, Grup Garuda hanya mengangkut 14,4 juta penumpang, turun 28 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Walau begitu, risiko ini tidak dipandang sebagai masalah oleh perseroan, yang menganggap kenaikan harga tiket ikut memperbaiki kas mereka.
Pendapatan dari penumpang Grup Garuda hingga September lalu naik tipis 3,7 persen menjadi US$ 1,96 miliar. Imbal hasil (yield) tiket penumpang Garuda juga melonjak dari US$ 7,9 sen menjadi US$ 10,9 sen. Sedangkan yield Citilink meningkat dari US$ 6,1 sen menjadi US$ 6,2 sen. “Biar pada ngerti,” ucap Fuad Rizal ketika dihubungi kembali pada Jumat malam, 27 Desember lalu. Saat memaparkan kinerja perusahaan di Cengkareng pada pagi harinya, Fuad menyatakan perbaikan kinerja itu juga berkat penyederhanaan rute penerbangan dari sepuluh menjadi tujuh rute.
Sejumlah maskapai penerbangan menyatakan kondisi saat ini tak memungkinkan bagi mereka untuk menurunkan harga tiket. Sebab, selain adanya tren penurunan jumlah penumpang, komponen pembentuk tarif lain belum bisa ditekan, seperti biaya avtur, sewa pesawat, dan perawatan. Di Grup Garuda, ketiga komponen tersebut menyedot beban operasional hingga 64 persen.
Makanya, pada Kamis, 26 Desember lalu, pengurus Asosiasi Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) mengadu ke Kementerian Koordinator Perekonomian. Kepada Menteri Airlangga Hartarto, INACA mengusulkan pelonggaran bea masuk sejumlah onderdil pesawat yang membikin biaya perawatan tinggi.
Wishnutama hakulyakin masalah ini bakal segera teratasi. Jumat malam pekan lalu, 27 Desember, dia bertemu dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Keduanya sepakat bakal segera mengambil langkah strategis bersama Garuda, PT Pertamina (Persero), dan PT Angkasa Pura. “Kami tahu betul untuk memutuskan sesuatu ke depan, lebih jangka panjang,” kata Wishnutama memberikan keterangan tambahan Sabtu, 28 Desember. “Ini kan perlu waktu, dan ternyata enggak sederhana juga.”
Target kunjungan wisatawan mancanegara tahun ini mungkin meleset. Namun Wishnutama tetap optimistis devisa negara dari sektor pariwisata bakal mencapai US$ 20 miliar—senilai Rp 280 triliun. “Kan yang penting sebetulnya is about devisa yang masuk. Bukan jumlah orang,” ujarnya.
KHAIRUL ANAM, FAJAR PEBRIANTO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo