UNTUK pertama kali Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur
(berdiri sejak 1971) menjatuhkan hukuman mati. Carel Albert
Togas (51 tahun), anggota veteran, Sabtu pekan lalu dinyatakan
bersalah melakukan pembunuhan berencana. Korbannya ir. Nurdin
Koto, bekas pegawai Bogasari, terbunuh secara mengerikan mati
dengan mayat terpotong 7 bagian dan ditemukan orang Mei tahun
lalu di Kali Kresek (Jakarta Utara) dalam bungkusan karung.
Kalau benar dugaan pemeriksa, bahwa kulit muka dan kepala sampai
dikelotok untuk menghapuskan identitas korban hanya sekedar
untuk menguasai uangnya Rp 500 ribu saja, itu memberatkan
hukuman.
Mukhtar & Ibrahim
Majelis hakim, pimpinan Bismar Sirehar Sll, berpendapat hukuman
mati tak bisa dihapuskan begitu saja. Sebab kenyataan hukuman
setimpal bagi kejahatan semacam terorisme, banditisme, perkosaan
yang bersifat kebinatangan, masih diperlukan adanya "Itulah
keyakinan kami," ujar Bismar Siregar seusai sidang.
Carl Albert Togas (CAT) tenang saja mendengar putusan hukum.
"Hari ini memang hari kematian Yesus Kristus dan juga kematian
bagi saya. Tapi saya akan membela diri. Saya akan naik banding .
. . " katanya sambil tersenyum kepada hadirin sidang di
sekelilingnya.
Tapi para pembela -- Adnan Buyun Nasution SH, Minang Warman SH
dan Sri Rejeki SH dari Lembaga Bantuan Hukum -- tak begitu puas
dengan vonis Bismar. Hukuman mati dianggap terlalu berat,
katanya, apalagi sebenarnya ada orang lain yang seharusnya
disangka ikut bertanggungjawab atas kematian Nurdin Koto. Yaitu
berpangkal dari surat tuduhan Jaksa Toorseno yang menyebutkan
orang yang disangka bertanggungjawab tersebut tidak dapat
diseret ke pengadilan bersama CAT. Karena masih buron.
Tapi ceritanya cukup terungkap di pengadilan.
Nurdin Koto, insinyur muda lulusan Rusia, diberhentikan dari
perusahaan PT Bogasari sejak Mei 1978. Dia harus meninggalkan
perumahan perusahaan Juni berikutnya. Ketika itulah ia
berkenalan dengan CAT sebagai sama-sama penganggur. CAT dimintai
tolong untuk mengambil gaji dan pesangon dari Bogasari. Tapi
Kepala Urusan Pegawai perusahaan tepung gandum tersebut, Lukman
Hakim, menolaknya. Nurdin harus datang mengambil sendiri.
Nurdin tak mau dan berkali-kali tetap meminta CAT untuk mengurus
uangnya yang jumlahnya lebih dari Rp 500 ribu. Sementara itu
terjadi pembicaraan lain antara CAT dengan Lukman Hakim. Lukman,
kata CAT di pengadilan, berniat melenyapkan Nurdin. Alasannya,
Nurdin adalah eks PKI. Dan dia pula yang melaporkan beberapa
urusan dalam perusahaan, seperti soal tenaga kerja dan
penyelundupan kepada yang berwajib.
CAT ditawari membereskan Nurdin. Tawaran upah Rp 5 juta untuk
membunuh kawannya diterirma CAT dengan senang hati. Dari Lukman
itu pulalah CAT mendapatkan cara membunuh cukup dipukul saja!
Pada saat yang ditentukan CAT ditemui oleh Mukhtar dan Ibrahim
yang dikatakannya sebagai pelaku pembunuhan itu. Pembunuhan
terjadi 14 Mei 1978. CAT menyangkal sebagai pelakunya dan
melemparkan kesalahan kepada Mukhtar dan Ibrahim yang buron.
Tapi motif mengharapkan upah memukau majelis hakim untuk
membebani CAT tanggungjawab berat.
Memang tak ada saksi yang tahu dengan mata kepala sendiri
bagaimana CAT -- atau tersangka lain -- menghabisi nyawa Nurdin.
Tapi dari berbagai petunjuk seperti keberanian CAT memalsukan
tandatangan untuk mengambil gaji dan pesangon dan menyikat
harta benda Nurdin setelah korban terbunuh -- meyakinkan hakim
untuk menjatuhinya, hukuman mati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini