Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MISTERI enam bulan itu kini terungkap. Pekan lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan akan mengusut kasus kakap yang diselidiki sejak Agustus tahun lalu. Itulah skandal penyalahgunaan dana Rp 100 miliar milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia—lembaga pendidikan milik Bank Indonesia— yang di antaranya mengalir ke parlemen.
Komisi menetapkan tiga pejabat top bank sentral sebagai tersangka, yakni Burhanuddin Abdullah—Gubernur Bank Indonesia saat ini—Direktur Hukum Oey Hoey Tiong, dan mantan Kepala Biro Gubernur Rusli Simanjuntak. ”Ini pintu masuk untuk membuka kasus tersebut,” kata Antasari Azhar, Ketua Komisi.
Penyelidikan Komisi diakhiri setelah mereka berhasil mengorek keterangan dari Burhanuddin Abdullah. Tak seperti para terperiksa lain yang dipanggil ke kantor KPK di Kuningan, Jakarta Selatan, untuk Burhanuddin para penyelidik memilih datang ke bank sentral. Menurut sumber Tempo, Burhanuddin mengakui pengucuran dana YPPI merupakan keputusan resmi di rapat yang dipimpinnya, 3 Juni 2003.
Pengakuan ini memperkuat keyakinan Komisi akan keterlibatan Burhanuddin. Sebelumnya, Komisi berhasil ”membungkus” Oey dan Rusli sebagai penyalur dana tersebut. Keterangan Burhanuddin merupakan ”gong” penyelidikan Komisi. ”Kita simpulkan ada pelanggaran hukum, dan bukti cukup,” kata Chandra M. Hamzah, Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan.
Status tersangka ditetapkan pada Jumat pekan sebelumnya. ”Mereka menyalahgunakan dana yayasan milik Bank Indonesia,” ujar Chandra. Tindakan ini bahkan memasuki wilayah Undang-Undang Antikorupsi. ”Pastinya sih nanti, setelah penyidikan,” katanya.
Sejak penetapan, Komisi langsung menggeledah kantor bank sentral di Jalan Thamrin, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Pada saat yang sama, sejumlah barang bukti juga disita dari rumah dan ruang kerja Rusli Simanjuntak di Bank Indonesia perwakilan Surabaya. ”Ada dokumen yang diperoleh, tapi saya belum dapat laporan,” kata Chandra.
Di awal penyidikan, Komisi mengaku akan berfokus pada kasus ”suap” anggota parlemen, yang jumlahnya Rp 28,5 miliar. Setoran lain, Rp 68,5 miliar, untuk ongkos bantuan hukum sejumlah pejabat Bank Indonesia yang terjerat perkara bantuan likuiditas Bank Indonesia, dan Rp 3 miliar sifatnya ”remang-remang” alias kurang bukti. ”Yang di Bank Indonesia sudah terang-benderang, penerimanya di DPR juga mulai terang,” kata sumber Tempo.
Menurut Antasari, kasus suap dari Kebon Sirih ini meliputi tiga bagian, yakni pembuat kebijakan, tim pengaliran, dan penerima. Tiga tersangka awal ini baru pancingan. ”Tersangka sangat mungkin bertambah,” kata mantan jaksa itu. Di tingkat penerima, menurut Antasari, Komisi sudah punya calon tersangka.
”Ada indikasi, di tingkat penyelidikan dana itu diberikan ke AZA dan HY,” ujar Antasari. Kedua inisial ini, sesuai dengan hasil penyelidikan Badan Kehormatan DPR dan Komisi, tak lain adalah Anthony Zeidra Abidin, kini Wakil Gubernur Jambi, dan Hamka Yandhu, yang saat itu anggota parlemen.
Burhanuddin Abdullah sendiri mengaku terpukul—dan kurang terima—atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Ia merasa tak bersalah. ”Saya harus kembali kepada akal sehat, dan pada waktunya akan saya buktikan saya tidak bersalah,” katanya sehari setelah pengumuman Komisi.
Menurut gubernur yang menjabat sejak era Presiden Abdurrahman Wahid ini, keputusan pemberian dana ke DPR—yang disebutnya guna penjelasan publik (diseminasi)—diambil karena kondisi gawat. Laporan keuangan BI waktu itu berpredikat disclaimer dan membuat peringkat ekonomi Indonesia rendah. ”Kami semua tidak bisa bekerja optimal,” katanya.
Kebijakan diseminasi dan bantuan hukum tersebut merupakan keputusan Rapat Dewan Gubernur. Menurut Undang-Undang Bank Indonesia, sifatnya kolegial. ”Jadi, bukan keputusan pribadi.”
Meski Antasari mencoba unjuk keberanian membongkar kasus yang berawal dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan 2004 ini, keraguan terhadap Komisi bukan tak ada. Masalahnya, beberapa kasus ”saweran” dana ke parlemen, antara lain kasus Departemen Kelautan dan Perikanan, mandek sampai tingkat ”kasir” saja.
Kini duit Bank Indonesia mengalir ke 16 anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR periode 1999-2004. Sembilan di antara penerima kini masih berkantor di Senayan. Menurut Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR, kongkalikong antara Kebon Sirih dan Senayan ini memang nyata. Bahkan diprogramkan khusus dalam rapat 22 Juli 2003.
Badan Kehormatan sendiri belum punya keterangan. ”Kita sebenarnya ingin bertanya ke Gubernur BI,” kata Gayus. ”Tapi nanti pakai data KPK saja.”
Menurut mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan, adalah prematur menjadikan Burhanuddin tersangka. ”Semua ikut rapat, kok,” katanya. ”Itu keputusan bersama Dewan Gubernur.” Keputusan itu benar terkait dengan status disclaimer dari BPK dan desakan amendemen Undang-Undang BI. Soal status disclaimer sendiri belum pasti tanggung jawab bank sentral. Soalnya, Indonesia saat itu terjebak krisis.
Dalam Rapat Dewan Gubernur BI itu, kata Aulia, diputuskan membentuk tim sosial kemasyarakatan. Salah satu tugasnya melakukan diseminasi kebijakan moneter, perbankan, dan bantuan likuiditas BI. Aulia ditunjuk sebagai koordinator bersama mantan Deputi Gubernur Maman Soemantri. Ketua pelaksana tim itu adalah Rusli Simanjuntak, didampingi Oey Hoey Tiong.
Karena persoalan tersebut tidak bisa dibahas dalam pleno DPR, dibentuklah komite di luar pleno. ”Harus ada kegiatan atau tindakan yang dilakukan agar BI bebas disclaimer dan masalah BLBI selesai,” kata Aulia. Sebab, berdasarkan letter of intent dari Dana Moneter Internasional, dukungan likuiditas harusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Ketika disampaikan ke anggota Komisi Perbankan, mereka setuju dibuat kegiatan untuk meyakinkan anggota DPR lain bahwa hal tersebut kebijakan pemerintah. Kegiatan yang disarankan untuk wakil rakyat adalah studi banding ke berbagai negara. ”Mereka perlu tahu tindakan apa yang dilakukan pemerintah atau bank sentral negara tersebut bila terjadi masalah seperti di Indonesia,” katanya.
Bank Indonesia pun menyetujui permintaan DPR dan menyediakan anggarannya. ”Kalau ada kegiatan, kan ada ongkos?” kata Aulia. ”Mereka yang keliling. Sebab, kalau kita, nanti bisa dianggap bias.” Namun kemudian ada masukan dari tim pelaksana bahwa anggaran BI terbatas. ”Saya minta dibuat anggarannya, dan diajukan ke Dewan Gubernur, nanti dipenuhi,” ujar Aulia.
Dalam rapat Juni itu diputuskan, tidak ada dana yang diberikan dalam bentuk tunai, semuanya dalam bentuk kegiatan. ”Kalau ternyata dana itu buat bayar orang, saya tidak tahu karena belum menerima laporan,” ujarnya. Sebagai koordinator, ia seharusnya menerima laporan tim pelaksana setiap tiga bulan. ”Tapi, sampai saya pensiun, laporan itu belum ada.”
Praktek peminjaman dana YPPI juga sudah jamak. Apalagi ada kebutuhan untuk memberikan bantuan hukum bagi mantan pejabat BI saat itu. ”Itu diperbolehkan,” kata Aulia. ”Sejak masa Syahril Sabirin pun sudah ada.”
Banyaknya pihak yang terlibat, baik di Bank Indonesia maupun DPR, tak membuat Komisi gentar. Mereka berjanji melakukan sapu bersih. ”Siapa pun yang terlibat, jika melanggar hukum, mereka harus bertanggung jawab,” kata Antasari Azhar.
Arif A.K., Eko Nopiansyah, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo